Bolehkah aku mengirim rindu tanpa ada yang dituju? Bolehkah aku mengirim rasa sedih tanpa ada yang perlu ditangisi? Bolehkah aku merasa cemburu, padahal aku tidak punya hak untuk memiliki?
Dalam guyuran hujan dan suramnya malam aku bernyanyi syahdu. Dalam setiap rintikan air hujan yang ada, aku dapat merasakan adanya sunyi. Biarpun dikata orang bising, kurasa cukup hanya bagiku saja hujan itu setenang angin lalu. Biarpun dikata ia sering menjadi penghalang rencana yang disusun jauh-jauh hari, bagiku ia tetaplah peluntur sendu setiap orang yang merintih mengadu.
Malam itu, tak ada satupun orang di kotaku keluar untuk menyambut kedatangan sang hujan. Pintu rumah mereka tertutup rapat, seolah tak mengizinkan siapapun masuk ataupun sekedar mengetuk pintu memberi isyarat.
‘Tak apa’, pikirku. Mungkin saja mereka lelah. Mungkin juga mereka hanya sedang dilanda trauma. Atau mungkin, mereka tidak mau menerima kenyataan pahit yang ada. Yang jelas sebenci apapun mereka pada hujan, di lubuk hati terdalam, mereka tidak bisa membenci hujan sepenuhnya.
Karena ini bukanlah salah hujan.
Ini adalah ‘salah’ dari orang yang meninggalkan jejak luka di hati ‘mereka’ yang ditinggalkan. Pada akhirnya, kondisi itu yang menumbalkan hujan menjadi sebuah kesialan. Momen yang mereka ingat hanyalah kenangan pahit, jarang ada yang mengingat kenangan manis. Padahal sang hujan hanya menjadi saksi bisu atas apa yang mereka lalui.
Coba pikirkan, aku mungkin bisa mengurung diri di dalam kamar karena mengira hujan yang salah. Aku tidak sekedar bisa, aku punya kesempatan untuk melakukannya. Aku bisa saja meringkuk ketakutan di bawah selimut, menangis, melontarkan sumpah serapah atas apa yang aku alami, memikirkan sampai habis semua kenangan pahit yang pernah aku lalui, dan berteriak kesakitan karena kehilangan orang yang aku sayangi. Aku bisa melakukan semua itu.
Akan tetapi, aku tidak mau.
Di dunia ini, bukan hanya aku saja orang yang bersedih karena kehilangan ‘dia’. Bukan hanya aku saja orang yang patut diberi rasa simpati karena tak sanggup lagi memikul beban yang ada. Meskipun pada awalnya berat, merelakan adalah cara terbesarku menunjukkan bahwa aku teramat mencintainya.
Aku pernah menuliskan ribuan surat cinta untuknya, melakukan hal-hal manis yang ia sukai sampai membuat pipinya merona merah. Aku juga menyayanginya, memberikan apa yang ia pinta. Bahkan meski dia menolak kehadiranku, aku tetap berada di sisinya. Aku tidak masalah, bahkan sampai di detik terakhir pun aku tidak pernah benar-benar memilikinya.
Rintik, tidak pernah benar-benar menjadi milikku seutuhnya. Benar, ia bahkan tak pernah memandangku sebagai seorang pria. Bagi rintik, aku hanyalah sahabatnya. Bagi rintik, aku hanyalah tempat untuk meletakkan sedihnya. Bagi rintik, aku hanyalah tempat berpulang saat kenyataan menamparnya terlalu keras. Maka disitulah peranku untuk menyeka air matanya dan membuat senyum seindah padang rumput itu kembali mengembang. Aku terus memampangkan senyuman padanya untuk mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Padahal, hatiku tidak sedang baik-baik saja.
Kalau boleh jujur, aku sakit hati. Melihatnya tersenyum cerah untuk orang lain. Melihatnya bahagia karena orang lain. Melihatnya menyukai orang lain tanpa berniat untuk menolehkan kepalanya, untuk sekedar melihatku yang sebenarnya selalu ada di sisinya.
“Aku tak apa, sungguh.”, kata mutiara yang terpatok untuk diucapkan seorang Rafa yang tidak bisa lagi dinegosiasikan. Karena Rintik menyukai Fajar, bukan Rafael yang merupakan sahabat kecilnya.
Kata kawanku yang jauh di sana, temukan orang baru untuk mengganti luka yang lama. Tapi bagaimana jika luka ini belum sepenuhnya sembuh? Rasa suka bukanlah barang yang bisa digantikan begitu saja. Rasa ini tidak bisa dialih-haluankan begitu saja tanpa ada surat izin yang jelas.
Aku masih terjebak mencintainya. Hatiku belum memberikan izin meninggalkannya. Lantas aku malah berujung terluka, alih-alih keluar dari masalah. Aku hanya ingin bebas dari perasaan ini, itu saja. Setidaknya aku harus mandiri untuk membersihkan luka ini bukan?
Siapa tahu nanti akan ada luka yang lebih besar.
Sudah cukup lama semenjak kelulusan kami berdua. Rasa itu masih tetap ada, meski tak sekuat sebelumnya. Rasanya seperti ada yang patah, tapi bukanlah ranting bunga. Aku menundukkan kepala saat berjalan di tengah sunyinya hujan. Menatap sayu ke arah aspal dan jalanan sepi dengan bangunan lawas terjajar rapi di setiap sisinya.
Seusai menghadiri pernikahan Rintik dan Fajar, aku ingin pergi sejauh yang aku bisa meski badai melanda. Rasanya seperti ada yang hilang begitu saja. Sayup-sayup suara lonceng wartel kecil di sisi kiri jalan berbunyi. Dengan tatapan hampa, aku menoleh mendapati ‘si gadis’ berpayung kuning lagi-lagi datang ke tempat itu. Ini sudah yang keberapa kalinya?
Seratus? Seribu? Aku bahkan tidak ingat seberapa seringnya ia kemari karena aku terlalu sering melihatnya mondar-mandir ke tempat yang sama. Dipikir berapa kalipun aku tak bisa mengerti kenapa ia selalu datang untuk menelepon seseorang yang tidak pernah mengangkat ponselnya. Yang aku lihat, selalu dia yang menelepon tanpa ada balasan. Setelahnya pun bukannya kecewa, Lizz malah tersenyum kecil dan berjalan kaki kembali ke rumah dengan riang.
Karena rumah kami tidak terpaut jauh, terkadang aku sering menjumpainya pulang dengan suasana hati gembira meski teleponnya tidak pernah diangkat. Bisa dibilang dia adalah anak tetangga sebelah yang manis? Akan tetapi, sepertinya dia sedikit ‘berbeda’ dari orang kebanyakan. Memangnya orang jaman apa yang tidak punya handphone dan terus menerus kembali ke wartel untuk menelepon orang yang sama? Menyusahkan sekali.
“Apa dia nggak punya telepon di rumah?”, gumamku heran. Selama bertahun-tahun aku selalu sekelas dan satu sekolah dengannya, dia bahkan tak pernah sekalipun mengobrol denganku. Palingan kami akan berbicara jika kondisinya benar-benar mendesak.
Bebarengan dengan Lizz yang mulai menghubungkan panggilan teleponnya, ponselku berbunyi. Dengan kondisi tubuh basah kuyup, aku mengambil ponselku dari saku dan menatap layar dengan tatapan kosong. Lagi-lagi, entah sudah yang keberapa kalinya ada orang iseng yang mencoba menghubungiku dengan nomor yang tak ada dalam kontak. Tak pernah sekalipun aku angkat karena mengira itu hanyalah ulah orang yang kurang kerjaan ataupun penipuan. Sebab jika memang ada orang yang berkepentingan denganku, dia pasti akan mengirim pesan jika teleponnya tidak diangkat. Setidaknya mengatakan siapa dia dan apa urusannya.
Lucu pikirku. Entah apa yang orang itu pikirkan, tapi yang jelas aku sendiri tak pernah sadar dengan apa yang baru saja aku lakukan. Aku mengangkat panggilan telepon itu, lantas berjalan meneduh ke ruko kosong yang ada di samping wartel. Dua menit teleponnya tersambung, tapi orang di ujung sana tak berkata apapun.
Cerpen Karangan: Yoo_Nana Insta: @namberue14
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com