Seiring musim berganti, angin berembus mengeringkan sumur-sumur tua di desa. Gersang. Bau debu menyapa indra penciuman. Tetumbuhan meranggas. Tanah tandus retak-retak saking garangnya surya memanggang dia.
Seorang musafir menghentikan laju kakinya. Menepi. Dia berlindung di bawah pohon ketapang. Kini keteduhan rerimbun daun menaunginya. Dielusnya kerongkongan yang kerontang. Meminta dialiri air segera. Dia tengok bambu yang tersampir di pinggangnya. Kosong. Setetes air pun tak bersisa.
Akhirnya, musafir itu terduduk pasrah. Pohon ketapang menjadi sandaran punggungnya. Melepas penat barang sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan nan panjang. Dalam hati dia berdoa, semoga Allah memberinya air demi bekal di perjalanan.
Manik cokelat teduh itu memejam. Kesiur angin lembut memainkan rambut hitamnya. Damai sangat wajahnya. Meski kehausan menderanya, agaknya dia masih bisa bertahan entah sampai kapan.
Dia berharap selepas tidurnya nanti. Kala mata membuka, maka tetes hujan berebut membasahi tubuhnya. Saat itu juga dia segera mengakhiri kemarau di kerongkongannya.
Baru lima menit dia terlelap, sentuhan di pundaknya menarik paksa kesadarannya. Dia terjaga. Meringis kemudian. Tatkala diserang pening tak megenakkan. Sesekali tangan kokoh itu meremas pelan kepalanya.
Sesudah reda, manik cokelat itu membuka. Menampilkan sorot teduh di baliknya. Sedetik kemudian membelalak. Kala didapati mata hitam sekelam malam milik seseorang memperhatikannya.
Gadis itu spontan berdiri lantaran terkejut juga. Kaki kecilnya melangkah mundur tanpa alas. Kaus hijau lusuh dengan rok hitam selutut membalut tubuhnya. Kalau dilihat, baju itu tak layak pakai, sebab warnanya memudar dan ada tambalan di beberapa bagian.
“Siapa kau, wahai gadis belia?” tanya musafir melangkah mendekatinya. Gadis itu menunduk. Wajahnya tersembunyi di balik caping. Tangan gadis itu terjulur ke depan. “A-aku hanya ingin memberi ini pada Tuan,” Dalam sekejap, bejana bambu itu berpindah tangan. Dingin terasa saat dipegang. Segera direguk air sampai tinggal separuh. Sisanya digunakan untuk membasuh muka. Segar. Serasa sejuk di badan.
“Terima kasih. Sesungguhnya Allah telah mengirimmu untuk menolongku.” kata musafir senang. Wajahnya cerah kembali. Gadis itu mengangguk. Walau tersembunyi caping, musafir dapat melihat senyum di baliknya.
“Wahai gadis desa, siapakah namamu?” Sosok mungil itu membalikan badan. Membelakangi musafir. Sesaat terdiam. Kemudian membuka mulutnya. “Rati, Ratimaya.” Suara khas seorang gadis lugu mengetarkan jiwa sang musafir. Bak senandung ibunya yang selalu dia dengar saat hendak tidur. Lembut. Syahdu.
Angin berembus kencang, menerbangkan topi caping milik gadis. Musafir mengejar, lalu menangkapnya. Belum sampai di dekat gadis, terdengar langkah kaki memburu.
“Rati, ini topimu ketinggalan!” Gadis itu acuh. Dia tak menghiraukan teriakan sang musafir. Terus berlari. Hingga di pohon jati dia menoleh.
Deg!
Wajah hitam manis khas penduduk desa. Rambut keriting yang tergerai sebahu. Serta senyum tipis mengembang meski samar. Tatapan tajam miliknya menembus hingga ke relung hati musafir.
Sedetik kemudian sosoknya hilang menyusuri jalan setapak di balik perbukitan. Meninggalkan jiwa yang bertanya-tanya.
Musafir tertegun. Dadanya kini bergemuruh. Dia terheran-heran dengan semarak rasa yang medera. Sepertinya dia telah jatuh pada pandangan pertama.
Perjalanannya kali ini mengantarkan dirinya pada cinta. Ya, gadis lugu nan pemalu yang tinggal di desa. Sosok sederhana dan halus bicaranya. Kini tanpa sadar telah menawan hati sang musafir. Dan gadis itu menjadi alasan bagi musafir untuk datang kembali ke desa ini. Menjemput cintanya. Di waktu yang tepat pula.
Seulas senyum mengembang sambil berkata. “Tunggulah aku, wahai tulang rusukku. Aku akan segera kembali tuk melamarmu.”
-Rampung-
Bekasi, 110917 # Haryati
Cerpen Karangan: Harni Haryati Blog / Facebook: Harni Haryati