Derap puluhan kaki kuda menghajar rerumputan. Tanah terkoyak memunculkan serabut akar. Napas-napas menderu kencang. Peluh bercucuran muncrat menyebar lepas dari guncangan badan. Kekuatiran nampak jelas dari muka-muka penunggangnya. Angin membantu menghasilkan daya dorong dari belakang sampai beberapa lontaran.
“Lebih kencang lagi, Devjak!” Teriakan keras keluar dari mulut Drakbar, kepala suku Poloc. “Ya, Ayah!” “Pacu kudamu! Jangan pikirkan yang lain” “Tapi ayah…” “Jangan membantah!” Bentakan kasar membungkam sementara mulut putra Drakbar.
Prajurit-prajurit Poloc mengikuti irama lari kuda kepala suku mereka. Rasa lelah menyergap, menggantung ketat. Rasanya ingin mengikat tunggangan mereka. Namun tak mungkin. Dibelakang, para prajurit Korac mengejar dengan air liur menetes. Dikepala mereka tergambar betapa lezat daging musuhnya. Teriakan-teriakan kasar meletupkan semangat yang meledak-ledak. Binatang tunggangan dipacu, dilecut guna menambah hentakan. “Jaga senjata kalian! Pegang erat tanpa balutan”. Ajakan Dormag disambut dengan sorakan membahana. “Kita cincang tikus-tikus Poloc!”
Tapak-tapak kuda menghentak hamparan tanah mengupas permukaan. Melibas halang rintang membenamkan bakal tumbuhan alam. Tali kekang dipegang erat, terus di hela. Saling bercepatan, mengejar keunggulan. Dengan terpaksa Drakbar menyuruh pasukannya mundur teratur. Ada rencana kilat dikepalanya. Tapi bila dia tahu nasib kelompoknya beberapa sepeminum teh kedepan, keputusan mundur merupakan langkah sia-sia.
Dewa-dewa di langit ternyata tidak berpihak, tiada memberi berkah. Pertempuran di padang Gardok mengguratkan kepayahan. Kekuatan mereka gagal melibas pasukan musuh. Strategi yang diterapkan dengan mudah dipatahkan, dibuat jungkirbalik. Serangan dua lambung terkesan tumpul. Aneh. Selama ini reputasi mereka mengukir tinggi dikalangan suku-suku sekitaran. Berpuluh-puluh putaran Kamba tak ada yang mampu menemukan titik lemah taktik tempur mereka. Tapi hari ini, musuh bebuyutan dengan mudahnya meredam setiap upaya bahkan kini posisinya berbalik. Sekarang mereka jadi buruan.
“Didepan sepertinya sebuah jurang. Kita terjepit!”. Teriakan Devjak membuat ayahnya jengkel. “Diam! Ayah sudah tahu!” Drakbar memberi aba-aba supaya prajuritnya berhenti. “Sialan. Ternyata ini jalan kematian bagi sisa prajuritku”, runtuknya menyesal. Di kejauhan, derap dan teriakan prajurit Korac pelahan membesar. “Tidak ada pilihan lain selain bertempur sampai tulang-tulang tercerabut. Sifat para ksatria leluhur harus dijunjung tinggi. Menyerah bukan adat kita. Bungkus mulut mereka!” Kalimat magis menyesap dikepala. Semangat melesat memancar. Berbalik memutar kuda, mempererat tali kekang. Senjata digenggam kuat. “Siaaap!” Teriakan Drakbar disambut ‘Huuuraaa!..’ bergeraklah prajurit-prajurit Poloc. Senjata diacungkan tinggi, badan dicondongkan. Sikap sejati diapungkan. Dan itu mungkin kali terakhir diperlihatkan pada roh-roh para pejuang.
Jarak dua gelombang menyisakan tiga cemara landang. Serpihan daunnya memberi tanda akan terjadinya benturan besar. Denting pertama terdengar ketika dua senjata beradu memecah angin lembah. Dengus napas kuda menyambar dengan ekor bergerak binal. Sanggurdi berderak terhentak sepak. Diatas punggung, manusia-manusia barbar saling menyabetkan pedang, memukulkan senjata, mencari celah untuk menusukkan senjata ke tubuh lawan. Teriakan-teriakan aneh keluar dari mulut-mulut tengik. Saling menggertak.
“Drakbar! Jangan bersembunyi diantara prajuritmu”. Kata-kata ejekan menyalak dari mulut Dormag, “Mana kepalamu!” “Mulutmu pantas dibungkam! Sejak tadi aku sudah mencari-cari batang lehermu” Sabetan pedang mengikis ujung rambut Dormag. Kelitan tubuhnya menyelamatkan dari bacokan Drakbar. Adu pedang antara dua kepala suku bangsa Barbarian menghebat. Saling terjang sembari mengendalikan kuda tunggangan. Mematukkan senjata bak sembur naga.
Devjak tak mau kalah. Sebagai putra Drakbar, ia harus membuktikan dirinya sebagai satu prajurit terkemuka suku Poloc. Walaupun semua itu tak sejalan dengan keinginannnya. Pertempuran-pertempuran ini dan yang terdahulu hanya membuat dirinya mual serta muak. Perkenalannya dengan Lesira memuntahkan semua kebanggaannya sebagai pejuang tempur di barisan ksatria. Dia lelah dengan perseteruan ini. Dia menginginkan kedamaian. Haruskah dia menikahi Lesira agar hal itu terujud?
Diawali dari perburuan yang ia lakukan. Binatang buruannya lari dengan dua anak panah menancap di tubuh. Rupanya, hal itu belum mematikan langkah. Hingga hutan Nexoric ia masuki dengan keberanian tunggal. Pantang bagi pria Poloc pulang dengan tangan hampa. Resiko harus dihadapi walau nyawa taruhannya. Ia tahu wilayah Korac telah ia injak-injak. Hingga tak terasa pengejarannya semakin memasuki wilayah berbahaya. Rasa lelah mengesampingkan semua hal. Benaknya hanya terpikir binatang buruan. Sayang, jejaknya menguap. Kakinya dipaksa terus melangkah. Kuyup kelelahan menerpa sampai haus mencekik kerongkongan. Selarik senandung menari menusuk telinganya. Ia mengendap-endap. Horison matanya menangkap seorang gadis molek rupawan, sendirian memetik nork(sebangsa apel dengan kandungan air yang sungguh berlimpah). Dia mendekat pelan.
“Bolehkah aku minta satu?” Suaranya mengagetkan gadis tersebut. “Siapa kamu?”. Getar takut tergambar di wajahnya. “Aku Devjak. Aku dituntun oleh binatang buruanku. Larinya kearah sini. Kamu tahu?”
Berawal dari situlah gelar asmaranya terangkai dengan gadis pemetik nork, Lesira. Janji-janji bertemu kerap mereka ujudkan di hutan Nexoric. Bahkan Devjak kadang nekat menyusup kemah-kemah suku Korac. Itulah diantara keahliannya, menyusup tanpa ketahuan. Benarkah?
“Apakah keahlianmu dimiliki juga oleh pria-pria ditempatmu?”. Lesira bertanya sembari memainkan rambut kekasihnya. Lentik jemari menyugar ketebalannya. “Umumnya iya”, jawab Devjak “Aku dengar pasukanmu hebat, selalu memenangkan setiap pertempuran”. Serumpun rumput Lesira cabut, dibentuk menjadi sebuah boneka. Tangannya sungguh terampil. “Apakah cara-cara bertempur serta strategi pertempuran sudah diajarkan sejak kalian masih kecil?” “Ya. Memang”. Devjak mengusap-usap lengan Lesira dengan lembut. “Banyak taktik pertempuran yang diajarkan turun temurun. Kerasnya didikan membuat kami menjelma tangguh” “Adakah kelemahannya? Bagaimana mengetahuinya jika kalian benar-benar diajarkan”. Lesira mengulik tandas. Perbincangan menjadi tak berujung bila asmara tamak menguasai. Mampu mematikan nalar dan kewaspadaan.
Hubungannya dengan Lesira berjalan dua putaran Kamba(satu putaran Kamba sama dengan satu tahun). Kalau hal ini diketahui oleh ayah mereka pasti akan digebuk. Leluhur mereka telah bermusuhan lama. Lembah Nordimus cikal bakal perseteruan. Emas, perak dan besi terkubur melimpah di perut bumi. Inilah titik pangkal yang diperebutkan.
“Heh! Mau mati disini?!” Bentakan kasar membuyarkan lamunan Devjak. “Makan ini!” Ayun kapak besar mengarah ke batok kepala. Tangkisan pedang disodorkan dalam keterkejutan. Senjatanya bergetar, tangan kesemutan. “Gila! Tenaganya mirip Tomadok(sejenis gajah purba). Sangat berbahaya”, batin Devjak. Hampir saja terpental dari punggung kuda. Posisi segera diperbaiki. Guncangan yang menyeramkan. “Devjak! Jangan meleng!”. Drakbar berteriak kesetanan. “Perhatikan musuhmu. Kunci sasaran!” Drakbar pantas marah dan kuatir. Karena baru kali keempat inilah Ia mengajak anak lelakinya bertempur melawan prajurit suku Korac. “Ha… ha… ha… tak perlu teriak-teriak. Urus saja dirimu. Biarkan dia bermain-main dengan maut”, seru Dormag, “Sebentar lagi kau akan kukirim ke Worambog-bukit tempat arwah-arwah penasaran menetap”.
Seiring dengan ucapan itu, senjata Dormag menghajar lengan kiri lawan. Sebuah tebasan kilat mengakibatkan luka koyak dalam. Drakbar pucat, meringis kesakitan. Belum sempat mempersiapkan diri tendangan keras menghantam rahang. Krak. Drakbar merasa rahangnya bergeser hingga daya gravitasi menariknya dari pelana. Ia terpelanting tersungkur. Sekelebat gelap mendera. Bintang-bintang berpijar diatas kepala. Pening menanjak sesaat tanpa jeda. Tebasan pedang menderu dibelakang. Ketajaman telinga membuat instingnya menyala. Tangkisan cepat menunda petaka. Segera bangkit, melentingkan diri menjauhi serangan. Drakbar pontang-panting disapu terjangan. Tubuhnya menukik lemah. “Kurangajar. Apakah aku akan menyusul prajurit-prajuritku?” Darah dari luka mengucur deras. Konsentrasinya terpecah. Peluh asin mengecap bibir bercampur cairan merah serta serpihan daki. Badannya terhuyung-huyung ditubir jurang. Tiba-tiba jotosan berbobot puluhan kati menghentak kepala. Badannya terdorong ke belakang, terjungkal meluncur ke rekahan bumi… yang paling dalam.
Kondisi Devjak tak jauh beda. Sebuah pertarungan tak seimbang mendera. Serangan bertubi-tubi membuat pertahanan diri berantakan. Pakaiannya menyerpih dengan luka-luka di sekujuran. “Anak bau susu disuruh bermain di padang pertarungan”. Seringai ejekan tergambar diwajah musuh. Ketidakberdayaan mempermainkan diri. Yang ia hadapi ternyata prajurit andalan. Pedang Devjak terkulai. Terkikis sudah kekuatan. Hal yang sama menimpa bala pasukannya. Satu persatu mencium tanah tergeletak meregang nyawa dengan luka menganga. Jebakan Lesira sungguh licik, memberi dampak merusak. “Terimakasih, putriku. Berkat sandiwaramu, strategi pertempuran serta titik lemah prajurit mereka berhasil kau bongkar”, gumam Dormag. Tatapan matanya mengunci sosok Devjak dikejauhan. “Tinggal menunggu waktu. Dia akan menyusul kemudian”
Desir angin meliuk hirup napas ksatria Poloc. Burung pemakan bangkai berputar pelan di kubah langit. Bau amis darah menguar terbawa angin. Demi daging segar, mereka mau menunggu dengan sabar. Naluri kebinatangan memercik, pertempuran akan segera usai. Mereka akan gantian berpesta.
Lenguh letih berbungkus denting logam memutari udara. Devjak belum habis. Semangatnya tetap meninggi walau tak diimbangi kekuatan raga. Wajah Lesira tetiba muncul. Ingatannya mengapung. Bau harum bunga Sesdial menari-nari di rongga hidung. Bau khas tubuh Lesira. “Kau dimana?” Racun asmara memainkan sihirnya. Ksatria muda ini menjadi pandir. Keselamatan diri tergadaikan. Sebuah hantaman keras menabrak tubuh disusul tebasan kapak. Huk. Kepala Devjak lepas. Darah menyembur dari dua lubang. Memancar lebih dari batang leher. Kepalanya menggelinding dihampar rerumputan. Berdentum. Diam.
“Lemparkan kesini!”. Dormag menyeru pada prajurit andalannya. “Pesanan putriku”. Dibungkusnya kepala anak muda itu dengan lembaran kulit berbulu. “Dia pasti senang”, lirih Dormag.
Gerombolan barbarian itu menggenggam kemenangan mutlak. Sorak sorai membahana mengagetkan alampada. Kepulangan mereka disambut hiruk pikuk kebahagiaan.
“Ayah!”. Lesira menyambut berbinar rasa. Pelukan hangat tumpah diantara mereka. “Yang kamu inginkan” Dormag mengeluarkan bungkusan tebal. Gadis itu takjub. Didekapnya bungkusan itu. Lesira segera menjauh. Berlari menuju kemah. Kepala tersebut dibersihkan dengan air. Dikeringkan, sebelum dilumuri ramuan pengawet supaya tidak membusuk. Kemudian dihias dengan pernak-pernik hutan.
Kepala Devjak dipajang didepan kemah dengan tombak sebagai penyangga. Sebuah tradisi suku Korac. Bila pertempuran berhasil dimenangkan, bagian tubuh musuh harus dijadikan bukti sebagai cinderamata akan keberhasilan.
Cerpen Karangan: Sri Romdhoni Warta Kuncoro Facebook: facebook.com/Romdhoni.Kuncoro Buruh freeland tanpa paspor. Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com