David berusaha tersenyum, “Lis.. Rambut kamu berubah ya.. cocok..” katanya, dia kini sedang beralasan. “Rambutku begini sejak terakhir kita ketemu, David..” “O-Oya.. Wa-wajahmu makin cantik..” “Ya, aku sedikit perawatan, tapi ini memang wajahku, David.” “Bu-bukan yaa…” “Kurang ajar!” teriakku, lalu tanpa berfikir panjang menamparnya, tepat di pipi kirinya, hingga ia terdorong ke dinding kaca, pelanggan dapat melihat kami dari bawah sana. Aku tak peduli.
“Pelangganku Lis.. ssttt.. Aku sudah merenungkan untuk menjelaskan ini, Lis..” katanya memintaku diam. “Apa? Merenung? Gak usah sok bijak! Gimana kamu mau jelaskan, kalau kamu selingkuh dariku karena perempuan itu?” suaraku meninggi, kudorong dia kembali, hingga terbentur ke dinding kaca. “Jangan kasar Lisa, kasar itu nggak baik.. tenanglah..” katanya membujuk, nggak! Aku benci sitausi ini. Kudorong kembali dia, ini ketiga kalinya ia membentur dinding kaca, aku tak peduli dengan ringisan David sambil memegang bahunya. Anehnya, para pelanggan yang ada di bawah sana terlihat berkumpul melihat ke atas.
“Lihat aku David!” kataku tegas. “Hentikan basa-basi kalian deh, akhiri dengan benar David!” kata Laras, sedari tadi dia hanya duduk melihatku mendorong David, kini dia sudah berdiri. “Iya, Laras..” David malah menurut. “Kamu diam aja!” kataku menunjuk Laras, matanya melotot melihatku. “Lis, jangan dorong aku lagi ya.” pinta David melangkah pelan ke arahku.
“Kamu nggak lanjut ngerekam pakai kamera itu lagi?” kata Laras. Aku berbalik melihatnya, entah kenapa mendengar suaranya membuatku emosi. “Ini momen yang sangat penting kan?” lanjutnya, dengan nada sombongnya. “Apa katamu?” “Aku masih bisa memberikan ucapan selamat padamu..” katanya sok manja. Wahh.. aku kesal melihatnya. “Tolong hentikan Laras..” suara David setengah berbisik dari belakangku. “Perempuan gila!” teriakku, kuangkat telapak tanganku hampir menamparnya, tangan David dengan segera menangkap pergelanganku. “Lisa.. berhenti..” suara David lembut memohon. “Jangan pukul dia, dia itu perawat, gimana nanti kalau wajahnya luka?” kata David. Dia membuatku muak.
“Jadi, melukai wajahnya adalah masalah, sedangkan tidak ada masalah melukai harga diriku?” kataku masih meninggikan suaraku. “Ng-nggak, nggak gitu Lis.. gini-” kata David, segera Laras memotong “Dengar ya, aku benci situasi ini sama sepertimu, kenapa kamu nggak pergi setelah jambak rambutku aja? Daripada disini memperkeruh suasana.” kata laras ke arahku berbicara seolah benar. “Jangan berharap jari manismu itu indah.” lanjutnya, membuatku keheranan melihatnya yang begitu angkuh.
Laras berlalu begitu saja menjauh dariku dan kembali duduk di sofa, dimana ia menontonku mendorong David sebelumnya.
“Dasar perempuan gila! Kemari! Kujambak rambutmu!” David segera menahanku, “Lisa, jangan begini.. sadarlah, kita bisa bicara baik-baik..” “Begitu sadar aku akan menggantungmu David!” kataku lalu mendorongnya ke arah Laras yang duduk.
“Okey, kasih aku alasan objektif yang se-enggaknya meyakinkan.” kataku berusaha tenang. “Alasan yang meyakinkan?” tanya David pelan, Laras melihat dengan santai ke arah kami berdua, seolah dia tahu alasan yang akan diberikan David padaku. “Ini bukan alasan yang sangat meyakinkan..” “Biarkan aku mendengarkan..”
Beberapa detik terdiam, nafasku yang memburu begitu terdengar. David menarik nafas panjang.
“Aku nggak tahu sejak kapan ini dimulai, tapi aku mulai benci mengangkat telfonmu 80 persennya, aku mulai berfikir ribuan kali jika ingin melintasi pulau menemuimu. Aku sendiri mulai memikirkan alasan bagaimana menjauhimu, tanpa kamu sadari. Aku bahkan berhenti menyimpan fotomu, setiap kali kamu ngirim foto selfiemu ke aku..” katanya, nada suaranya membuatku tak percaya dengan yang ia jelaskan, aku masih mendengarkan.
“Saat aku mendengar lagu favorit kita, aku malah menyukai penyanyinya, ketimbang lirik yang selalu kamu ingin aku ingat kalau itu sama dengan isi hatimu untukku..”
“Alasanmu detail juga ya, cuma itu?” “Nggak, masih ada.. dan ini alasan utamanya..” dia terdiam sejenak, aku menantikan alasan utama itu, apakah alasan itu bisa membuatku sadar akan hubungan kami yang akan kandas ini.
“Aku benci bertemu denganmu membahas tentang orang lain, aku benci makan bersamamu, bukankah kita harus menikmati waktu makan bersama dengan orang yang benar-benar kita cintai? Tapi.. denganmu, hal itu malah menjadi sebuah kewajiban. Aku makan bukan karena ingin, tapi karena terpaksa.”
Aku mencerna setiap kata dari David, apakah aku salah selama ini menjalani hubungan dengannya? Aku rasa kami baik-baik saja selama ini..
“Kalau kamu mau mengakhirinya begini, kenapa kamu kirim foto cincin itu?” tanyaku, karena semua keyakinan ini dimulai dari foto tanpa keterangan itu.
David tertunduk, dia memegangi tengkuknya, dia lakukan itu jika ia tengah melakukan kesalahan. “Itu… karena nggak sengaja kirim ke kamu. Aku binggung ketika kamu malah membalasnya. Akhirnya aku berbohong, aku minta maaf Lisa.. Aku kurang pandai berselingkuh..”
“Ibuku bilang, jika tidak mampu mencintai seseorang, tinggalkan dia sebelum dia terluka. Yang kamu lakukan ini buruk, David.” “Ya, aku tahu..” “Kita jangan pernah bertemu lagi..”
David melihatku tanpa tahu arti tatapannya, entah kasihan, entah senang, entah dia sudah kehilangan ekspresi di depanku. “Lisa…” suara david lembut. Ssstt.. “Kini dia milikmu..” kataku pada Laras lalu pergi dari kedua manusia jahat itu.
Aku segera menuruni tangga, David memanggilku mungkin ingin menghentikanku, mungkin ingin mengusirku secara halus, tidak, aku tidak butuh itu.. aku bisa pergi sendiri dari sini. Beberapa pasang mata melihatku penuh simpati, beberapa pasang mata terlihat kesal melihat David yang ada di belakangku.
Aku benar-benar menyedihkan. Kenapa semesta mengizinkanku mengalami hal buruk hari ini? Kenapa tak disembunyikannya situasi tadi dari hadapanku? Kenapa aku tidak bisa menikmati pelukan hangat David begitu bertemu dengannya tadi? Kenapa? Aku bergumam menyalahkan semesta yang kupuji sejak tadi pagi.
Aku keluar dari kafe, angin senja menyapa, tiba-tiba David berhasil meraih lenganku, dan membalikku menghadap dirinya, ada Laras yang mengikuti dari belakang David, berjarak agak jauh dari tempat kami berdiri kini. David menyebut namaku beberapa kali, entah apa lagi maunya.
“Lepas, David..” kataku tegas. “Lis.. kalau kamu pergi begini, aku bisa menyesal..” “Lepas! Dia menunggumu.” kataku melihat Laras di belakang,
Aku menahan air mataku yang ingin keluar, dadaku terasa sesak memintanya melepasku, tapi ini yang harus kulakukan, pergi darinya, tapi kenapa hati kecilku mengiginkan dia memanggilku sekali lagi dan membuat semua ini hanya prank? Hanya sebuah settingan.
“Liss.. berhenti..” kata david, “Jangan ikuti dia, Vid.” suara Laras terdengar.
Aku berhenti melangkah, perempuan itu benar-benar mengiginkan David.
“Tapi..” jeda David. “Kalau kamu ikuti dia, kita putus dulu!” suara Laras menegas. Aku hanya tertawa kecil mendengar bacotan perempuan itu, dan dengan lemahnya, David yang penurut sepertinya menyerah akan diriku, dia menuju Laras. Suara langkah mereka menjauh.
“Maafkan aku, Laras..” suara david terdengar.
Dia meminta maaf pada perempuan itu, benar-benar sesuatu yang indah didengar. Benar-benar sesuatu yang membuatku semakin sakit. Aku terjongkok di trotoar depan kafe, menengadah ke langit senja menangisi rasa kehilangan ini.
“Jangan begini Lisa… jangan terlihat menyedihkan begini..” kataku pada diriku sendiri, lalu berdiri, dengan lemah berjalan menyusuri trotoar menjauh dari tempat kejadian perkara yang menyedihkan.
Sepertinya aku harus berterimakasih pada semesta. Karena dengan semua skenario yang diberikan, membuatku terlepas dari lelaki brengsek macam David.
“Semestaa.. jika Kau ingin diriku bahagia, izinkan aku kembali memiliki cinta yang tulus dan sempurna.” pintaku memohon dalam hati, ditengah senja.
Suara kaki berlari terdengar dari arah belakangku, sebuah tangan menyentuh bahu kiriku, membuatku mengangkat daguku karena terkejut. Aku berbalik memastikan seseorang yang telah menghentikan langkahku.
“Liss.. Kameramu ketinggalan..” suara lembut seorang lelaki bertumbuh tinggi di hadapanku, aku sedikit menegadah melihatnya, ternyata dia adalah Josua, dan aku adalah cinta pertamanya di bangku SMA.
Cerpen Karangan: Dianathalie Julianthy Blog: mystoryjulianthydn.blogspot.com Hai, Aku Dianathalie, kembali dengan cerita baru.. kunjungi blog aku ya, untuk baca beberapa karya aku, terimakasih..
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com