“Aku tunggu di tempat biasa sepulang kerja.” Kubaca berulang-ulang pesan singkat yang kuterima dari Bram pagi tadi. Setelah hampir seminggu dia menghilang tanpa kabar, sekarang dia mengajaku bertemu.
Kutekan nomor telepon Bram yang sudah kuhafal di luar kepala. Terdengar nada sambung namun tak juga dijawab oleh Bram. Sms yang kukirim pun tak dibalas. Perasaanku mengatakan ini bukan pertemuan yang menyenangkan seperti hari-hari sebelumnya.
Pantai ini menjadi saksi cintaku dan Bram. Tak terhitung berapa banyak kisah tertoreh di sini. Duduk berpeluk melepas sang surya kembali ke perduan malam. Menikmati nyanyian angin ditingkahi ombak yang mencumbui bibir pantai.
Bram sudah disana, duduk menatap lautan lepas. Ingin rasanya aku berlari dan mendekap erat punggungnya yang sekokoh karang. Namun tak kulakukan. Kutahan langkahku untuk tak bergegas menghampirnya, meski rinduku bergejolak.
Dari asap rokok yang mengepul itu bisa kurasakan kegundahan tengah melandanya. “Kamu sudah lama menunguku Bram? Maaf agak macet tadi di jalan.” Kusentuh halus pundak kekasihku. Bergegas dibuangnya sisa rokok yang masih menyala ketika aku duduk di sampingnya. Sekilas kulirik puntung rokok yang berserakan. “Aku juga belum lama sayang.” Diraihnya jemariku kedalam genggamannya, dikecup perlahan. “Mafkan aku sayang, berhari-hari tak memberimu kabar.” Aku tersenyum samar seolah memaklumi.
Ini bukan kali pertama dia tiba-tiba lenyap tanpa pesan. Bram tak pernah tau betapa aku selalu tersiksa menahan gelisah dan rindu yang nyaris membuatku gila tiap kali dia menghilang.
Kutatap wajah kekasihku. Mata elang yang selalu meneduhkanku itu kini redup berselimut gundah. Senyumnya yang hangat kini lebih menyerupai lengkungan patah. Dan bibir yang selalu menyulut gairahku itupun tampak beku. Kumis dan jambang dibiarkan tumbuh menghiasi wajah tampannya.
“Kamu berantakan sekali sayang? Apa yang terjadi?” Bram menarik nafas dalam seolah tak mudah untuk megungkapkan apa yang hendak disampaikannya. “Istriku tau kita masih berhubungan Sekar. Dan dia mencoba bunuh diri lagi dengan mengiris urat nadinya setelah pertengkaran hebat malam itu.” Seketika nafasku tercekat, tak tau harus berkata apa. Hening menyeruak. Ombak yang bergulung seolah mewakili kekalutanku. Aku membisu, nanar menatap kekejauhan. berusaha memahami kepedihan dan keputus asaan Wulan, istri Bram.
Ini kali kedua Wulan berusaha mengakhiri hidup setelah mendapati suaminya membagi cinta denganku. Aku iba pada wanita itu, begitu rapuh jiwanya sehingga begitu mudah memilih untuk mati. Rasa bersalah itu kembali menggilasku, meski aku tak pernah menggoda Bram untuk mencintaiku. Seharusnya aku mampu menolak dan menjauh ketika Bram menghujaniku dengan cinta dan perhatian.
Aku dan Bram berteman sejak di bangku sekolah menengah pertama. Kami tidak terlalu akrab meskipun selama 3 tahun kami selalu duduk dalam satu kelas. Bram kecil sangat pendiam dan pemalu. Bram pernah meyatakan cintanya padaku melalui selembar kertas yang dititipkan kepada temannya. Namun tak kuacuhkan. Kuanggap itu hanya cinta monyet belaka. Setelah lulus sekolah aku mengikuti kedua orangtuaku untuk menetap di ibukota. Sejak itu pula tak pernah lagi kudengar kabar tentang Bram.
Di jaman yang sudah modern ini jarak tak lagi menjadi penghalang untuk berkomunikasi. Menjamurnya media sosial bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi. Dengan sahabat maupun saudara di seluruh pelosok dunia. Akupun bertemu kembali dengan Bram melalui sosial media. Bram kini sudah menjadi seorang pengusaha muda yang berhasil di Jakarta.
Setelah beberapa bulan hanya menjalin komunikasi melalui internet dan telepon, sore itu kami membuat janji untuk bertemu. Bram tampak gagah dengan celana jean biru dipadukan dengan tshirt abu-abu. Laki-laki yang dulu pemalu dan tak pernah berani menatap mataku bila bertemu muka, kini menjelma menjadi sosok yang begitu menawan.
“Setengah mati aku mencarimu Sekar, kamu seolah lenyap ditelan bumi.” Keluh Bram. Aku tertawa, tak pernah mengira sekalipun bahwa ada seseorang yang mencari-cari keberadaanku. Bram adalah laki-laki hangat dan penuh perhatian. Dia selalu membuatku merasa nyaman ketika bersamanya.
Pertemuan demi pertemuan berikutnya membuat hubunganku dengan Bram semakin intim. Kami selalu mencuri waktu untuk bertemu. Bram sosok pria yang romantis. Dia bisa tiba-tiba muncul di kantor tempatku bekerja saat jam makan siang hanya untuk mengantarkan segelas Himalaya iced tea dan sandwich tuna kesukaanku. Hidupku lebih berwarna sejak Bram mengisi hari-hariku. Aku merasa dicintai, merasa dibutuhkan.
“Aku ingin menikahimu sayang.” Bisik Bram lirih, pada suatu senja. Aku terdiam sesaat, tak mengira sama sekali kata-kata itu akan keluar dari mulut Bram. “Ahh bukankah kamu sudah bahagia dengan kehidupanmu sekarang Bram? Punya istri cantik dan anak yang lucu.” “Cintaku padamu tak pernah berubah Sekar, aku tak ingin kehilanganmu untuk kedua kali. Aku ingin memilikimu selamanya.” Rasa haru merebak mengalirkan panas yang meleleh di kedua mataku. Begitu besar kah cinta laki-laki ini kepadaku? Seharusnya aku melepaskan pelukan Bram, dan tak turut larut dalam suasana. Namun aku kalah. Aku pasrah menikmati pagutan lembut bibir Bram yang melumpuhkan nalarku. Sejak hari itu aku tak mampu lagi membendung rasa cintaku yang perlahan tumbuh subur karena perhatian dan cinta Bram.
Dan kini tiga tahun sudah aku dan Bram terjebak dalam cinta yang terlarang. Tak mudah mencintai seorang pria yang sudah menikah. Rasa bersalah dan cemburu seringkali tumpang tindih menyiksa batinku. Aku tau tak mungkin bisa untuk memiliki Bram seutuhnya, karena Bram tak akan pernah mau menceraikan Wulan. Aku tak akan pernah menjadi prioritas utama dalam hidup Bram. Bukan tak sadar bahwa aku hanya pelengkap kebahagiaan Bram. Berulang kali aku ingin mengakhiri semua ini dan meninggalkan Bram. Namun cinta selalu saja membuatku kembali padanya.
“Susah sekali membuatmu halal bagiku sayang, aku takut tak sanggup lagi mempertahankanmu.” Suara Bram membuyarkan lamunanku. Namun aku masih tetap membisu. “Aku lelah Sekar, aku hanya ingin hidup tenang” “Tidakkah kamu juga lelah Sekar?” Dahiku mengernyit, kulepaskan pelukan Bram. Rasanya aku mulai bisa menebak kemana arah pembicaraan ini. “Kenapa baru sekarang kamu sadari kalau jalan kita tidak mudah Bram? Bukankah seharusnya sejak awal sebelum kamu membuatku bertekuk lutut mencintaimu?” “Kenapa harus membuatku terluka?” Aku meradang. Hatiku perih bak dirajam ribuan belati. “Maafkan aku Sekar, aku tak mengira akan serumit ini.”
Dari awal aku sudah menduga kisah cintaku dan Bram tak akan pernah berakhir indah. Namun begitu tetap saja kubiarkan hatiku dimilikinya bulat-bulat. Sungguh naifnya aku. Aku tak lagi mampu mencerna semua kata-kata yang keluar dari mulut Bram. Aku hanyut dalam gelombang badai yang mendera hatiku.
Kupandangi bibir yang sedari 20 menit lalu masih juga komat kamit bak penyihir yang tengah merapal mantra. Sebentar wajahnya tampak garang kalimatnya tegas tak terbantah seperti satuan petugas Pamong Praja yang beroprasi memburu para banci dan pedagang asongan yang dianggap menganggu ketertiban. “Aku lebih berat anak istriku Sekar, mereka membutuhakan aku. Aku tak ingin anak anaku tumbuh tanpa figur seorang ayah.” “Aku hanya akan menikahimu bila istriku mengizinkan.” Sebentar kemudian tampak menatapku iba seperti melihat anak kucing kelaparan yang terjebak di tengah badai. “Hati ini sepenuhnya milikmu sayang, hanya saja aku tak bisa bersamamu.” Sebentar tampak licik seperti pejabat dengan perut tambun, kenyang makan harta jarahan. Yang tengah berolah kata menampik isu korupsi yang tengah gencar menimpanya. “Aku tak bisa meneruskan hubungan ini Sekar, aku tak ingin membunuh istriku. Lupakan aku. Anggap saja semua ini tak pernah terjadi. Teruskan hidupmu.” Semua kata-kata nya berhamburan tak satupun yang mampu kucerna.
Wajah tampan dengan senyum memikat itu masih wajah kekasihku tapi mengapa aku seperti tak mengenalinya lagi. Tak sadarkah bahwa ia baru saja mencabik-cabik hatiku dengan kata-katanya. Aku tersentak ketika Bram tiba-tiba meraihku ke dalam pelukannya. Dibisikannya kalimat perpisahan lirih. Aku tetap tak bergeming. Seketika itu Bram merenggut semua kebahagiaanku. Pernikahan yang ia janjikan hanya sepenggal kalimat tanpa makna. Lidahku kelu tak mampu meneriakan marahku meski pilu menelusup kedalam relung kalbu.
Sebuah mobil Avanza warna silver tiba-tiba berhenti tak jauh dari tempat kami berbincang. Seorang wanita muda berparas ayu duduk di belakang kemudi menatap tajam ke arahku. Dialah Wulan, istri sah Bramantyo kekasihku tercinta. Baru kali ini aku bertatap muka langsung dengannya. Selama ini aku hanya tau dari foto-foto yang ditunjukan oleh Bram padaku.
Bram segera berdiri dan berlalu meninggalkanku tanpa pernah menoleh lagi. Hampa kupandangi punggung kokoh Bram yang menjauh. Wanita itu turun dan menyambut Bram dengan pelukan mesra. Seolah menunjukan padaku bahwa dia telah berhasil merebut kembali cinta Bram dariku. Dia berjalan setengah berlari berpindah duduk di samping Bram yang mengambil alih kemudi. Wulan sempat melempar tatapan sinis penuh kemenangan sebelum keduanya menghilang di tikungan ujung jalan. Aku tersenyum tanpa arti tak ada air mata, meski dadaku bergemuruh sesak dengan kecewa yang hampir mencekiku hidup-hidup. Perih ini meremasi jantungku.
Aku semakin terbiasa menikmati kehilangan meski tanpa pernah memiliki. Aku tau kali ini aku akan kehilangan Bram untuk selamanya. Bram tak akan pernah kembali lagi padaku. Akan ada saatnya hati lelah untuk terus berbagi. Bak gelombang pasang yang meluluh lantakkan segala yang dilaluinya, menyisakan duka berkepanjangan. Aku terpaku menikmati perih ini. Aku kalah.
Cerpen Karangan: Deerizkie Blog: Deerizkie.blogspot.com