Banyak cinta yang datang seolah benar-benar memberikan keyakinan hati. Tapi pada hakikatnya cinta tersebut hanya mampir sebentar, memastikan untuk kemungkinan masuk ke hatimu. Hanya saja kamu harus pintar mengolah hatimu, menjaganya agar tidak mudah terjebak pada rasa yang hanya mampir sebentar.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan maret sebelum Ujian Tengah Semester berlangsung. Ketika itu, seperti biasa aku memainkan handphone genggamku, mengintip grup kelas yang tak pernah sepi dengan candaan teman-teman tetapi tanpa aku ikut berperan di dalamnya, aku hanya ingin melihat pengumuman dari sana. Tidak berniat ikut bercengkrama dengan mereka. Bukan aku tak mau, tetapi setiap kali aku ikut obrolan mereka, pasti setelah itu hanya dibaca tanpa ada balasan dari mereka. Inilah aku dengan sejuta kebisuan yang membelengguku.
Setelah melihat grup, mataku langsung tertuju pada satu pesan dari pengirim M. Zevandra kusuma yang tidak kukenal. Dia meminta pertemanan, dan mengirimkan emoticon di pesan itu. Aku langsung menekan kata izinkan pada layar, dan otomatis aku berteman dengannya. Aku pikir tidak ada salahnya berteman dengan orang yang tidak dikenal. Setidaknya untuk menambah teman kenalan, karena aku juga baru semester kedua di kampus.
Langsung saja pesannya kubalas. “ya”. dan langsung di baca olehnya. “Kamu Fahira, anak biologi, kan?”. Tanyanya “ya, ada apa ya?”. Tanyaku kembali “oh, nggak Cuma nanya aja”. Katanya “Boleh minta tolong nggak?”. sambungnya lagi “Minta tolong apa dulu?”. Jawabku “Tadi kami ada tugas pelajaran biologi, dan pertanyaannya sangat sulit. Kamu bisa nggak bantu menjawabnya. Berhubung kamu anak biologi, aku yakin kamu tau banyak hal tentang biologi”. “insyaallah ya. eh, nggak kok. Aku juga masih tahap belajar. Pertanyaannya bagaimana?”. “Bagaimana hubungan antara sistem pencernaan, sistem koordinasi, dan sistem saraf? tolong bantu ya”. Pintanya lagi “insyaallah, aku bantu cari dulu”. “Sebelumnya, terima kasih telah membantu”. “sama-sama”.
Sejenak langsung aku mencari buku-buku tentang materi itu, dengan niat hanya membantu pikirku. Tapi setiap materi, aku hanya tahu materi dari ketiga sistem itu, tapi aku tidak tahu apa hubungan dari ketiganya. Hingga akhirnya aku mencari di internet, dan tetap saja jawabanya tidak kutemukan.
30 menit berlalu, aku memutuskan menyerah dan mengatakan padanya bahwa aku tidak tahu jawabannya. Dengan sedikit membela bahwa ilmu biologi yang kupelajari belum sedalam itu ujarku. Dia mencoba memakluminya. Dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Hingga aku memutuskan bertanya… “Kamu tahu kontakku dari mana ya?”. Tanyaku penasaran “Sebenarnya aku tahu kamu sudah lama, sering ketemu di kampus. Tapi kamu mungkin tidak mengenalku. Lalu aku cari tentang kamu di data akademik fakultas. Hehe”. Ungkapnya “oh, kamu niat banget ya” “maksudnya?”. Tanyanya kebingungan “kamu niat banget mau nanyanya, sampai nyari dari data akademik fakultas segala” “hehe, ya begitulah”. “oh ya, kamu ngekos di jalan… ya?”. Ucapnya dengan basa-basi “nggak kok, aku nggak ngekos”. ‘Tebakannya salah, ketahuan banget Cuma menerka-nerka doang’. Pikirku dalam hati. Dan seterusnya obrolan basa-basi itu terus berlanjut, hingga aku mulai mengakrabkan diri dengannya. Tertawa sendiri dengan candaan-candaannya yang garing. Dan mendengar banyak tentang biodata pribadinya, termasuk asal tempat tinggalnya. Sepertinya sedikit menarik. Semua obrolan itu hanya terjadi lewat sosial media, selebihnya ketika tidak sengaja bertemu di kampus, aku dan dia hanya bertukar pandang tanpa saling menegur satu sama lain. Mungkin rasa malu lebih besar menyelimuti di antara kami. Tetapi walaupun begitu, aku dan dia selalu berbagi cerita yang kami lakukan di kampus lewat pesan singkat di sosial media.
Dua minggu berlalu, dari hari pertama aku mengenalnya. Bukan waktu yang lama, untuk mengenal satu sama lain. Hingga, ia mencoba melewati batas. Batas yang selalu kujaga. Aku tahu pertanyaan itu akan terjadi. “Fahira, kamu sudah punya pacar ya?”. Tanyanya serius “Nggak punya, kenapa ndra?”. Tanyaku kembali “Serius ra? Hmm… aku hanya takut seperti sebelumnya, karena setiap kali PDKT sama cewek, ujung-ujungnya sudah punya pacar”. ujarnya dengan polos. “Seriuslah ndra, ngapain bohong. Dosa loh”. Jawabku dengan nada becanda “hehe, iya percaya kok. Berarti boleh dong aku ngisi hati kamu, ra”. Godanya. “Bukannya kamu punya pacar, ndra?”. Tanyaku sedikit bingung “aku nggak akan dekati kamu loh ra, kalau aku sudah punya pacar”. Jawabnya dengan sedikit membela “Tapi, aku lihat ada foto kamu sama cewek di timelinemu. Itu siapa ndra?”. “Perasaan sudah aku hapus, kok masih ada ya? itu sebenarnya foto sama mantan. Sudah putus sekarang”. “Oh, belum bisa move on ya ndra, itu foto sama mantannya masih disimpan. Hehe” “Ya Allah, ra. Beneran lupa kuhapus”. “Oh, haha santai. Becanda kok”. “Jadi, gimana ra? kamu mau nggak jadi pacarku?”.
Aku terdiam sesaat, mencerna setiap kata yang telah terucap olehnya. Aku tahu cintanya tak sesungguh itu. Cintanya hanya berupa kata, dan kata itu tidak bisa aku rasakan. Dua minggu masa berkenalan dengannya membuatku lebih dari cukup mengetahui bagaimana sifatnya. Dia hanya butuh status, tapi aku tak butuh status itu. Bagiku butuh proses yang lebih untuk merasakan cinta yang sebenarnya. Dua minggu? itu bukan cinta. Aku telah memutuskan kata apa yang akan aku katakan untuk mewakili jawaban dari pertanyaannya.
“Hmm.., Aku tidak bisa ndra, Maaf. Karena untuk sekarang, aku mau fokus belajar dulu. Aku takut belajarku terganggu karena pacaran. Kita tetap bisa jadi teman kok”. Jelasku dengan yakin. “Haha iya ra, aku maklum kok”. Jawabnya singkat. Sepertinya ia sedikit kecewa.
Setelah kejadian pesan itu, tak pernah lagi kulihat pesannya terlihat di handphoneku. Ketika bertemu di kampus, dia lebih memilih menghindar atau pura-pura tidak melihat ke arahku. Aku tau sepertinya dia menyerah. Secepat itukah? Benar. Cinta yang datang hanya berupa kata dan akan berakhir dengan sebuah kata pula, “PUTUS”.
Cinta yang mampir sebentar, yang hanya memastikan hatimu. Ya atau Tidak. Jika pun bagimu tidak, itu bukan masalah yang besar baginya. Dan… tidak akan menorehkan bekas luka di hatinya. Karena masih banyak hati yang lain, yang akan ia singgahi. Kau bukan tujuannya, untuk berhenti dan benar-benar menetap. Tapi kau hanya persinggahan, ketika ia akan meneruskan perjalanan mencapai tujuan hati yang sebenarnya.
Cerpen Karangan: Yesi Tri Agustin Blog / Facebook: Yesi Tri Agustin Dari kegemaran saya membaca, saya mencoba menyalurkannya lewat tulisan ini. Semoga dapat di terima dengan baik. 🙂