Hari ini aku memutuskan pergi ke kuil yang berada tidak jauh dari rumahku. Duduk di tangga kuil sudah menjadi kebiasaanku sejak setahun yang lalu. Bagiku itu adalah hal yang dapat membuatku merasa damai.
“Zoyaa” Kudengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Dan ternyata dia adalah shikha sahabatku. Melihatku ia langsung berlari dan tanpa seizinku langsung memelukku begitu saja. “Ahhhh aku benar-benar merindukanmu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Pekerjaanmu dan lainnya. Semuanya baik-baik saja?” Tanyanya padaku. “Bisakah terlebih dahulu kau lepaskan pelukanmu, aku bisa kehabisan nafas karenamu” Sautku. “Hehe maafkan aku, aku begitu bahagia bertemu denganmu setelah sekian lama” Balasnya. “Manis sekali. Kabarku baik begitupun dengan yang lainnya. Kau sendiri bagaimana, sudah berhasil mendapatkan hatinya? Hahaha” Tanyaku sembari bercanda. “Sstttt… diamlah mengapa kau membawa topik itu di pertemuan ini. Jangan membuatku malu. Lebih baik kau ceritakan padaku tentangnya, bagaimana kalian bertemu dan sudah sejauh mana hubungan kalian. Hmm” Jawabnya sembari memainkan alis. “Dia sudah tiada” Balasku. Begitu terkejutnya shikha saat mendengarnya. “HAH?” Sautnya tidak percaya “Akan kuceritakan semuanya” Balasku.
Setahun yang lalu… Sore itu aku memutuskan pergi keluar mencoba lari dari semua masalah. Tin Tin Tin. Aku terus mendengar suara itu dari kejauhan. Hingga aku merasa seseorang menarik tanganku.
“Hey… Ada apa denganmu? Hampir saja mobil itu menabrakmu jika aku tidak segera menarikmu. Ikutlah denganku” Ucap pria yang berhasil menolongku sembari menarik tanganku ke arah tangga kuil. “Lepaskan aku. Siapa kau. Apa urusanmu denganku. Mengapa kau menolongku, seharusnya kau biarkan mobil itu menabrakku. Untuk apa aku tetap hidup” Teriakku pada pria itu. “Apa kau gila, apa yang kau -” Sautnya yang terpotong setelah melihatku menangis hebat sembari terduduk.
Aku benar-benar tidak tahan, hingga akhirnya tangisku pecah begitu saja tanpa peduli dengan siapa aku berhadapan. Pria itu tidak melakukan apapun, dia seperti membiarkanku menangis hingga aku bisa merasa tenang.
“Kau sudah tenang sekarang” Ucapnya sembari menyodorkan sapu tangan yang telah dipegangnya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi mereka bilang jika ingin menceritakan sesuatu maka ceritakanlah pada orang asing, karena mereka tidak akan pernah menghakimimu. Aku tidak akan memaksamu, tetapi kau bisa percaya padaku. Temui aku di tempat ini di waktu yang sama jika kau butuh seorang pendengar. Aku pergi” Sambung pria itu sembari berpamitan padaku. “Hey tunggu… Aku belum bertanya. Siapa namamu?” Tanyaku padanya. “Panggil saja Zain” Jawabnya sembari membalikan badan.
Sesampainya di rumah. Aku langsung membantingkan tubuhku di kasur. Bayang-bayang pria itu seketika muncul dibenakku. Entah mengapa, tetapi aku merasa bahwa dia adalah pria yang baik.
‘Ahhh lupakan, dia hanya orang asing. Untuk apa aku memikirkannya’ Batinku.
Seperti biasa hari ini aku akan mencoba melamar pekerjaan untuk kesekian kalinya, tetapi tetap saja hanya penolakan yang kudapat. Mereka bilang kalau kita harus menghabiskan jatah gagal di masa muda. Tetapi bukankah kegagalan ini sudah terlalu banyak. Ini benar-benar membuatku frustasi. Apa yang orang lain katakan memang benar bahwa aku tidak berguna. Tidak ada hal yang bisa kulakukan.
Menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan sepanjang jalan. Kuil. Entah mengapa tempat itu terlintas dalam pikiranku. Hingga akhirnya aku memutuskan pergi kesana.
“Ambillah” Ucap seorang pria yang tidak lain adalah Zain. Dia memberikanku sapu tangannya untuk kedua kalinya. “Ahh kau, tidak tidak terimakasih” Tolakku sembari menyeka tangisku. “Apa terjadi sesuatu?” Tanyanya “Ahh tidak, tidak terjadi apa-apa. Oh iyaa aku ingin mengembalikan sapu tangan yang kau berikan padaku hari itu. Terimakasih” Ucapku sembari menyodorkan sapu tangan yang pernah ia berikan. “Tidak perlu mengembalikannya. Ambil dan pakailah” Balasnya sembari menyodorkan balik sapu tangan itu. “Tidak tidak. Bukankah semuanya harus dikembalikan pada pemiliknya. Itu milikmu, makanya aku kembalikan” Sautku menolak. “Baiklah. Kuharap kau sudah mencuci sapu tangan ini sebelum mengembalikannya padaku” Balasnya.
Entah mengapa perkataannya membuatku tertawa kecil. Seketika aku lupa mengenai apa yang terjadi padaku tadi. Kami menghabiskan waktu bersama, mengobrol, bercerita tentang diri kami masing-masing hingga tanpa sadar mataharipun mulai menenggelamkan dirinya.
“Baiklah, kurasa aku harus pulang. Hari sudah mulai gelap. Terimakasih untuk semuanya Zain” Ucapku sembari berpamitan. “Terimakasih juga karena telah berbagi tentangmu padaku. Ahh iyaa aku lupa. Bahkan aku belum tahu namamu. Siapa namamu?” Tanyanya. “Panggil saja Zoya” Jawabku. “Benarkah? Bukankah ini terlihat lucu, nama kita diawali dengan huruf yang sama” Balasnya sembari tertawa kecil.
Hari-hari berikutnya kami mulai bertemu secara intens. Kurasakan kenyamanan saat bersamanya. Mengobrol dengannya membuatku tenang dan bahagia. Hingga akhirnya aku mulai memberanikan diri untuk menceritakan masalahku padanya.
“Belakangan ini aku benar-benar merasa tidak berguna. Apa yang kulakukan rasanya semuanya gagal. Aku mencoba melamar beberapa pekerjaan tetapi tidak ada satupun yang mau menerimaku. Semua orang mengejekku karena itu. Disaat orang lain bisa melakukan sesuatu untuk banyak orang dengan apa yang mereka miliki, aku justru tidak karena aku tidak memiliki apapun dan tidak bisa melakukan apapun. Terkadang aku iri melihatnya dan ini membuatku frustasi” Curhatku sembari menahan agar tangisku tidak pecah di depannya. “Kau bisa masak?” Tanyanya yang membuatku bingung. Karena kupikir ia akan menanggapiku dengan hal lain. “Emm… Kurasa bisa. Tapi apa hubungannya -” Jawabku yang terpotong oleh ucapan Zain “Baiklah. Ikutlah denganku” Ucapnya sembari menarik tanganku ke arah motornya. Dasar pria aneh.
Aku benar-benar tidak tahu kemana ia akan membawaku. Begitu herannya diriku sesampainya di tempat itu.
“Panti asuhan? Tapi apa yang akan kita lakukan disini?” Tanyaku heran. “Kau lihat saja nanti. Sekarang ikuti aku” Jawabnya. “Sudah sampai” Ucapnya. “Lalu?” Tanyaku. “Kau lihat anak-anak disana. Mereka sedang bermain, setelahnya mereka akan membersihkan diri lalu makan bersama. Kau ingat tadi aku bertanya apakah kau bisa masak dan kau bilang kau bisa. Karena itu aku membawamu kesini. Kita akan memasak untuk anak-anak itu” Sambungnya. “Heyy… Apa katamu, kau bercanda? Setidaknya lihatlah berapa jumlah mereka” Sautku tidak percaya. “Diam dan pakailah celemek ini, aku akan membantumu” Balasnya.
Setelah menghabiskan waktu di panti asuhan, aku pun pulang ke rumah. Menurut kalian aku menyesali kedatanganku? Tentu tidak. Berada di panti itu membuatku bahagia. Melihat anak-anak bermain, bercerita, dan melahap habis makanan yang kumasak apalagi. Namun ada satu hal menganggu yang membuatku terngiang-ngiang malam ini, apalagi kalau bukan perkataan Zain.
“Kau tau Zo kadang-kadang kita terlalu sering memandang bahwa diri kita itu benar-benar rendah, tidak berguna. Tetapi sesekali cobalah lihat diri kita dalam pandangan orang lain, karena terkadang justru tanpa kita ketahui kehadiran kita begitu mereka butuhkan. Dan kau tahu? Itu artinya kita sangat berarti bagi mereka Zo” Ucapnya sebelum pergi setelah mengantarku sampai ke rumah. ‘Mungkinkah aku seperti itu?’ Batinku.
Hari ini aku mencoba lagi untuk melamar pekerjaan, bukan di kantor tetapi di restoran. Aku melamar menjadi chef disana atas saran Zain. Dia bilang masakanku sangat enak karena itu dia menyarankanku untuk melamar menjadi chef.
“Kurasa aku harus memberitahukan kabar ini pada Zain” Ucapku.
Sebuah pesan kukirimkan padanya. ‘Bisakah kita bertemu? Ada yang ingin kukatakan padamu. Kuil biasa pukul 17.00’ Pesanku. Sungguh aku sangat berharap dia bisa menemuiku sore ini.
“Kau memanggilku” Ucapnya “Iya, ada yang ingin kukatakan padamu. A… Aku… Aku. Emm… Sebenarnya” Ucapku kebingungan. “Katakan ada apa?” Tanyanya heran. “AKU DITERIMA KERJA ZAIN. MENJADI CHEF. Akhirnya aku mendapatkannya. Ini semua tidak akan terjadi jika bukan karenamu, karena saranmu, terimakasih Zain, terimakasih” Ucapku yang tanpa sadar memeluknya karena kegirangan. “Baiklah baiklah. Sekarang bisakah kau lepaskan pelukanmu. Aku bisa tiada karenamu setelah ini” Sautnya. “Ah iyaa maafkan aku” Balasku. ‘Ohh tidak… Mengapa kau begitu bodoh Zoya. Bukankah ini sangat memalukan. Apa tanggapannya nanti’ Batinku. “Lupakan itu… Aku ucapkan selamat padamu Zo, kalau begitu sebagai gantinya kau harus mentraktirku” Ucapnya yang juga turut bahagia atas keberhasilanku. “Katakan apa yang kau inginkan?” Tanyaku. “Hmm… Lihatlah disana kita bisa beli es potong” Jawabnya sambil menunjuk ke arah penjual es potong di pinggir jalan “Kau serius. Bukankah kita terlihat seperti anak kecil jika memakannya” Balasku. sembari tetawa kecil “Hey ayolah. Jika kau ingin bahagia, jangan pernah lupakan anak kecil yang ada dalam dirimu. Siapatahu hal itu akan membuatmu bahagia. Kita pergi” Pintanya. “Baiklah tuan bijak” Jawabku.
Setelahnya kami memutuskan pergi ke pantai untuk merayakan keberhasilanku. Kenapa pantai? Karena kami sama-sama menyukainya, rasanya begitu damai saat mendengar suara ombak di sore hari.
Cerpen Karangan: Ika Pramudita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com