Pertemuan kita layaknya kebetulan yang terus berulang. Awalnya kukira kamu hanya manusia asing yang terus mendekatiku. Namun, siapa yang tahu pasti akan takdir? Aku tak pernah tahu bahwa kehilanganmu terasa begitu menyedihkan seperti ini.
Butiran salju berjatuhan, terasa dingin di telapak tanganku yang terbuka, aku mengembuskan napas panjang, menatap uap yang keluar dari mulutku, aku tersenyum, mengingat semua hal yang biasa kamu lakukan dibawah salju.
Aku berjalan, menyusuri jembatan tempat kita pertama kali bertemu. Tiga tahun yang lalu, kita bertemu di sini tanpa sengaja. Saat itu kamu mencoba menghiburku yang terlihat menyedihkan. Kamu bilang jangan mengotori salju dengan air mata kesedihan, saat itu aku merasa sedikit tersinggung, berpikir bahwa kamu terlalu ikut campur. Kemudian aku pergi begitu saja, meninggalkanmu menatap sungai sendirian.
Pertemuan tidak sengaja kita terlalu sering, sampai rasanya tidak masuk akal jika dikatakan kebetulan, aku sering menjumpaimu di kafe, trotoar bahkan di depan meja bartender. Aku ingin menghindar, mengabaikan semua kebetulan yang terasa ganjil. Namun akhirnya, aku tak bisa apa-apa. Tuhan seolah menakdirkanku untuk mengenalmu. Kamu orang yang pandai berkata-kata, dugaanku kamu adalah pria yang pandai merayu wanita dengan mulut buayamu. Aku pikir aku cukup kaku untuk digoda oleh orang sepertimu. Namun, entah mengapa aku merasa nyaman mendengar semua cerita konyolmu, dan secara tidak sadar aku mulai membuka diriku padamu.
Malam itu setengah diriku mabuk, dan aku tidak sadar menceritakan bagian dari diriku yang paling menyedihkan. Aku bercerita bahwa cintaku tak terbalas, aku merasa menyedihkan karena aku telah menunggu dia lebih dari tujuh tahun. Kau bilang padaku untuk melupakannya,
“Untuk apa mencintai seseorang yang tak menghargai keberadaanmu?” katamu sambil menuangkan wine kedalam gelasku. “Kamu pikir, selama ini aku melakukan apa? Aku berusaha melupakannya, berkali-kali memaksa kepalaku untuk berhenti memikirkannya, namun semuanya terasa sia-sia saja.” Kataku, balas menuangkan wine ke dalam gelasmu. “Mengapa kamu tidak mencoba membuka hati? Setidaknya kehadiran orang baru bisa mengalihkan patah hatimu.” Aku menatapmu, terkekeh pelan, sebelum akhirnya meneguk segelas wine. “Aku tahu, kamu sedang merayuku kan?” tanyaku penuh selidik, kamu hanya tertawa, tawa yang begitu lepas. “Sejujurnya aku memberikan saran padamu, namun aku juga akan sangat senang kalo kamu balas memberikan hatimu padaku.” Katamu dengan nada menggoda, aku hanya tertawa, entahlah rasanya lucu sekali, bagaimana bisa orang sekaku aku bisa tertawa hanya dengan berbicara denganmu?
Setelah malam itu, kupikir kita bisa menjadi teman, kau memberi tahu namamu, dan aku memberi tahu namaku. Kamu juga memberiku nomor telepon dan memintaku untuk menghubungimu bila butuh teman bercerita. Apakah ini salah satu modusmu untuk mendekatiku?
Hari itu hujan salju, aku sedang bertemu dengan teman-temanku. Sebenarnya aku tak menyukai mereka, namun aku terlalu gengsi jika tidak bertemu mereka. Hal yang biasa mereka bicarakan adalah tentang keluarga, tentang suami-suami mereka, dan tentang harta kekayaan. Aku merasa muak dengan acara pamer ini, dan aku juga tahu, mereka sering menggunjingku dibelakangku. Mereka bilang aku terlalu menyedihkan untuk ukuran seorang gadis cantik dan kaya. Katanya aku terlalu tidak tahu malu mengemis cinta pada seseorang yang tak pernah menganggapku ada. Dengan berat hati aku mencoba menghubungimu, meminta bantuanmu untuk menjemputku. Aku harus menunjukan harga diriku di depan teman-temanku. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tak semenyedihkan seperti yang mereka bilang. Kemudian kamu datang, berpura-pura menjadi pacarku dengan penampilan yang membuat teman-temanku terperangah, aku merasa puas bisa membungkam mulut mereka yang terus mengomentari kisah cintaku.
Perlahan namun pasti, kehadiranmu mengisi ruang hatiku. Kamu bukan lagi teman bercerita, kamu seolah menjadi pendengar sekaligus penasihat tempatku bersandar. Aku juga tahu pasti, semakin aku mengenalmu, semakin aku menyadari bahwa kamu orang yang sama rapuhnya denganku. Layaknya kayu tua yang sudah keropos, sedikit saja orang menginjakmu, kamu akan patah, melebur menjadi butiran tak berguna. Namun, mengapa kamu bersikap seolah seperti kayu jati yang dipukul berkali-kali tetap kokoh berdiri?
“Jadilah dirimu ketika bersamaku.” Pintaku, aku benar benar muak melihat kepura-puraanmu. Menangislah jika perlu, karena akupun ingin menjadi tempatmu bersandar, layaknya kamu bagiku. Kamu terus menerus mengatakan baik baik saja, ketika pada kenyataannya kamu tidak begitu. Hey, kamu bukanlah superman, tak perlu takut menunjukkan kelemahanmu padaku, sungguh aku benar-benar siap mendengar ceritamu.
Hari-hari berikutnya aku mendapatimu babak belur, wajahmu sudah tak berbentuk sama sekali. Aku tak pernah berpikir kamu akan menemuiku dalam keadaan seperti ini, aku mendesakmu untuk bercerita, barangkali aku bisa membantu masalahmu.
“Aku dulu adalah seorang anak jalanan, mengamen dan memalak adalah hal yang kulakukan sehari-hari. Aku tak pernah tahu keluargaku dimana, mereka membuangku layaknya sampah yang tak berguna. Kemudian aku berkomplot dengan beberapa preman, mereka menyulundupakan nark*ba, menerima perintah pembunuhan, penculikan dan hal-hal kotor lainnya. Beberapa bulan lalu aku merasa salah dengan hidupku, rasanya aku lelah terus menerus menjadi penjahat. Akhirnya, aku putuskan untuk kabur dengan membawa uang milik bos. Mereka mengejarku, kemudian aku bersembunyi dari tempat satu ketempat lain, aku berusaha untuk menjalani hidup normal seperti orang lain, ternyata normal di hidupku tak pernah ada, mereka menemukanku, memukuliku dan meminta balik uang yang aku curi. Aku meminta waktu, karena sebagain uang yang kucuri sudah habis kugunakan untuk keperluanku.” Katamu, aku menatap matamu. Pancaran ceria yang biasa aku liat di bola matamu kini menghilang, tergantikan oleh butiran air mata yang menggunung di pelupuk matamu.
“Kenapa kamu tidak melaporkan mereka saja ke polisi?” tanyaku “Mereka punya banyak kenalan pejabat, jika aku melaporkan mereka, aku tak yakin mereka akan masuk penjara.” Katamu dengan suara yang masih parau “Kalau begitu, kamu bisa meminjam uangku. Kamu tahu kan, aku cukup kaya untuk membayar utangmu pada mereka.” Kataku mencoba memberimu saran “Tidak, aku sudah cukup malu denganmu, aku bisa mencari uang dengan caraku, apa kamu tak merasa takut dengan orang sepertiku?” aku menggeleng, mengatakan bahwa kamu hanyalah korban dari kehidupan, dari awal, hidup memperlakukanmu secara tidak adil, pantas bagimu menuntut keadilan untuk dirimu sendiri.
Sepanjang musim dingin tahun itu, aku mendengar semua ceritamu, kesulitanmu, kebingunganmu dan kepedihanmu. Awalnya aku pikir ini hanya rasa kasihan, namun adakah rasa kasihan yang segila ini? Aku terlambat menyadari, tentang rasa suka yang tumbuh di penghujung musim dingin tahun itu.
Aku ingat sekali saat itu, hari dimana kamu memintaku menelepon polisi untuk menyelamatkanmu, namun aku terlambat, saat aku datang orang-orang itu menembakimu secara brutal, peluru-peluru itu terbang, menyasar jantung dan kepalamu. Aku terdiam, melihatmu terjatuh dengan darah yang keluar dari seluruh tubuhmu.
Para polisi berhasil menangkap orang-orang keparat itu, namun aku gagal menyelamatkanmu. Di dalam ambulance kamu terbaring tak berdaya, matamu masih bisa menatap diriku, aku memegang tanganmu, berharap kamu bisa bertahan. Semakin erat genggamanku pada tanganmuu, semakin lemah peganganmu padaku. Aku menjerit meneriakimu untuk terus bertahan, namun kamu memilih untuk menyerah, kamu pergi begitu saja, meninggalkan dunia yang sedari dulu menjahatimu.
Beberapa hari setelah kepergianmu aku masih tergugu, merasa hilang arah, dan tak berselera makan. Baru saja aku menemukan orang yang tepat untuk mengisi hari-hariku, aku dipaksa rela, melihatmu direnggut paksa dari pelukanku, aku merutuki keberuntungan yang jarang sekali memihakku. Namun, aku teringat ucapanmu saat kita menatap sungai dari atas jembatan.
“Semenderita apapun dirimu, langit akan tetap biru, salju akan tetap jatuh dan waktu akan terus melaju. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam duka.”
Benar katamu, tak seharusnya aku berduka selama ini, aku harus bangkit dan menjadi kuat. Seperti katamu, aku akan menghabiskan sisa hidup dengan kebahagiaan. Mungkin aku tak bisa menemukan orang yang sepertimu lagi, namun cukup bagiku untuk terus mengingatmu dalam sudut ingatanku yang paling indah.
Aku menyusuri trotoar yang dipenuhi pohon sakura, aku melihat beberapa bunga mulai mekar menandakan kedatatangan musim semi. “Kamu lihat itu, bunga sakura mulai mekar. Dulu kamu bilang ingin melihat bunga-bunga itu bersamaku, tapi kamu malah pergi, bahkan sebelum musim dingin berakhir.” Kataku, berharap kamu mendengarnya.
Butuh waktu lama bagiku untuk pulih dari rasa kehilangan, butuh waktu tiga tahun lamanya bagiku untuk bisa tersenyum saat mengingatmu. Tahun lalu saat aku melihat bunga sakura bermekaran aku menangis sesenggukan, berteriak “aku merindukanmu.” di pinggir jalan. Kini, aku tak merasa sedih lagi, aku benar benar berharap bahwa dunia yang sekarang kamu tempati adalah dunia tempatmu berbahagia, dunia dimana kamu tak harus merasa tidak adil akan kehidupan.
Arunika Wardani 13 Maret 2022
Cerpen Karangan: Arunika Wardani Facebook: Ulfah Ulnuwa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com