‘Mentari, kamu tahu aku sekarang? Mentari, aku berharap suatu saat nanti bisa berjumpa dengamu. Mentari, kamu tahu alasan aku dengan semua ini? Tapi sekarang, aku rasa kamu tidak ingin tahu alasannya. Mentari, aku rasa, aku mulai melangkah mundur. Tidak akan berharap lagi denganmu. Aku senang kamu selalu menerima semua ini dariku. Selamat tinggal Mentari…
Teruntuk Mentari Love u F ‘
Satu tahun berlalu, kini Mentari hanya menatap kosong di tepi danau. Menikmati semelingir angin sore yang menerbangkan anak rambutnya.
Mentari merebahkan tubuhnya dibawah pohon rindang. Menatap kekosongan di atas sana. Satu tetes air mata mendarat di pipinya. Baru saja 15 menit lalu, ditempat yang sama ia dan Andra memutuskan hubungan mereka. Hampir satu tahun mereka bersama, akhirnya hubungan itu pupus.
“Kamu tahu kapan aku akan datang?”
Mentari bangkit dari tempatnya. Menatap seseorang yang baru saja mengatakan kalimat tersebut. “Lo…?” Mentari diam seribu kata. Lidahnya terasa kelu untuk mengakatan satu kata pun. Tepat di sampingnya, pangeran tampannya berada. Iya dia, pangeran tampan di mimpinya setahun yang lalu, sekarang ia tersenyum ke arah Mentari.
“Aku datang di waktu yang tepat kan?”
Mentari tetap diam.
“Kamu tahu sebahagia apa aku saat ini? Sangat, sangat sangat bahagia.” Laki-laki itu terkekeh, menampilkan lesung pipinya. “Aku mau bilang kalau aku…”
Mentari terbangun ketika sebuah tetes air hujan mengenai wajannya. Ia menghela napas, lagi-lagi hanya mimpi. Ia tertidur cepat sekali.
“Hujan. Lo gak mau berteduh?” Mentari menyipitkan matanya, berusaha menatap seseorang yang kini di hadapannya. Tangannya terulur, genggaman hangat itu membuat Mentari tersadar.
“Tepat waktu kan?” Mentari tersentak di tempatnya. “Lo?” Mentari mencoba tersadar penuh, menepuk-nepuk pipinya. Lagi, ia mencubit tangannya, dan itu terasa sakit.
“Kenapa sih?” kekeh lelaki itu terlihat lesung pipinya. Benar, itu orang yang sama. Hangat tangan orang tersebut menyadarkan Mentari bahwa semua ini, nyata.
“Lo ingat gue? Ahhh, gue lupa. Kamu ingat sama aku?” Mentari masih dalam keadaan tak percaya memilih menggeleng.
“Okeh, aku seharusnya membantu mengingatkan. ‘Aku tau kamu selalu mengambil bunganya kan? Gimana kabarnya hari ini? Semoga cerah, secerah senyuman yang kamu tunjukkan. Maaf aku belum bisa menciptakan senyuman itu’.” Mentari membeku di tempatnya. Lagi-lagi terkejut. “Lo… yang selalu ngasih bunga sama surat?” “Iya. Masih ingat surat terakhir?” Mentari mencoba mengingat.
“Teruntuk Mentari. Love you.”
Mentari seakan merasakan sebuah perasaan yang tak pernah ia dapatkan ketika bersama Andra. Kali ini perasaan itu lebih kuat, seakan-akan Mentari tak bisa mengungkapkannya.
—
Mentari tersenyum kecut melihat pemandangan dimana seorang Andra dengan perempuan. Mentari mencoba memaksakan langkahnya.
“Kamu belum move on?” Mentari menoleh cepat. “Pangeran tampan?” Orang tersebut tertawa keras membuatnya menjadi pusat perhatian. “Aku tersanjung loh. Makasih.” “Sama-sama.” seakan kata tersebut hanya meluncur tanpa permisi. Mentari yang tersadar mengatakan hal itu menepuk dahinya berkali-kali. Kenapa ia serasa menjadi orang bodoh. “Farrel.”
Mentari menatap pandangan teduh milik lelaki yang diketahui bernama Farrel itu. Mentari tidak salah memanggilnya pangeran tampan, Farrel memang benar-benar seperti pangeran di negeri dongeng.
“Ikut aku.” Entah kenapa Mentari seakan terhipnotis oleh Farrel.
“Kamu belum jawab pernyataanku.” Mentari mengernyitkan dahinya, tidak mengerti. “Pernyataan?” Farrel mengangguk. “Kemarin. Ditepi Danau.” Farrel menatap penuh pada mata Mentari. “Yang mana?” Jujur Mentari memang tidak tahu. Tapi, ia juga tidak ingin terlihat ke ge’eran. Farrel mendengus. “Yang, ‘Teruntuk Menatri. Love you.’ Waktu itu kamu belum jawab.”
Mentari menggaruk tengkuknya. “Lo sekolah disini, kok gue gak tau.” ucap Mentari mengalihkan pembicaraan. Farrel menghela napas, mengalah. “Aku memang sekolah disini. Tapi, aku sering bolos.” Mentari terkejut. Ia kira lekaki dihadapannya ini orang baik-baik, nyatanya ia sering bolos.
“Aku memang bukan orang baik yang seperti kamu kira. Aku bukan orang pintar yang seperti kamu kira. Aku juga bukan orang yang menjadi idaman kamu.” Farrel menundurkan langkahnya. “Waktu itu, aku pernah nulis di surat bahwa aku memang pernah ingin mundur. Melihat kamu sama laki-laki lain.” Farrel memajukan kembali langkahnya. “Tapi, aku lupa satu hal. Bahwa kamu emang ditakdirkan untukku.” “Takdir?” Mentari terlihat bingung arah pembicaraan Farrel. Farrel hanya mengangguk. “Lo pikir takdir bisa dibuat gurauan?” Farrel terdiam mendengar kalimat dari Mentari. “Aku tau kamu bakal bicara seperti ini.” “Entahlah.” Mentari pergi meninggalkan Farrel sendiri.
Mentari menghentikan langkahnya. Disana, Farrel sedang kewalahan dikelilingi perempuan. Mentari mencoba tidak peduli. “Bodo amat. Gue gak peduli.” Langkahnya lebih cepat meninggalkan tempat. “Ish, nyebelin banget sih.” Mentari kembali memutar langkahnya.
“Mentari! ” seru Farrel melihat Mentari tak jauh dihadapanya. Mentari menatap tajam ke arah mereka. Dengan helaan napas panjang, ia melangkah mendekati Farrel. “Farrel…” panggil Mentari selembut mungkin. Terdengar bisik-bisik dari perempuan disana. “Ih siapa sih dia? Sok-sokan banget.”
Mentari tersenyum paksa. “Ngapain lo hah? Dia pacar gue. Jangan jadi perempuan murahan, dia udah punya pacar.” Perempuan disana menatap tak suka ke arah Mentari, akhirnya mereka pergi meninggalkan Mentari dan Farrel.
Farrel tersenyum lebar. “Keren.” Mentari mendengus. Meniup poninya malas. “Lo nya juga sok-sokan banget.” “Mereka sama halnya dengan kamu, baru ngeliat aku.” Farrel terkekeh diakhir kalimatnya. Mencoba menyamakan langkah kaki Mentari yang kini sudah meninggalkannya.
“Ck, kegantengan banget lo.” “Awalnya gak percaya aku ini ganteng. Tapi, ngelihat perempuan tadi pada bilang aku ganteng, aku jadi percaya diri.” Mentari memilih tidak menggubris perkataan Farrel. Ia tetap berjalan cepat. Entah kenapa Farrel bersikap semenyebalkan itu.
“Mentari…” lirih Farrel. Mentari berhenti mendengar lirihan tersebut. Terdengar berbeda dengan tadi Farrel berbicara. “Jika aku bilang kalau kamu sama aku adalah reinkarnasi dari pasangan di masa lalu, kamu percaya nggak?”
—
Sehari setelah Farrel mengatakan hal itu kemarin, ia mendadak hilang. Tidak lagi memunculkan batang hidungnya. Seakan lenyap ditelan bumi. Mentari justru terlihat gelisah. “Reinkarnasi? Apa itu emang ada?” “Bisa jadi.”
Mentari terjengit melihat sosok Andra disampingnya. Dengan santainya ia berada di samping Mentari.
“Tapi, gue emang percaya itu ada. Bisa aja gue dulunya adalah seorang raja yang bereinkarnasi menjadi Andra lelaki yang biasa saja.”
Mentari hanya menatap Andra yang berada disampingnya. Sedangkan Andra sendiri menatap lurus kedepan dengan senyum di bibirnya.
“Lo tau kenapa alasan hubungan kita berakhir?” Perkataan itu sukses membuat Mentari tersedak ludahnya sendiri. Kenapa Andra berbicara tentang hal itu? “Gue ngerasa lo hanya ingin dicintai, tanpa mau membalas perasaan orang tersebut.” Andra terkekeh miris. Mentari terlihat tidak terima. “Maksud lo? Jadi, selama ini gue cuman manfaatin lo doang gitu?” “Nggak. Nyatanya gue juga butuh lo. Gue beneran sayang sama lo, tulus. Tapi, gue gak pernah ngerasain perasaan gue di lo. Seakan-akan disini hanya gue yang sayang sama lo lebih dari yang lo punya.” jelas Andra dengan mata berkaca-kaca. Berusaha menahan agar air matanya tidak keluar.
Mentari tertegun. Tersadar apa yang dikatakan Andra memanglah benar. Mentari tidak bisa membandingkan perasaannya dengan milik Andra. “Maaf.” Mentari tertunduk, merasa sangat bersalah. Andra orang yang sangat baik. Dia tak pantas untuk disakiti seperti yang dilakukan Mentari sekarang.
“Nggak pa-pa. Seharusnya gue yang berterima kasih, makasih telah membuat kisah singkat yang sangat indah bareng gue. Jadilah Mentari yang gue kenal.” Setelah mengatakan hal itu, Andra melangkah pergi.
Mentari memang bodoh menyia-nyiakan Andra. Lalu siapa yang Mentari cintai sebenarnya? Mentari pikir ia memang sudah mencintai Andra, nyatanya tidak, itu hanya pemikirannya saja.
Perlahan-lahan air hujan turun membasahi bumi. Mentari membiarkan dirinya terguyur air hujan. Melangkah tanpa tujuan. Pikirannya kosong. Pandangannya sendiri terlihat kabur.
TINN! TINN! Suara klakson mobil terndengar nyaring mengalahkan suara hujan. Tapi, seorang Mentari tak menghiraukan hal itu. Mentari menyeberang tanpa beban, melangkah tanpa tahu sesuatu mungkin saja bisa merenggut nyawanya.
BRUK!! Suara debaman keras terdengar mengenai jalanan aspal. Pandangan Mentari buram. Entah karena air hujan yang terus menerus mengenai wajahnya atau ia mulai kehilangan kesadaran.
Namun pasti, Mentari bisa mengenal siapa orang itu. Orang yang tergeletak tak jauh darinya, berlumur cairan merah darah, tergeletak tak berdaya. “Farrel…” lirih Mentari hingga akhirnya kesadaran hilang.
Satu permintaan Mentari kalau nanti ia tidak terselamatkan. Mentari berharap ia kembali dilahirkan lagi, ia berjanji akan mencintai Farrel layaknya Farrel mencintainya. Mentari berjanji ia akan mengorbankan apa saja sama halnya dengan yang Farrel lakukan.
Cerpen Karangan: Suci Azizah Blog / Facebook: Succi Azizah