Kemarin adalah hari selain sekarang. Kemarin adalah hari dimana senyumu terukir indah hanya untukku. Kemarin, kemarin adalah hari dimana kamu masih bersamaku. Tapi, sekarang semua telah berubah. Tempo ‘kemarin’ hanyalah masalalu yang harus kulupakan, karena kenyataannya sekarang aku hanyalah butiran debu yang tak berarti dalam hidupmu.
Pagi yang seharusnya membawa langkah baru dalam hidupku mendadak suram. Hanya dengan sebuah surat yang kau kirimkan, kau sempurna membuatku terjatuh. Apalah ini, undangan pernikahanmu dengan pria lain. Bahkan untuk beberapa saat aku berharap semua ini hanyalah delusi yang sedang kau buat untukku, karena jujur saja ini sangat menyakitkan.
Akupun mencoba membuka undangan itu, meski kenyataannya hanya dengan membaca namamu di sampulnya aku sudah tak kuat. Dengan perlahan tanganku memutar pengait yang terhubung di undangan itu. Aroma mawar tercium. Aku menemukan surat lain di dalam undangan itu. Kuraih surat tersebut dan membukanya dengan perlahan. Tanganku bergetar, namun aku tetap membukanya. Samar samar aku dapat melihat jejak air mata yang membekas pada selembar kertas tersebut. Apa kau menulis surat ini sambil menangis?
Tanpa menunggu lama aku membaca surat itu.
“Bagiku semua yang pernah kita lalui itu sangat indah, bahkan sampai detik ini pun aku masih mengenangnya. Aku ingat, kita pernah berjanji untuk saling berpegang satu sama lain dan menjaga cinta yang telah lama bersemi ini. Tapi, maafkan aku. Aku tak dapat menepati janji itu. Aku tidak bisa selalu memegang tanganmu, aku tak bisa untuk selalu menemanimu. Bahkan meski hatiku harus merasa sakit dengan perbuatanku sendiri.
Mungkin sekarang kau sangat marah padaku atau lebih buruknya kau malah membenciku. Tak apa, aku memang pantas dibenci. Bencilah aku sesuka hatimu hingga kau merasa aku sudah lenyap dari muka bumi ini. Lalu, lupakan aku agar kau tak akan merasakan derita yang telah kugoreskan pada hatimu. Tapi selagi kau melupakanku, aku akan tetap mengingatmu sebagai seseorang yang pernah berarti dalam hidupku.
Sebenarnya aku mempunyai sebuah permintaan untukmu. Mungkin, sedikit tak tahu diri. Tapi, bisakah kau menghadiri pernikahanku? Aku mohon. Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kali. Kau boleh datang dengan kebencianmu. Kau boleh datang dengan segala amarah yang akan kau luapkan padaku. Terserah kau mau melakukan apa. Aku akan terima. Aku hanya ingin mengakhiri semua ini dengan baik. Jadi, kumohon datanglah.
Tertanda,
Riani.”
Keesokan paginya aku benar benar memenuhi permintaanmu. Aku datang untuk menghadiri pernikahanmu, dengan membawa segores luka yang telah kau torehkan. Aku berdiri di sudut ruangan, aku tak punya keberanian untuk menemuimu langsung. Aku takut akan mengacaukan acaramu karena amarahku yang akan meluap.
Dari sini aku cukup melihatmu dalam diam. Kau terlihat cantik. Gaun putih itu terlihat pas dengan porsi tubuhmu. Ditambah dengan motif bunga mawar yang menjuntai di bagian ujungnya semakin membuatmu terkesan bak seorang putri. Riasan natural dan hiasan rambut yang sedemikaian rupa menambah kesan keanggunan. Lalu aku melihatmu tersenyum, kau tertawa sambil sesekali merona ketika beberapa tamu undangan memberimu ucapan selamat. Kamu kelihatan bahagia tanpa diriku. Mungkin seharusnya aku tak perlu datang, aku hanya akan menjadi perusak kebahagiaanmu.
Aku pun melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Tetapi, ketika aku hendak sampai di penghujung pintu, sebuah suara yang begitu familiar di pendengaranku menghentikanku. “Fadil!” Aku berhenti dan menoleh ke arah suara tersebut. Namun, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa yang memanggiku itu kamu. “Riani,” ucapku kikuk. “Kamu datang?” suara serak khas hendak menangis keluar dari sudut bibirmu. “Ya, kau bilang itu permintaan terakhirmu jadi aku datang.” Aku mencoba tersenyum meski kenyataannya semuman itu terasa pahit. “Lalu kenapa kamu ingin pergi? Kamu bahkan belum menemuiku. Apa kamu benar benar membenciku, hingga untuk bertatap muka sekalipun kamu tak sudi?” Riani menunduk sendu. “Maafkan aku…” “Tidak, aku tahu semua ini pasti sangat menyakitkan. Aku memang tak tahu diri. Setelah membuatmu sakit sedalam ini aku masih berani memintamu datang. Fadil, maafkan aku. Aku tak akan mencegahmu lagi. Pergilah, aku tahu kau sudah muak di sini bersamaku.” Tangis Riani pecah, air mata meluncur dari kedua sudut matanya diiringi dengan isakan kecil. “Jangan menangis. Bukankah ini hari pernkahanmu? Bagaimana mempelai wanita menangis di hari bahagianya.” ucapku dengan nada gurau. Kemudian aku merogoh saku kemejaku. “Ambilah, dan hapus air matamu. Kamu tahu aku sangat benci melihatmu menangis. Jadi berhentilah menangis.” aku menyodorkan sapu tangan merah kepada Riani. Jika biasanya aku yang menghapus air mata itu dengan kedua tanganku, sekarang aku sudah tak berhak. Karena sekarang aku bukan siapa siapa lagi baginnya.
“Jujur saja setelah membaca suratmu kemarin aku sangat marah, aku sangat membencimu dan ingin melenyapkanmu dalam memoriku detik itu juga. Tapi, semakin aku ingin melupakanmu semakin kuat saja memori itu melekat. Yah, ternyata melupakan bisa jadi hal yang sangat sulit. Apalagi jika itu menyangkut orang yang kau cintai.” aku terkekeh. “Maafkan aku. Aku membuat keadaanmu jadi sulit.” Riani menunduk bersalah. “Tak apa. Seperti halnya dirimu yang akan tetap mengingat kenagan kita, aku pun akan melakukan hal yang sama. Mungkin aku harus berdamai terlebih dahulu dengan semua kenangan itu.” “Terimakasih.” “Huh?” aku memandang Riani tak paham. “Terimakasih kamu sudah memaafkanku.” jelasnya. “Hmm, lagi pula setelah dipilkir pikir dalam hal ini aku lah yang salah.” “Maksudmu?” sekarang justru Riani yang tak paham akan ucapanku. “Jika saja aku lebih mengerti dirimu mungkin sekarang aku tak akan kehilanganmu.” aku tetawa getir. “Berhenti menyalahkan dirimu. Aku lah yang salah. Aku tak bisa sabar menghadapimu selama ini. Maaf.” “Sudahlah, kau juga jangan menyalahkan dirimu sendiri. Bukankah kemarin kau bilang ingin mengakhiri semua ini dengan baik. Jadi, mari kita akhiri semua ini dan lepaskan beban yang ada dengan seutas senyuman manis.” “Iya, terimakasih Fadil. Berkat kebaikanmu aku dapat memulai lembaran baru dengan tenang. Sekali lagi terimakasih.” Riani tersenyum haru. “Hm. Ya sudah sana kembali ke suamimu. Lihatlah sepertinya dia cemburu melihat kehadiranku di sini.” Riani menoleh ke belakang, dan mendapati suaminya tengah memandang ke arahnya. “Tak apa, aku sudah meminta izin padanya. Lagipula dia pasti mengerti, aku sudah menceritakan semua masalaluku padanya.” “Dia baik sekali mengizinkan istrinya bertemu dengan mantannya.” “Itulah yang membuatku menyukainya. Dia begitu pengertian dan peduli.” “Ekhem, kamu menyindirku ya?” “Ah, a-anu maaf aku tidak bermaksud…”
Apa Riani sedang menyindirku, ck, aku merasa tersindir. Perkataannya membuatku mengingat masalalu. Betapa egoisnya aku dulu. Selalu ingin dimengerti tetapi tidak mau mengerti. Pencemburu dan terlalu menekannya dibawah rasa cintaku yang berlebihan. Yah, aku memang buruk dalam mencintai. Ibaratnya aku ini selalu overprotective jika menyangkut dia. Mungkin karena itu dia pergi. Dia sudah bosan selalu ditekan oleh perasaan cintaku yang tak wajar.
“Ok, ok, jangan meminta maaf lagi. Aku sudah lelah mendengar kata kata itu dari mulutmu. Aku tadi kan sudah bilang jika aku memaafkanmu.” “Habisnya kamu membuatku khawatir!”
“Sepertinya sudah siang, aku pulang duluan ya.” “Kenapa buru buru kamu tidak ingin berbicara dengan mas Danang dulu?” “Tidak. Aku takut emosiku akan kembali memuncak jika aku bertatap muka langsung dengannya.” ucapku setengah gurau. “Hehe baiklah. Terima kasih atas kehadiranmu Fadil. Semoga dilain waktu kamu juga dapat mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.”
Begitulah akhir pertemuanku dengan Riani. Aku sudah merelakannya. Aku yakin dia akan bahagia bersama pria pilihannya. Dan sekarang adalah waktuku untuk mencari seseorang yang dapat mengobati luka di hatiku ini.
TAMAT
Cerpen Karangan: Cik Wa Blog / Facebook: risqiema Hanya remaja labil yang berusaha untuk konsisten.