“I won’t lie to you. I know he’s just not right for you.” Gue mulai menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang mengingatkan gue pada seseorang, yang benar-benar telah dibutakan oleh cinta.
Kita ketemuan di kafe langganan. Maksud gue, gue dan Yola. Kek biasanya, malam minggu gue sering janjian sama Yola untuk sekedar ngopi dan ngobrol di kafe GladYO. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Yola membawa seseorang bersamanya ke kafe. “Siapa La?” “Kenalin Jhon, dia Sean, pacar gue.” Gue dan Sean gak ada yang mengulurkan tangan untuk saling berkenalan, gue emang gak minat salaman sama dia. Dari mukanya aja udah kelihatan, ini cowok tengil banget gayanya.
Sepanjang obrolan gue dan Yola, itu cowok gak bisa diam. Entar mainin rambut Yola, entar tiba-tiba nyuapin Yola makanan padahal jelas-jelas Yola lagi ngomong sama gue. Bikin gue ilfeel kan.
“Yol, gue cabut deh.” “Kemana Jhon?” Yola menoleh arloginya. “Yaelah, baru setengah jam anjirr.” Kata Yola yang enggan membiarkan gue pergi. Gue menggeser pandangan gue ke Sean, dengan tatapan sinis gue yang sesaat terlalu intens. “Gue ada urusan, lagian lo kan ada Sean, it’s okay lah.” Yola mempoutkan bibirnya seraya berpikir sesaat. “Yaudah, nanti chat gue ya.” “Itu pasti.” Ucap gue lalu pergi, muka masam gue udah gak bisa ditahan lagi. Kesel banget gue sama cowoknya Yola.
Lusa, Yola main ke rumah gue. Dengan kebiasaan buruknya yaitu mengacak-acak kamar gue, entah dia pinjam earphone atau otak-atik senar gitar gue.
Gue rasa ini moment yang tepat untuk bilang, “Yol, gue rasa Sean gak baik buat lo.” Ucap gue tulus menyadarkan dia. Alih-alih mendengarkan, Yola malah ngetawain gue. “Gue juga awalnya ngerasa gitu, tapi setelah kenal dia, dia baik kok. Lo harus kenal dia juga.” Jawaban dia apaan sih anjir? Absurd banget Yola. Begitulah aku mulai tau, kalau Yola benar-benar sudah dibutakan oleh cinta.
Hubungan Yola dan Sean tidak berjalan dengan baik, Yola menahan diri selama berhari-hari karena ia pikir dapat mengatasi masalahnya sendiri. Namun saat kepalanya benar-benar penuh, hari itu juga ia datang ke rumahku.
“Jhon, can we talk?” “Ada apa?”
Alasan mengapa aku sering mengganggu Yola walau hanya sekedar menelpon random dan membuat pertemuan di kafe, aku menyadari sesuatu setelah lama tidak menghubunginya. Aku menyukai Yola.
“Sean keterlaluan,” Dari cara dia bicara serta gerakan kepala yang terus menggeleng dan menghela napas. “Dia egois, gak mau mendengarkan gue, dan dia mulai kasar.” “Kasar?” Ulang gue kalo gak salah dengar, “lo diapain sama dia?” Yola menatap gue beberapa saat sebelum menunjukkan luka lebam di lengannya yang tertutup kain baju. “Kemarin dia bertengkar, karena gue emosi gue tampar dia. Tapi gue gak nyangka dia bakal bales dengan nonjok lengan gue.” Katanya dengan nada pelan, muka menunduk itu menandakan dia sedikit takut untuk terus terang sama gue tentang hal ini. Miris.
“Gue udah bilang sama lo, dia gak baik buat lo. Sekarang lihat sendiri, kan?” Yola menatap gue lagi, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca. Demi apapun, gue gak tega. “Putusin Sean. Demi kebaikan lo. Lo harus dapet cowok yang lebih baik dari dia.”
Yola gak ada kabar lagi setelah hari itu. Entah gue yang salah bicara atau—
“Aku minta maaf ya sayang. Aku janji gak akan ngulangin kesalahan yang sama.” “Oke, aku maafin.”
Bukan gue, tapi Yola yang kembali lagi pada Sean. Mereka bersama lagi tanpa sepengetahuan gue, Yola mulai menyembunyikan hal-hal lainnya dari gue. Seharusnya gue tau, Yola udah terlalu mencintai Sean.
“I know I can treat you better than he can. And any girl like you deserves a gentleman. Tell me why are we wasting time, on all your wasted crying, When you should be with me instead? I know I can treat you better. Better than he can!” Gue bernyanyi penuh emosi pada lirik ini. Deep banget, karena ini yang gue sampaikan berulang kali pada Yola ketika dia benar-benar sudah tidak diterima oleh Sean.
Ketika gue mulai melupakan Yola, berusaha untuk tidak memikirkan masalah apa yang sedang ia hadapi atau bagaimana Sean memperlakukannya. Yola datang malam hari ke rumahku. Dengan muka lebam dan bibir yang sedikit robek hingga mengeluarkan darah segar darisana.
Gue menganga terkejut, “Lo kenapa, Yol?!” Tanya gue khawatir. “Gue abis berantem sama Sean, Jhon.” Jawab Yola meneteskan air mata. Gue buru-buru membawa Yola masuk dan mengobati semua luka yang didapatinya usai pertengkaran hebat dia dan Sean. Pria payah itu bukan pria sejati, tidak ada pria sejati yang berani memukul wanita apalagi itu kekasihnya.
Dalam waktu yang cukup lama, selama gue mengobati Yola, tidak ada percakapan antara gue dan Yola. Gue paham Yola butuh waktu untuk berpikir dan gue butuh fokus untuk mengobati luka-lukanya.
“Jhon.” Gue berhenti sesaat, tapi gue lanjut lagi dan menyahuti Yola dengan deheman pelan. “Gue suka sama lo.” “Hah?” Gue gak nyangka, Yola bakal suka juga sama gue.
~ “Give me a sign. Take my hand, we’ll be fine. Promise I won’t let you down. Just know that you don’t have to do this alone. Promise I’ll never let you down.” ~
Hari-hari berikutnya gue selalu bersama Yola, gue antar jemput Yola kerja lalu kita jadi sering makan bersama. Gue berusaha menciptakan moment-moment indah bersama Yola agar dia bahagia. Gue siap melakukan apapun yang dia mau, demi melihat dia bahagia. Gue bakal buktikan kalau gue bisa memperlakukan dia lebih baik dari Sean. Dan Yola pantas mendapatkan itu.
Hari ulang tahun Yola sebentar lagi, gue membeli kue rainbow cake dengan hiasan bunga mawar yang dia suka. Kadonya pun udah gue persiapkan. Gue berjalan sambil bernyanyi sepanjang jalan ke rumah Yola.
Ketika tiba disana, gue melihat Yola dan Sean berpelukan. Spontan aja gue narik Yola menjauh dari Sean, tapi Sean justru menghajar gue habis-habisan. Gue yang belum siap pun gak dapat kesempatan melawan bahkan untuk melindungi diri sendiri gak bisa, kue dan kado yang gue bawa buat Yola terlepas dari genggaman gue.
“Sean! Stop it! Jangan sakitin Jhon!” Teriak Yola langsung menahan Sean, tetapi itu percuma. Karena Sean lebih kuat. “Dasar cowok bangsat! Beraninya godain cewek gue! Sialan lo!” Sean memaki gue yang kondisinya sudah terkapar dan lemas, tidak kuat menahan sakit atas serangan bertubi-tubi darinya.
Penglihatan gue memburam, tapi gue masih bisa lihat Yola yang ditarik paksa pergi sama Sean. Gue mengangkat tangan sudah payah untuk meraih Yola, gue pernah janji gak bakal mengecewakan Yola kalau dia lupa. Gue harap dia menggenggam tangan gue, memberi gue sedikit kekuatan untuk bangkit melawan Sean. Tapi Yola pergi bersama Sean, dan gue? Setelahnya gue kehilangan kesadaran gue.
~ “I know i can treat you better, better than he can.. Ohh.. Better than he can!” ~
Yola kembali pergi dari sisi gue. Terakhir kali gue ke rumahnya, Yola membukakan pintu dengan kondisi yang sangat buruk. Wajahnya penuh lebam, rambut berantakan, dan matanya sembab habis menangis. Dia buru-buru menutup pintu rumahnya dan mengusir gue. Menyuruh gue pergi darisana.
“Yola. Gue bisa membuat lo baik-baik aja. Let’s talk and finish it!” “Gak, Jhon. Gue gak mau lo terlibat apalagi sampai terluka karena masalah gue. Gue gak mau.”
Gue terdiam, perlahan mengambil posisi duduk bersandar di pintu rumahnya. Dan gue bisa mendengar suara Yola menahan nangisnya dari dalam. Dia sesegukan. Gue minta maaf Yola, seandainya lo bisa melepas Sean dan bersama gue.
Mungkin keadaan tidak seburuk ini, karena gue tau gue bisa memperlakukan lo lebih baik daripada Sean.
-The End-
Cerpen Karangan: Xiuzeen
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com