Sore itu aku berjalan mendekati bibir pantai. Tak peduli ombak yang kian besar dan mungkin saja akan menerkamku. Aku hanya fokus pada burung-burung yang terbang mendekati arah matahari terbenam itu. Terus kuikuti mereka. Sebab sepertinya mereka sangat bahagia dengan hidupnya.
“Rean!” Nama itu! Berhasil membuat hatiku berdegub kencang. Ada satu rasa membuncah namun juga ada satu rasa menyakitkan tatkala tersadar nama yang sama tak berarti ia adalah sosok yang sama pula.
Sudah satu tahun sejak kepergian Rean. Aku masih saja suka berhalusinasi akan dirinya. Bahkan ada rasa bahagia tatkala mendengar orang lain menyebutkan nama itu. Padahal tak ditujukan pada sosok yang sama. Rean memang hebat. Berhasil buatku jatuh hati hingga sejatuh-jatuhnya. Dan ia pun berhasil membuatku sakit sesakit-sakitnya. Reanku memang hebat.
“Nona Deana!” Aku menoleh saat namaku dipanggil. Tidak! Aku benci mereka. Aku benci ikut dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada harus bertemu dengan mereka. “Deana! Jangan ke sana!” Aku menoleh ke arah suara yang kukenal. Dia Mikha. Sahabat–ah tidak-tidak dia bukan sahabatku lagi sejak hari itu–sekaligus sosok yang membuatku sakit hati sedalam-dalamnya. “Deana aku mau menikah dengan Rean.” Arghh! Aku benci suara Mikha saat itu. Apakah ia tidak tahu betapa cintanya aku pada sosok Rean? Apakah ia tidak tahu betapa terobsesinya aku pada Rean? Apa ia tidak sadar?
“Deana kembali! Kamu harus sembuh, Deana!” Aku tak peduli teriakan Mikha. Aku terus mendekati ombak di sana. Sesekali menengok belakang saat gerombolan berbaju putih mengejarku. “Deana!!!” Itu teriakan Mikha. Tapi aku tak peduli. “Deana!!! Jangan ke sana!!! Sembuhlah!” Aku tak mau mendengar apa-apa. Aku benci mereka yang berbaju putih, aku benci Mikha, dan aku benci kenyataan.
Byur byur byur Aku terdiam sejenak. Lalu melangkah begitu jauh dan menyatu dengan alam. Ikut bersama ombak menari-nari di lautan lepas. Tak peduli ikan-ikan akan menerkamku nanti. Terakhir kali hanya suara Mikha yang kudengar. Sepertinya beberapa orang berbaju putih mencariku yang telah bahagia bersama ombak laut lepas.
Kalau ditanya aku menyesal atau tidak. Jawabnya aku tak menyesal. Aku bahagia. Setidaknya aku telah jauh dari orang-orang yang kubenci. Maafkan aku, Mikha. Karena kamu adalah orang yang sangat-sangat kubenci.
—
‘Seorang wanita gila ditemukan meninggal dunia di bibir pantai setelah menceburkan diri 7 hari yang lalu.’
Kumatikan tombol off televisi rumahku. Ya, itu berita tentang Deana. Orang yang menghancurkan hidupku setahun yang lalu. Orang yang mengecewakanku namun orang yang kukasihani pula.
Sebenarnya aku tahu Deana masih mencintai Rean. Tapi, kenyataan tak berpihak. Keyakinan dan keluarga lebih memilihku daripada Deana. Ia depresi 2 tahun yang lalu. Dan setahun kemudian ia ingin membunuhku. Namun, sasarannya salah. Ia justru membunuh Rean–suamiku.
Ia tak dihukum atas kesalahannya. Sebab menang pada sidang. Aku marah tapi tahu tak ada guna. Toh, setelah itu kumasukkan ia ke dalam rumah sakit jiwa. Itu lebih baik bagiku.
“Nyonya, Den Mikho menangis.” Aku menoleh dan beranjak dari sofa itu. Kuciumi puncak kepala putraku dan membisikkan syukur sebab telah memberikan jalan terbaik bagiku dan keluargaku. Rean, akan kujaga putra kita pun segala kisah dan kenangan tentang kita. Terima kasih, Rean. Istirahat dengan tenang, Sayangku.
Cerpen Karangan: Nadaa Qurrata Aini Blog / Facebook: Nadaa Qurrata Hai, Teman-teman! Saya Nadaa Qurrata Aini dari Kota Onde-onde, kalian boleh memanggil saya Nadaa. Untuk mengenal saya lebih jauh, boleh ikuti akun instagram saya @nadaa_aini atau twitter @NadaaQurrata dan ikuti karya saya lainnya di wattpad @nadta_ atau @_nadta That’s all from me. See you