Kupersembahkan hari ini kepada yang menunggu,
Kembalinya kertas dalam abu.
Seorang laki-laki tua bersandar pada sebuah bangku kayu, nampak di hadapannya berserakan lembaran kertas yang telah dipenuhi coretan – coretan pena. Tentu, laki-laki itu adalah seorang pencerita. Orang – orang memanggilnya laki-laki pencerita, dan seperti pencerita lainnya, laki-laki itu telah bercerita hampir terkait apapun. Terkait dunia imaji, kehidupan, pahlawan, dan barangkali tentang kisahnya sendiri. Namun satu hal, jangan minta ia bercerita terkait cinta, karena ia hanya akan tersenyum dan menutup mata.
…
Hampir 20 tahun sejak peristiwa itu, sebuah kepergian dan kedatangan sekaligus mendera diri laki-laki itu. Saat itu ia masih sangat muda, tanpa begitu banyak hal yang dapat dijadikan bahan cerita. Seorang laki-laki muda pencerita dengan segenap rasa percaya berusaha membuka kekuatan yang ia percaya. Sebuah dunia imaji menurut mereka, dan sebuah dunia baru bagi laki-laki muda pencerita itu. Teringat sebuah masa ketika ia duduk di serambi balai desa, ia termangu dengan tatap tajam memandang langit. Ia terpukau oleh barisan cinta yang dibuat oleh sang Maha Pemilik Cinta. Lantas laki-laki itu bergumam lirih, “Adakah yang mampu melukiskan barisan cinta ini dalam bentuk kata-kata ? atau barangkali sebuah kalimat dan sebuah cerita ? adakah itu ? adakah yang mampu ? melepas barisan cinta dari langit ke dalam sebuah kertas kosong berisi kata-kata ?”.
Laki-laki muda pencerita itu terus berandai dan ia yakin bahwa ia tak mampu mengubah itu dalam sebuah kertas kosong. ”Tentu janji itu harus aku tepati”, pikirnya. Bahwa ia telah berjanji selalu mengirim cerita baru untuk seseorang, yang ia yakin selalu menunggu. Sebuah cerita yang dikirim melalui apapun, sebuah cerita baru di mana setiap kata adalah hal sederhana yang telah yakin dan tunduk pada sebuah pena hitam, yang sekiranya telah terikat dengan diri laki-laki itu.
“Aku ingin menjadi pencerita, pencerita, dan pencerita, untuknya”, pikirnya. Barangkali telah lama ia terikat pada kumpulan kata itu. Baginya, sebuah cerita ibarat sebuah senyuman, tidak dapat ditafsirkan secara langsung. Mungkin di dalamnya terdapat pula jiwa penulis yang bersemayam dan sengaja dititipkan melalui aksara itu. Sebuah cerita adalah jiwa, dan jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia hidup dan merasa bahagia. “Aku ingin menjadi pencerita, yang tak terikat dan bisa meletakkan jiwaku pada cerita itu”, tambahnya.
…
Kupersembahkan hari ini kepada yang menanti,
Hilangnya lilin pada api.
Sebuah lilin dan api, keduanya saling meniadakan. Namun sebenarnya siapa yang meniadakan yang lain? ataukah ada hal lain di luar keduanya? unsur oksigen misalnya, yang membuat api dapat tetap terjaga dan dengan gagahnya meniadakan lilin itu, atau memang sebuah lilin yang seolah-olah dilumat habis oleh api, tetapi ternyata dia yang meniadakan api itu ? Seperti yang nampak, saat lilin meleleh sampai batasnya lalu meniadakan api, bukankah lilin itu masih bersisa? dan apinya justru telah tiada?. Hal-hal semacam ini yang selalu membayangi laki-laki tua pencerita itu. Benarkah ia pernah merasai kepergian dan kedatangan sekaligus? apakah itu bagian dari hal nyata atau sebaliknya? bukankah keduanya saling meniadakan? seperti sebuah lilin dan api itu, atau apakah ada hal diluar itu yang sebenarnya yang meniadakan yang lain? sebuah takdir?. Tentu sama sekali tidak, manusia tidak dapat serta merta menyalahkan takdir. Justru sebaliknya, ia harus berterima kasih kepada takdir yang sejatinya membuat ia menjadi makhluk mulia, seorang manusia.
Siapa yang nampak bahwa sebenarnya laki-laki tua itu selalu dirundung duka? ia selalu menangis sebenarnya. Tapi apa daya tangis?
“Ceritaku lebih dahsyat dari tangis, lebih lebar dari waktu, tak berujung, tak berelung. Ia mampu menghentikan waktu, walau barang sedetik pun ternyata ia mampu”, tutur laki-laki itu suatu waktu. Dan laki-laki itu terus berandai, barangkali sebuah kisah baru akan ia tulis. Ia tetap duduk di atas bangku kayu itu, dan matanya kini melirik pada sebuah jam dinding, penanda waktu. “Aku ingin kau kembali ke masa itu, di mana aku masih berdiri tanpa penopang. Aku ingin kau kembali ke masa itu, di mana sebuah senyum mampu aku penggal dan aku ubah menjadi cerita”, tuturnya pada jam dinding itu. Lantas ia tetap terdiam, berharap waktu beranjak kembali dari dunia ini. Menanti hal yang pernah terjadi sebelumnya pada dunia yang lain.
Namun barangkali ia telah menyerah. Ternyata waktu tak dapat kembali, dunia di sini dan waktu memiliki aturan baku tersendiri. Ia lantas menutup mata, tersenyum dan wajahnya mendongak ke atas. Gelap, laki-laki itu tak melihat apapun. Dan hal itu terjadi, keriput di tangannya mulai menghilang, penopangnya lepas, dan rambutnya kembali menghitam. Ia telah kembali, seperti yang ia katakan sebelumnya, “Cinta mampu menghentikan waktu, walau barang sedetik pun ternyata ia mampu”, dan laki-laki yang kini muda itu telah sampai pada dunia itu, dunia imaji bagi mereka dan dunia baru baginya.
“Kenapa baru sekarang kau datang, aku telah menerima ceritamu yang lalu. Ceritakan kisah yang baru lagi”, terdengar secarik suara yang bergema. Namun laki-laki itu tak mencari asal suara itu. Ia kenal betul siapa yang bersuara. 20 tahun lamanya dan suara itu masih tetap sama, tak menua, tak berubah barang sejengkal pun. Lantas seseorang mendekat menuju diri laki-laki itu. Tubuhnya nampak bercahaya, tapi tunggu, ada hal yang membuat takjub mata. Senyumnya ! seorang wanita dengan senyum indah kian mendekat. Laki-laki itu tersenyum jua dan berdiri memandangnya.
“Aku bawa cerita baru untukmu, dari tempat jauh. Sebuah kisah baru, dan aku yakin kamu tetap menunggu”, tuturnya.
“Ceritakan itu, sebuah kisahmu yang baru”, ujar wanita itu.
“Sebelum itu, aku ingin menjawab kenapa aku baru datang kemari, 20 tahun ternyata tetap tak cukup untuk meringkas dunia menjadi sebuah kata-kata, ataupun cerita. Sebelumnya aku ingin membuat cerita baru untukmu, lantas kala itu aku berpikir, bagaimana jika aku ceritakan dunia untukmu, dengan segala keindahannya aku mencoba mengubahnya menjadi cerita. Dan kau tahu, 20 tahun lamanya tetap tak cukup. Dunia selalu berubah, waktu pun demikian, namun kata-kata tidak, hanya bertambah sebagian. Dan itu mungkin yang membuat aku nyaris putus asa, lalu mengurungkan niat untuk datang kemari. Maka, dengan hati, roh, dan zahirku yang kini tersisa sebagian, karena sebagian lainnya telah aku semayamkan dalam ceritaku, aku mohon maaf atas janjiku”, tutur laki-laki itu.
Terlihat jelas perangainya sebagai seorang laki-laki; berusaha menepati janji, dan apabila tak dapat maka dengan tegas mohon maaf. Kini wanita dengan senyum indah itu berbicara kepada laki-laki itu.
“Adakah yang kau bicarakan itu sebuah permulaan ceritamu ?”
“Tentu bukan, itu sebuah pengakuan. Ceritaku tak memiliki permulaan dan akhir, karena ceritaku didorong hal yang selalu terang dalam diri, keyakinan dan harapan”, ujar laki-laki itu.
“Jika memang benar ceritamu selalu bermula dengan keyakinan dan berakhir dengan harapan, lalu di mana tempatku dan tempatmu ?”
“Tempatku pada kata itu, pada alur cerita itu, dan di antara keduanya. Dan tempatmu…”, laki-laki itu terdiam sejenak, berpikir.
“Di mana tempatku?”, ujar wanita itu.
“Tempatmu tidak pada bagian cerita itu, karena dirimulah tujuan cerita itu berkumpul”, tutur laki-laki itu.
“Kalau begitu ceritakan aku kisahmu”, tutur wanita itu.
“Tak ada yang menarik dari kisahku, Zahra. Tak ada hal khusus bagi kisah hidup laki-laki yang hanya menjadi pencerita ini”
“Tidak, tapi aku ingin dengar kisahmu sendiri, selama hampir 20 tahun ini kau di sana, ceritakan itu”. Wanita itu tampak begitu antusias, dan berusaha memaksa laki-laki itu untuk bercerita terkait kisahnya.
“Baiklah, tapi aku sudah mengatakan tak ada yang menarik dari seorang pencerita sepertiku”, ujar laki-laki itu.
Laki-laki itu mulai bercerita tentang hidupnya selama ini, sejak awal hingga akhir, dari keyakinan hingga harapan. Wanita itu, yang duduk di hadapannya tampak serius dan begitu antusias mendengar kisah laki-laki itu. Sesekali terlihat mereka tertawa lepas. Di bawah langit sendu itu mereka mengulang hal sebelum 20 tahun lalu, ketika wanita itu sadar ada seorang laki-laki yang senang memandangnya dan nampak selalu menulis. Dan ketika laki-laki itu sadar bahwa sepenggal senyuman mampu melahirkan ribuan kata, bait puisi, hingga cerita.
…
“Aku tahu, sebentar lagi waktumu di sini telah habis, aku kira 20 tahun begitu singkat. Karena beberapa jam di sini, bersamamu, terasa sudah melampaui 1000 tahun. Saat kembali nanti, jangan lupa kirim cerita baru untukku”, ujar wanita itu.
“Tak ada yang habis, Zahra. Aku kemari bukan karena kemauanku, alur waktu tak dapat ditebak dan dipaksa berjalan sesuai kehendak. Dan ternyata sudah masanya aku menetap di sini, nanti kita bisa buat cerita baru bersama”, tutur laki-laki itu dengan memandang mata wanita itu.
Dan benar, di dunia lain, dimana laki-laki itu duduk di atas bangku kayu, dengan wajahnya menghadap ke atas dengan mata terpejam, nampak kertas yang dipenuhi coretan- coretan pena di hadapannya. Salah satunya tertulis, Laki-laki tua yang mati karena menjemput kekasihnya, Nazahra.
Kupersembahkan cerita ini kepada yang merindu,
Jatuhnya hujan dalam pangku.
Haryo Pamungkas. Penulis lahir di Jember, Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh bangku kuliah semester tiga Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. Anggota lembaga pers Ecpose dan PMII. Menyukai cerita sejak sekolah dasar, namun mulai menulis ketika sekolah menengah atas. Email : pakujatuh@gmail.com