Aku masih cinta dia. Suara hatiku mulai mengganggu kegiatanku. Mau sampai kapan? Akhirnya sudah jelas. Otakku mulai menginterupsi. Tapi hati tidak bisa berbohong. Memang, tapi keadaan ini melarangmu untuk menggunakan hati. Jangan terlalu bersikeras hati, saatnya kamu harus menggunakan logikamu. Kamu sadar itu. Diriku tersenyum mendengar perdebatan hati dan otakku. “Sampai kapan?” aku bertanya pelan kepada diriku sendiri. Pertanyaan yang belakangan ini sering ditanyakan makhluk hidup sekelilingku.
Beberapa bulan ini oksigen seakan sulit masuk ke tubuhku. Kadang aku merasa apa jumlah oksigen di bumi sudah berkurang? Nyatanya oksigen baik-baik saja. Hanya hati dan otakku yang sedang tidak ingin bekerja sama.
Sudah 2 tahun terlewat, sebentar lagi angka 2 akan berganti menjadi 3. 3 TAHUN. Aku sadar bahagia ini hanya sementara. Bukan berarti aku menyesali bertemu dengannya. Pertemuan dengannya adalah salah satu kebahagian yang hampir sempurna yang pernah aku rasakan. Seseorang yang dapat menerima keegoisanku selain ayah, bunda, dan kedua adikku. Aku merasa Tuhan menjawab doaku saat itu.
“Sayang, jangan berisik. Aku mau lihatin kamu ih, biar aku semangat kerjanya.” Dan jawabanku selalu sama, “apaan sih kamu, lebay.” “Sayangku cantik banget. Coba mau lihat full muka. Kok kalau gak pergi sama aku cantik banget? Sengaja kamu ya biar dilihat orang lain?” Dan jawaban yang sama akan aku ulang. Atau ku ganti dengan kata “gak jelas deh lu” Dia selalu membalas dengan tertawa, kemudian mengatakan “Aduh pacarku gengsi sekali, tapi aku sayang. Pengen peluk deh jadinya.” Terdengar seperti cerita orang kasmaran biasa, tapi hal tersebut menyenangkan.
“Beb, aku kesel banget deh sama bos aku. Serius deh. Dia marah-marah gak jelas. Aku kan udah ngerjain sesuai permintaannya, malah aku disuruh mikir. Gila gak sih dia beb, atau aku yang gila?” “Sini-sini peluk dulu, pacarku lagi marah-marah ya. Aku beliin coklat ya, naikin mood loh beb” “Gak ah, aku lagi jerawatan. Lagian nanti aku gendut. Kamu pengen aku jelek ya?” “Kamu selalu cantik kok menurut aku, tapi nomor dua ya.” “Nomor satunya siapa? Punya selingkuhan ya kamu?” “Mulai deh pemikirinnya langsung jauh. Nomor satunya mamaku dong. Kamu nomor dua dulu ya, nanti kalau jadi istri aku tetap nomor dua. Tapi kalau dibandingin sama Anya Geraldine kamu tetap kalah sih beb”
Percakapan itu muncul tanpa berusaha untuk kuingat. Seandainya percakapan kami ada di ujian sekolah aku akan dapat nilai sempurna. Bagaimana mungkin ada penyesalan dibalik pertemuan ini. Aku selalu bersyukur pernah bertemu dengan Dia. Sahabat-sahabatku sering kali iri dengan hubungan kami.
Dia tidak posesif, tapi tidak juga cuek. Dia membebaskanku menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Aku masih egois sampai saat ini, tapi lingkunganku telah memberikan pujian kepadaku cara pengontrolan diri yang saat ini aku miliki. Seringkali, justru aku yang sering tidak membebaskannya, anggap saja aku posesif. Tapi Dia jarang untuk keberatan. Bukan berarti kami tidak pernah berbeda pendapat, sering sekali hal tersebut terjadi.
“Pendapat kita boleh berbeda, cara pandang kita juga boleh berbeda, tapi satu yang harus kamu ingat jika aku tidak setuju denganmu bukan berarti cintaku berkurang untukmu.” Indah bukan? Tapi kamu sadar akhirnya. Otakku mulai mengganggu keindahan semu ini. Kamu harus mengambil keputusan. Tapi aku tidak berani, ini hampir sempurna. Hampir. Kata-kata itu dari awal pertemuanmu selalu mengikutimu. Kamu sudah berusaha, beda hal jika kamu tidak mencoba.
Sore itu di sebuah tempat makan. “Makanannya harus dihabiskan ya beb. Nanti dikira orang aku pelit gak pernah ngajakin kamu makan. Ayo makan dulu nanti kita bicarakan ya.” Dia masih tersenyum.
Kami menikmati sore itu. Saat ini aku berharap mempunyai kekuatan untuk memberhentikan waktu. Hampir semua manusia di muka bumi ini ingin memberhentikan waktu ketika mereka ingin menunda waktu yang tidak mereka inginkan. Tetapi waktu adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari, tidak dapat kita ulang, dan tidak dapat kita hentikan. Waktu terus berjalan, selalu bersama kita.
“Habis ini langsung pulang kan?” Dia membuka pembicaraan ini. “Iya.” “Jadi gimana? Sesuai dengan pembicaraan kita di telepon tadi malam?” “Harus ya?” “Kamu masih butuh waktu untuk siap?” “Kamu sudah siap?” “Aku siap kalau kamu siap. Aku tau berat untuk kamu, makanya aku tunggu keputusan kamu.” “Berarti untuk kamu ini gak berat? Aku aja?” “Aku bohong kalau bilang ini gak berat. Tapi satu yang aku inginkan adalah kebahagian kamu.” “Agak omong kosong ya?” “Mungkin sekarang iya. Tapi kebahagian itu berasal dari diri kamu sendiri. Dan kamu berhak untuk menentukan kebahagian kamu.”
“Kamu tau kan kebahagian aku itu siapa?” “Tentu aku tau. Kita memang sudah tidak berjalan berdampingan, tapi kita masih melihat matahari yang sama. Hanya dari tempat yang berbeda. Kamu butuh waktu.” “Jadi kita harus berhenti berjuang?” “Kita berdua punya tujuan yang sama, tidak akan menyakiti hati keluarga kita masing-masing.” “Sakitin hati kita masing-masing aja?” “Sekarang iya, suatu hari kita bersyukur untuk hari ini. Setidaknya orangtua kita tersenyum, kita akan turut bahagia.”
“Tentang kita kapan? Selalu tentang pihak ke tiga?” “Nyatanya banyak pasangan memang mengakhiri hubunganya karena pihak ketiga. Wanita lain, laki-laki lain, hobby, pekerjaan, bahkan orangtua juga pihak ketiga loh.” Aku mulai meneteskan air mata. Dia mengelus puncak kepalaku.
“Kita memang mencintai Tuhan yang sama Sera Angelin, tetapi amin yang kita ucapkan berbeda. Jalan cerita kita hanya sampai dihari ini. Aku, kamu, bahkan kedua orangtua kita sadar kita harus berpisah.”
Hatiku begitu sakit. Oksigen seakan-akan benar-benar habis. Aku sadar tidak ada pilihan di keadaan saat ini. Perpisahan adalah sesuatu hal yang hanya dapat kita terima. Tidak ada pilihan lain selain menerima. 12 February 2021 saat aku sadar tidak ada jalan untuk kembali seperti yang sebelumnya terjadi. Aku akan bahagia.
Cerpen Karangan: Wanita Baja Blog / Facebook: Dela Sinaga
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 14 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com