Rintik hujan yang perlahan deras membawaku berteduh di sebuah kedai kopi, tanpa kutahu ini adalah awal untuk sebuah cerita yang sedikit sulit kulupa. Tentang hujan, secangkir cokelat panas, kopi, dia dan juga sore hari.
Sudah setengah jam aku duduk sendiri di salah satu meja, sementara meja-meja yang lain penuh oleh orang-orang yang juga berteduh sepertiku. Bedanya adalah, mereka semua wangi. Tidak seperti seseorang yang duduk sendiri di pojok kedai, menatapi cangkir kopi yang kosong dan tentu saja, orang itu adalah aku. Jika bisa bicara, bangku yang sedari tadi kududuki pasti protes lantaran bau keringat, sisa-sisa dari latihan basket sepulang kegiatan kampus.
Hujan di luar masih deras, satu-satunya alasan yang menahanku tetap di sini meski jenuh setengah mati. Di sela-sela bosan terlihat seorang gadis berlari-lari kecil di halaman kedai. Payung berwarna biru langit yang dikenakannya sebenarnya cukup lebar, tapi hujan disertai angin masih menyisakan tampias. Lengan panjang kemeja berwarna kremnya terlihat basah, membuat kain yang menutup lengannya itu agak transparan.
Sampai di teras kedai mukanya sedikit masam setelah melihat celana frontier bagian bawah dan sepatu kets-nya basah. Topi baret berwarna hitam yang dikenakannya membuatku bisa menebak apa yang ada di dalam tasnya.
Perasaanku sedikit tidak enak saat gadis itu mulai melipat payung dan membungkusnya menggunakan plastik. Mata bulatnya yang menggemaskan menatap lurus ke pintu kedai. Tidak ada kursi lain yang kosong kecuali sebuah kursi persis di depanku. Ini buruk, aku akan benar-benar terlihat menyedihkan jika dia duduk di depanku.
“Boleh aku duduk di sini?”
Hanya sekejap, dia sudah berada di depanku. Tentu saja, pertanyaannya itu hanya basa-basi. Dia sudah duduk manis di sana sebelum bertanya, membuka tas lalu memasukkan bungkusan payung tadi. Lalu mengeluarkan sesuatu yang sudah bisa kutebak sejak awal, benda yang pasti ada di dalam tas selempangnya, sebuah sketchbook.
“Maaf jika mengganggu ketenanganmu, sayangnya … nggak ada kursi lain yang kosong,” ucapnya sambil mengangkat bahu dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Seperti mengatakan dia tidak punya pilihan selain duduk di situ.
“Permisi,” ucapku sambil berdiri, lalu menepuk-nepuk saku celana training. Memastikan handphone-ku tidak tertinggal. “Tunggu, di luar masih hujan … jadi tidak ada alasan untuk terburu-buru, kan?” ucapnya sambil meraut pensil.
Aku kembali menghempaskan tubuhku ke kursi, yah … jika dia bisa mentolerir bau keringatku yang agak sesuatu, tidak ada salahnya duduk di sini sampai hujan reda.
“Secangkir cokelat panas dan secangkir kopi, eumm … seperti yang dia pesan sebelumnya,” ucapnya saat seorang pramusaji datang dan menanyakan pesanan.
Aku tertegun sejenak, memastikan apa yang dia katakan sebelumnya. Selain mentolerir bau keringatku, dia juga memesankan kopi? Aku masih belum mengerti dengan tujuan gadis pelukis di depanku itu. Sesuatu seperti sikap aneh, semau sendiri dan baik hati seakan menyatu di dalam dirinya.
“Aku biasa menikmati secangkir cokelat panas di sore hari sambil mengobrol santai, nggak keberatan, kan?” “Silakan saja,” jawabku singkat, meski pertanyaan yang dia lontarkan retoris saja sebenarnya. Lagi pula, siapa juga yang akan keberatan untuk berbincang dengan gadis semanis dia?
Sambil menikmati minuman masing-masing, kami mulai membicarakan banyak hal. Meski kadang aku hanya terkesan seperti pendengar, sih. Dia tipikal orang yang banyak berbicara, ekspresif dan juga ceria.
Hujan reda saat dia baru melontarkan pertanyaan soal basket. Sambil bercerita tentang ketertarikannya melihat kegiatan olahraga, dia menutup sketchbook yang sedari tadi terus menyibukkannya di sela-sela obrolan. Entah apa yang dia gambar di sana, meski sedikit mengusik rasa penasaran, aku lebih memilih diam daripada bertanya.
Dia pamit, mengatakan sesuatu seperti sampai jumpa, lalu beranjak menghampiri meja kasir. Selanjutnya dia berjalan ke luar sambil mendekap sketchbook bersampul hitam. Di depan kedai, sebuah mobil keluaran terbaru terparkir. Kacanya dibuka, seorang wanita paruh baya melambai dari dalam, wajah mereka terlihat mirip.
Di bawah sinar matahari sore yang terlihat hangat, dia terlihat sedang berbincang sambil menunjukkan apa yang dia gambar di sketchbook miliknya itu. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia melambaikan tangannya ke arahku yang sedang mengayuh sepeda fixie, meninggalkan area parkiran kedai kopi.
Begitulah pertemuan pertama itu berakhir, sebuah kebetulan yang menyenangkan memang, sempat berbincang dengan gadis sepertinya. Beberapa hari berikutnya, aku sering melihatnya di kedai kopi. Berbagai macam topi selalu bertengger di kepalanya, selalu berganti tiap hari. Sayangnya sejak saat itu, hujan tidak lagi turun di sore hari. Jadi tidak ada alasan untuk mampir meski ingin, kecuali jika urat malu milikku sudah putus. Yah, kau tahu lah kegiatanku hampir setiap sore adalah olahraga sebelum pulang kuliah, sehingga mampir ke kedai sebelum pulang ke kostan adalah ide buruk.
Suatu pagi di hari Minggu, seperti biasa aku joging mengelilingi taman kota. Ya, seperti yang kau tebak, kami kembali bertemu. Jika pertemuan pertama adalah sebuah kebetulan, maka pertemuan kedua adalah sebuah takdir. Setidaknya, itulah yang aku percayai.
Dia melambaikan tangan sambil duduk di bangku taman. Setelan pakaian olahraga dilengkapi dengan sebuah topi baseball, membuatnya terlihat energik.
“Mau cokelat panas?” ucapnya sambil menuangkan minuman dari tumbler ke sebuah cangkir kecil. Aku hanya menggeleng, lalu duduk di sebelahnya untuk beristirahat.
Dia menghirup napas dalam-dalam sambil terpejam, ekspresinya terlihat seperti dia sedang menikmati aroma terapi. Aku sedikit menaikkan alis sebelah kanan menanggapi tingkah anehnya. Secangkir cokelat panas miliknya tergeletak di bangku taman, lalu aroma apa yang dia nikmati itu?
“Mungkin terdengar aneh, tapi aku benar-benar menyukai aroma keringat.”
Alis sebelah kanan yang sebelumnya sedikit kunaikkan, kini terlihat jelas semakin naik. Aneh sekali dia mengatakan ketertarikannya yang seperti itu dengan polos. Apa yang dia katakan sedikit membuatku terkejut, juga agak bingung bagaimana menanggapi itu.
“Serius, itu membuatku merasa hangat bahkan hanya dengan sedikit menghirupnya. Sayangnya … aku nggak bisa berkeringat meski ingin.” “Maaf, apa mungkin?” Aku spontan bertanya menanggapi ucapannya barusan, lalu berusaha menepis jauh-jauh apa yang kupikirkan.
Matanya agak sembab, dia hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaanku. Entah karena sepenuhnya bisa membaca arah pikiranku, atau karena pertanyaanku yang tidak bisa dia mengerti. Dilihat dari matanya yang sembab, mungkin dia diam karena bisa menyimpulkan apa yang tiba-tiba menjadi keresahanku.
“Iya, sesuatu yang seperti itu … tapi lupakan saja, ada banyak hal untuk dibicarakan selain yang satu itu, kan?”
Detik-detik berikutnya berlalu dengan obrolan ringan seperti di kedai sore itu. Bedanya adalah, kali ini aku yang lebih banyak bercerita untuk menjawab satu persatu pertanyaannya. Dia lebih banyak menyimak sambil sesekali mengangguk paham. Melanjutkan obrolan saat di kedai, tentang dia yang tertarik dengan kegiatan olahraga. Mungkin sebuah kebetulan, tapi apa yang membuatnya tertarik adalah hal yang sesuai dengan prodi milikku.
Tanpa terasa sudah satu jam lebih kami berbincang, matahari perlahan naik dan dia pamit. Sebelum dia pergi kami sempat bertukar nomor telepon, dari perkenalan singkat itulah aku tahu namanya. Mentari, nama yang terdengar hangat, seperti kepribadiannya.
Hari-hari berikutnya kami semakin akrab, berbincang melalui aplikasi chat dengannya menjadi semacam kebiasaan baru. Setiap harinya ada saja sesuatu untuk dibicarakan, tentang kegiatannya di tempat les melukis di sebuah sanggar dekat kedai kopi, atau obrolan-obrolan ringan lainnya.
Beberapa minggu pertama sejak perkenalan, semua baik-baik saja. Beberapa hari sekali kami rutin bertemu di kedai, juga setiap Minggu pagi di taman kota. Suatu hari di minggu ke enam, itu adalah hari di mana kami rutin bertemu di kedai kopi. Untuk kali pertama dia tidak datang, nomor teleponnya juga tidak bisa dihubungi.
Seorang pramusaji datang, membawa secangkir kopi yang biasa kupesan. Sambil mengatakan bahwa kopi itu sudah dibayar oleh seseorang, dia menyerahkan sketchbook bersampul hitam milik Mentari. Ingatan tentang topik obrolan yang kami hindari saat pertama bertemu di taman kota benar-benar membuatku resah. Jari tanganku bergetar saat membuka lembar demi lembar sketchbook miliknya.
Di halaman pertama ada sketsa seorang laki-laki yang sedang berdiri, memakai Jersey basket dan celana training. Di halaman kedua ada sketsa laki-laki yang sama, sedang mengayuh sepeda fixie. Halaman berikutnya masih diisi gambar orang yang sama, mulai dari sketsa saat duduk di bangku taman, sampai gambar laki-laki itu tengah bermain bola basket.
Goresan pensil yang halus, dan dari sekian banyak gambar di sana hanya ada gambar tentang seorang laki-laki. Itu adalah seorang laki-laki yang ditemuinya pertama kali di sebuah kedai, seorang laki-laki yang rutin ditemuinya di taman kota setiap Minggu pagi.
Keresahanku semakin besar seiring dengan lembaran kertas yang kubuka, ada hal lain di samping goresan pensilnya yang halus. Mulai dari beberapa helai rambut yang terselip. Beberapa gambar yang sedikit luntur seolah-olah terkena tetesan air, dan sisa noda berwarna cokelat agak kemerahan di beberapa lembaran terakhir.
Cerpen Karangan: Tshou Lim Facebook: Tshou Lim
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com