Aku menangis sejak pulang dari kampus. Rasanya ini hari terburuk yang pernah kulalui. Kenapa cemburu Davi sangat tidak masuk akal? Kenapa aku harus jaga jarak dengan orang yang bahkan sudah aku anggap sebagai keluarga?
Dan tentang Ray, kenapa? Selama hampir lima tahun ini mendengar namanya lagi saja aku tidak pernah. Apalagi bicara? Atau bahkan, mengungkit tentang Ray pada Davi? Aku bahkan sudah tidak tahu apa-apa lagi tentang Ray.
Aku menyetel ulang memoriku. Davi berubah sesingkat itu menjadi menyeramkan dan tanpa pikir panjang aku meminta untuk mengakhiri hubungan ini. Semuanya. Kenapa dia marah? Kalau memang aku menyakitinya dan dia benci padaku, kenapa tidak mundur saja? Kenapa harus memaksakan diri? Aku tidak mau bertahan karena aku tersiksa. Apa, aku harus pergi sejauh mungkin darinya?
“Are you okay?” Terdengar tanya setelah suara ketukan pintu dari kamarku tak kunjung ku pedulikan. Aku melirik jam dinding. Sudah pukul 8 malam dan aku bahkan belum makan sama sekali sejak sore tadi.
Perutku lapar, tapi tidak nafsu. Aku beranjak, lalu memandangi diriku yang berantakan di depan cermin. Payah. Menyedihkan. Bodoh. Piyama coklat dengan gambar teddy bear kesayanganku bahkan terlihat sangat lusuh.
Aku melihat ke sekeliling kamar. Foto-fotoku dengan Davi yang sudah kupotong-potong berserakan di lantai. Benar-benar kacau.
Aku melangkah pelan untuk membuka knop pintu. Kakiku juga masih terasa sakit.
Gio sudah berdiri dengan dahi yang mengerut. “Are you okay?” ulangnya. Aku tidak menjawab tapi menyuruhnya masuk ke dalam kamar.
“Memangnya aku terlihat seperti apa sampai kamu tanya begitu?” kataku cuek setelah melemparkan tubuhku ke sofa. “Sangat jelek.” kata Gio. “Kamarmu sudah kayak kapal pecah.” “Aku baru bangun tidur. Wajar kalau aku acak-acakan. Tapi begini saja aku sudah cantik.”
Dia duduk di lantai dan menghadapku. Menatapku dalam dengan tersenyum miris. “Sorry.” lirihnya tiba-tiba. Dia menggenggam kedua tanganku. “Untuk apa?” tanyaku. “Kak Davi.” “Bukan salah kamu.” Gio menggeleng. “Tadi aku ngobrol dengan Kak Davi. Maaf sudah menyulitkanmu. Aku, minta maaf. Benar-benar minta maaf. Semua salahku.” katanya penuh sesal, menyandarkan kepalanya di lututku. Aku tidak terkejut lagi tentang Gio akan tahu soal ini karena aku sudah menduga sebelumnya.
“Maka, jangan lagi tanya apakah aku baik-baik aja.” balasku kemudian memeluknya. “Aku akan menjaga jarak. Aku minta maaf.” “Nggak perlu. Meskipun aku sayang sama Davi, bukan berarti aku rela mengorbankan persahabatan kita.” Dia menangis. Dan aku juga menangis. Bahkan di titik terendahku, Gio lah yang ada di sisiku.
—
“Aku sudah segitu beda, ya, Bee?” tanyaku. Dengan kesadaran penuh memanggilnya Bee, panggilan sayangku padanya dulu. Reaksi terkejutnya kutangkap. Aku tersenyum lirih. Tentu saja.
“Ah? Bee, ya?” “Bercanda,” elakku. “Maaf kalau bikin kamu jadi nggak nyaman.” Aku menggigit bibir, mengutuk kenekatanku sehingga rasa bersalah menyelimuti.
Dia tersenyum manis dan menggeleng pelan. “Kalau kamu nyaman dengan panggilan Bee, nggak apa. Kamu bikin aku mau balik ke masa lalu.” katanya setelah menikmati mocha-nya. Aku tersipu. Gombal.
“Aku sering dengar tentang kamu dari Kezia.” Eh?
“Aku yang minta Kezia buat cerita tentang kamu.” katanya melanjutkan. Kezia adalah temannya yang satu kampus denganku, bahkan kami berada di dalam satu lingkaran pertemanan.
“Tentang pacarmu, gimana?” “Aku mau putus. Tapi, dia nggak mau.” Senyumnya memudar. Aku menunduk sedih. “Maaf, Shan. Aku juga sedih karena kamu berubah sedrastis ini.” Aku mengangguk pelan. Sama sekali tidak menampik pernyataannya. Realita memang bicara, kan? Aku bahkan tidak yakin apakah aku yang sekarang memanglah aku yang sebenarnya.
“Aku kenal kamu lama. Kamu nggak mungkin bahagia dengan menutup diri. Apa… aku benar?” Aku tidak merespon. Tapi hatiku rasanya puas. Dia benar. Aku tertekan bersama Davi. Tapi, aku takut untuk pergi. Aku tidak bisa dan tidak tahu harus bagaimana.
Dia menatapku cukup lama. Aku gelagapan tapi tidak mau berpaling. Atmosfer ini… Sangat berkabut dan pilu.
“Bee, kalau mau cerita, aku siap dengar.” gumamnya lembut dengan senyum khasnya yang memikat.” Aku tersenyum sekilas. Dia juga memanggilku Bee.
“Dia cemburu, tapi nggak masuk akal.” Aku memulai cerita, lalu menikmati green tea-ku yang mulai mendingin. Dia terus menatapku dengan sorot mata menyimak. “Dia mau aku berhenti berteman dengan Gio.” “Gio? Gio tetangga kamu? Anak kecil yang menyebalkan itu?” tanyanya bertubi. Aku mengangguk mengiyakan. “Astaga! Cemburu macam apa dia?” “Aku jelas nggak mau. Tapi dia bilang aku nggak akan aman kalau aku nggak ikuti aturannya.” Dahinya mengerut. Aku yakin dia bingung karena ini memang tidak masuk akal.
“Kenapa dengan Gio?” “Gio putus sama pacarnya dan kebetulan dia lagi bareng sama aku. Jadinya, aku hibur Gio sampai dia cukup tenang.” “Karena itu? Apa-apaan sih, dia?” Aku mengangkat bahu. Davi meng-handle hidupku dengan semua aturannya. Mau aku suka atau tidak. Berani menolaknya, artinya siap-siap hidupku dia hancur, entah dengan cara seperti apa.
“Bee? Kamu mau diam sampai kapan? Mau tunggu mati hati?” Aku mengalihkan pandang ke jendela kafe. Hujan mulai mereda.
“Kamu kehilangan diri kamu.” katanya. “Aku tahu!” balasku tak terkontrol dan menatapnya risau. Kenapa rasanya pahit sekali? “Maaf.” sesalku. Kemudian menunduk. Mataku rasanya perih. Bagaimana mungkin aku harus menangis di depannya? “Kamu pantas bahagia, Bee.” “Tapi semuanya salahku, kan?” Dan air mataku jatuh juga. Aku terisak. “Andai dari awal dia nggak perlu pura-pura ngerti tentang diri aku, mungkin akan lebih baik. ”
Seketika aku merasakan pipiku disentuh. Aku mengangkat wajahku dan mendapati dirinya tersenyum hangat. “Bee, orang yang serius menyayangi kamu, akan menerima kamu apa adanya. Dia terima kamu satu paket dengan masa lalu kamu, teman-teman kamu, lingkunganmu, dan berpikir tentang apa yang akan kalian bangun sama-sama buat ke depannya. Tanpa tapi.”
Aku terenyuh. Hanya saja, mau dilihat dari sudut manapun, tetap aku yang salah di matanya.
“Please, bahagia. Aku sayang sama kamu. Aku nggak terima kamu diperlakukan kayak gini.” lanjutnya sambil mengusap sisa air mataku.
Kata-kata itu, kenapa harus dia yang mengucapkannya?
Aku mematung namun rasa rindu mengguncang hati. Andai saja aku dapat berbalik ke masa lalu. Andai saja aku lebih sabar. Andai saja aku tidak menyerah dan kalah pada jarak. Mungkin aku masih bersamanya.
Sosok yang hangat, dewasa, dan tidak pernah tidak mendukung hal yang aku senangi. Berbeda dengan Davi yang sangat membenci hobiku.
“Berhenti menulis atau aku akan menyakitimu? Silahkan pilih sesukamu.” Kata-kata menyeramkan itu, aku tidak pernah melupakannya.
Ray, andai saja aku bisa bertahan saat itu…
“Makasih karena sudah dengar keluh kesahku.” “Nggak masalah. Aku malah senang akhirnya kamu mau berbagi lagi sama aku. Selama ini, perjuangan banget buat sekedar mau ngobrol sama kamu. Aku cuma bisa titip rindu lewat angin.” Aku tersenyum. “Pantas rasanya angin selalu memelukku tiap malam. Tertanya, itu angin rindu dari kamu, ya?” tanyaku menggoda. Dia tertawa kecil. “Tapi, serius. Aku kaget dapat chat dari kamu. Nggak pernah aku duga kamu bakal hubungin aku setelah lima tahun kita pisah. Sempat mikir sih, itu bukan kamu. Siapa tahu ada yang iseng, gitu. Tapi begitu kamu telpon, dengar kata hai dari kamu, aku langsung yakin kamu memang Shanin yang selalu aku cari. Dan kamu bilang, kamu lagi liburan di Malang, harapan aku buat ketemu kamu jadi besar.”
Aku tetap tersenyum dan mendengarkannya. Degup jantungku makin kencang. Rasa yang kusimpan selama ini coba menerobos untuk menyampaikannya lagi pada sosok hangat di hadapanku.
“Aku curiga, tujuan kamu ke Malang benar buat liburan atau mau ketemu sama aku?” Aku mencubit lengannya menyembunyikan malu. Duh, pipiku pasti sudah semerah tomat sekarang. “Makasih, ya. Karena ketemu kamu, rinduku jadi terobati.” Aku mengangguk pelan. “Jadi, jangan hilang lagi, ya?” Aku hanya tersenyum. Beberapa saat kami terdiam lagi, menikmati suara hujan yang kembali. Seketika, aku diseret dalam kenangan masa lalu bersamanya.
“Bee?” panggilku pelan. “Ya?” “Bagaimana kalau, aku merindukan tentang kita?” tanyaku. Pandanganku enggan pergi dari Ray. Rasanya sesak. Rinduku sudah tidak terbendung. Aku bernyanyi pelan.
Di hati ini hanya engkau mantan terindah~ Yang selalu, kurindukan~
Kulihat mata coklat tua milik Ray berkaca. Apa, dia terharu? Dia meraih tanganku dan tanpa diperintah aku menangis. “Aku juga rindu. Tapi, kita jadikan pelajaran, ya? Biar hubungan kita berdua sama-sama nggak gagal kayak kita yang dulu.” Aku hanya mengangguk pelan. Entahlah, apa aku bisa melupakannya?
Hujan lalu berhenti. Cerah lantas datang. Minuman kami sudah habis. Pertemuan ini, berakhir sekarang, kah?
Aku melirik jam tangan. Sudah pukul 5 sore. Dua jam bersamanya rasanya bukan apa-apa. Aku masih ingin di sini.
“Mau ke taman?” tawarnya tiba-tiba. “Mau.” jawabku antusias. Bagaimana aku menolak sedangkan aku ingin bersamanya lebih lama lagi?
Ray berdiri, mengulurkan tangannya padaku. Aku tersenyum, lalu meraihnya.
—
“Tamannya cantik?” Tentu saja. Banyak bunga dan warnanya beragam. Taman ini menawan. Aku memandang Ray dengan senang. Sekali lagi, kenapa harus Ray yang mewujudkan kencan impianku?
Taman, menikmati ice cream, lollipop berbentuk hati dan bunga baby’s breath. Aku benar-benar memimpikannya.
“Suka?” “Banget.” Ray tersenyum puas. Sepanjang perjalanan, dia merangkulku dan aku melingkarkan tangan ke pinggangnya. Apa yang lebih hangat dan teduh daripada bersamanya? Kami saling menatap, lalu tersenyum. Wajahnya mendekat, dan tanpa aku sangka keningku dia cium. Aku tidak bisa tidak tersenyum. Sudah ku bilang, kan, dia sangat hangat dan teduh.
“Rindu.” jelasnya singkat, tapi penuh makna. Lalu, langkahnya berhenti ketika kami berada di depan kolam air mancur yang membuat taman ini tambah cantik. Aku tentu ikut berhenti, menatap tangan kami yang kini saling bertautan. Nyaman sekali.
“Apa ini keterlaluan?” tanyaku pelan, lalu duduk di kursi yang ada di dekat kolam air mancur tersebut. Dia tersenyum miris, menggeleng kecil dan mengambil posisi di sampingku. “Aku mau kamu tenang.” “Aku sudah jauh lebih tenang sejak pertama kali ketemu kamu. Aku jadi nggak tahu, gimana caranya berterima kasih sama kamu.”
Dia beralih menggenggam kedua tanganku. “Bee, jujur, aku sakit dengar tentang kamu selama ini. Kamu benar-benar bukan yang aku kenal. Aku cukup kecewa. Tapi aku nggak bisa berbuat banyak selain doain kamu, dan sekarang bisa dengar cerita kamu. Please, jangan takut. Aku mau kamu bahagia, meski bukan sama aku, meski bukan aku yang selalu ada di samping kamu.”
“Bee…” lirihku. Aku jadi benar-benar cengeng bersamanya. Kenapa aku menangis lagi? Dia memelukku. Hangat. Meski aku agak terkejut, aku membiarkannya membelai rambut sebahuku dengan lembut.
“Dulu, kalau aku sedih, kamu selalu ajak aku ke taman. Tapi kamu nggak pernah lupa bikin aku senyum lagi. Aku… nyesal kita pisah. Apa boleh?” tanyaku. Bagaimana denganku jika ternyata aku hanya ingin bersamanya?
“Apa aku salah kalau aku mau tunggu kamu?”
Dia melepas dekapannya dan tersenyum tipis menatapku. “Maaf. Perasaanku. Ini tidak seharusnya…” kataku. Bohong. Perasaan ini, seharusnya memang untuk Ray. Perasaan yang selalu aku coba kubur dan menyimpannya sedalam mungkin. Aku, gagal.
Aku menyayanginya. Selalu. Masih selalu dia. Tetap sama seberapapun aku mencoba memalingkan hati. Rasa ini pasti sangat dalam sampai aku tidak bisa mengukurnya ini sudah sampai dimana.
“Bee,” katanya sambil merapikan sedikit rambutku dan menyembunyikannya di belakang telinga. “Nggak ada yang salah tentang cinta. Mungkin waktunya nggak tepat. Kita di posisi yang sama. Tapi aku tetap nggak bisa memungkiri bahwa aku masih sayang sama kamu.”
Dosaku sudah sebesar apa ketika aku masih mengharapkan masa laluku sementara aku sudah ada yang lain?
“Aku nggak akan paksa kamu untuk tunggu atau nggak. Tapi aku nggak mau kamu terlalu berharap banyak sama aku. Aku takut kalau akhirnya bakal bikin kamu kecewa.” Aku tidak menjawab, tapi pipiku terus basah karena air mata.
“Yang harus kamu tahu, aku juga sangat sayang sama kamu. Selalu. Pada akhirnya, aku juga sulit melupakan kamu. ” sambungnya. Air mataku sontak menderas. Kenapa aku berada dalam keadaan serumit ini?
Aku memeluknya dengan erat. Aku bahkan tidak peduli jika kemeja yang dia kenakan basah. Aku hanya ingin memeluknya saja. “Aku menyayangimu. Tapi, kita, tidak, tepat.” lirihnya terbata. Suara dan tubuhnya bergetar, aku yakin dia menangis.
Dan kami menangis untuk alasan yang sama. Saling mencintai, tapi tidak bisa.
Sudah kubilang. Aku percaya. Hatiku membuktikannya. Cinta ini. Tentang kamu. Masih, kamu.
Ray, aku akan selalu menyayangimu…
Cerpen Karangan: Desy