“Halo?”, tanyaku untuk yang ketiga kalinya. Tetap tidak ada jawaban dari sang penelepon. “K-kamu …”. Seseorang dari seberang sana terdengar berbicara dengan suara kalut, seolah takut. Terdengar seperti suara seorang wanita muda. “Halo? Ini siapa ya?”, tanyaku penasaran. Selama beberapa detik, gadis yang ada di sana terdiam tak berkutik. Mencoba memastikan, aku sampai mengecek layar ponselku beberapa kali.
“Halo?” “Kamu … .”. Ia menggantungkan ucapannya. “Baik-baik saja?”, tanya gadis itu dengan gelisah. Aku mengernyit heran, tak mengerti dengan apa yang ia katakan. Justru aku semakin penasaran siapa dia karena tiba-tiba menanyakan kabar. Seolah tahu kondisiku yang kacau balau seperti sekarang, cara bicaranya juga terdengar khawatir.
“Baik, boleh aku tahu aku sedang berbicara dengan siapa? Setidaknya katakan namamu agar aku tidak lagi bingung.”, gerutuku. Ia terdiam lagi cukup lama. Tapi, mengapa suaranya terdengar familiar saat didengar? Apa aku pernah bertemu dengannya?
“Kamu … Kenapa mengangkat telepon? Kamu baik-baik saja?! Kamu ada dimana sekarang??!”, rengeknya dengan suara parau yang terdengar khawatir setengah mati. Akan tetapi, sepertinya ada yang menarik. Dibalik siapapun dia, darimana asalnya, dan sejauh apa dia berada. Dalam redamnya suara akibat bunyi guntur dan petir, suara rengekan yang sama terdengar dari dalam wartel. Gema suara petir dan rintikan hujan juga sama halnya dengan yang aku dengar secara langsubg sekarang.
Mungkinkah ponselku yang bermasalah? Atau hujan semakin membuat segala hal menjadi aneh hanya untuk melarutkan kesedihan yang aku punya?
“Jawab aku! Kamu dimana sekarang?!!”, ujar gadis itu semakin marah karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. Ah, sepertinya aku sudah tahu jawabannya sekarang ini. Dibalik pintu kaca yang transparan itu, sesosok gadis dengan bibir pucat terlihat panik. Entah kehendak takdir ataupun bukan, mata kami bertemu satu sama lain.
“Lizz?”
Gagang telepon itu segera ia letakkan asal dan berlari keluar wartel. Tidak, bukan rasa takut ataupun panik karena aku telah menangkap basah dirinya. Namun, raut wajahnya malah terlihat sangat cemas dengan kondisiku. Matanya sembab seperti ingin menangis. Padahal, kukira orang yang paling bersedih atas apa yang telah terjadi hari ini adalah aku. Ternyata Lizz juga mengalami hari yang buruk?
Cepat-cepat gadis itu mengambil payung kuningnya. Menarikku ke dalam benda kesayangannya itu untuk berteduh dari derasnya guyuran hujan. Aku tidak dapat mengelak jika gadis itu sekarang benar-benar sudah mengguyur wajahnya sendiri dengan lautan air mata. Padahal, sebelum ini ia tersenyum manis.
“Kamu udah nggak waras?!! Kenapa ujan-ujanan sampai kayak gini?!!”, kata gadis itu panik. Ia memukul lenganku beberapa kali dengan lumayan keras meski air matanya jatuh deras.
“Kalau emang suka sama orang, nggak usah pakai acara berlagak bego bisa kan?!! Aku tau kamu sedih, tapi bukan gini caranya!!”. Lizz menatapku dengan kecewa. Melihatnya sedih membuat hatiku makin porak-poranda. Lizz menangis karena aku? Lizz yang pendiam itu? Apa aku sedang bermimpi?
“Kamu … Suka aku?”. Entah dapat keberanian darimana, aku mulai bertanya. Lizz menatapku dengan kesal. Seolah ingin membunuhku dengan jari-jari mungilnya pada detik itu juga.
“Iya!!! Puas?!!”, teriak Lizz dengan wajah frustasi penuh amarah. Tak banyam yang bisa aku lakukan selain diam dan menatapnya dengan tatapan sayu.
“Aku gak pernah masalah kamu suka sama siapa!!! Nyatanya kita sama, pura-pura seolah baik-baik saja dengan emosi wajah terkendali penuh. Kalau aku sekarang bilang nggak apa-apa lagi, aku bohong!!! Terserah kamu suka sama siapa, terserah kamu mau bahagia waktu lihat siapa, terserah kamu mau tersenyum karena siapa. Asal kamu bahagia, it’s fine.”. Lizz tertawa kecil dengan isak tangisnya. Ia menatapku dan tersenyum menahan pahit. Entah kenapa, melihatnya aku turut merasakan sakit.
“Kenapa kamu terus diam sejauh ini?”, tanyaku pada Lizz. Gadis itu menyeka air matanya kasar. “Bukan aku yang diam, tapi kamu sukanya sama Rintik. Sekeras apapun usahaku, itu nggak akan lebih berguna kalau mata kamu tertuju ke arah yang lain.”. Lizz masih terlihat melebarkan senyumnya meski terlihat sakit.
“Kalau begitu, jadi benar kamu yang sering meneleponku?”. Aku kembali bertanya pada gadis mungil yang memayungiku itu. Lizz mengangguk mengiyakan. “Akan aneh kalau aku tanya kabarmu secara langsung. Apalagi kita nggak pernah dekat. Sejauh ini, kalau kamu nggak angkat teleponnya itu artinya kamu sibuk sama Rintik. Itu artinya, kamu baik-baik aja dan senang dekat dengan orang yang kamu suka. Justru yang aneh kalau kamu angkat teleponnya, itu artinya kamu nggak sama Rintik. Kamu sedang nggak baik-baik saja.”, tutur Lizz seraya terkekeh pelan.
“Lizz … .”
Hujan semakin turun dengan derasnya. Membawa kami berdua larut dipikiran masing-masing. Menundukkan kepala dalam-dalam untuk menyadari apa yang telah kami lakukan untuk mencoba mengungkapkan rasa. Rasanya perih sekali karena luka kami kembali ternganga lebar. Siraman air hujan menimpa luka kami, menggali perasaan yang tidak pernah ingin ditunjukan satu sama lainnya.
Kami memang hanya manusia. Melakukan apa yang menurut kami benar dan menghentikan apa yang menurut kami salah. Kami menyukai apa yang kami mau, serta membenci apa yang kami ingin benci. Kecaman terhadap waktu, sang langit, atau mungkin kepada orang yang menimbulkan rasa sakit terhitung tidak berguna. Pada dasarnya, sumber akar permasalahannya hanyalah diri yang terjerembab ke dalam jebakan takdir.
Mungkin cara mengekspresikannya saja yang salah. Akan tetapi, kami tetaplah manusia yang seharusnya saling bertukar cinta kepada orang yang dipuja. Kami hanyalah manusia yang masih tenggelam dalam keegoisan akan perasaan masing-masing. Jika boleh berteriak, mungkin sudah lama kami berteriak karena lelah. Lelah dengan lika-liku perjalanan demi mencapai sebuah titik terang.
Kata Lizz, rasa suka Lizz bahkan mungkin berusia selama rasa sukaku pada Rintik. Tidak ada cinta yang busuk. Semuanya murni dari jiwa dan hati manusia tidak bisa diatur dengan mudah. Mungkin, terlalu cepat untukku melihat ke ujung depan. Nyatanya orang yang ada di dekatku juga tak terlihat hanya karena aku terlalu berfokus pada satu titik.
Hari itu, adalah titik awal untuk kami dan semua yang merasakan kepedihan untuk bangkit. Kami menembus hujan dengan teduh yang diberikan oleh payung kuning Lizz. Pulang ke rumah, merenungkan apa yang telah kami ‘lewati’ sebelumnya. Tanpa pembicaraan, tanpa celaan, tanpa kecanggungan. Hanya ada suara sunyi hujan.
“Pada akhirnya, kita hanyalah dua orang aneh yang bingung mengartikan perasaannya sendiri. Kamu dengan caramu, aku dengan caraku. Menormalisasi segala keadaan dan mengrobankan diri demi orang yang disayangi. Padahal watak aslinya hanyalah pengecut yang kabur dari rasa sakit. Sama sekali tidak mau disebut manusiawi.”
Selesai …
Cerpen Karangan: Yoo_Nana Insta: @namberue14
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com