Karya Darmaiyah
Gadis berkacamata minus itu kemaren kulihat dikantor ayah, sekarang berada di mobil ayah,
"siapa dia? Apakah benar kata ibu, kalau dia selingkuhan ayah?" Gumam Arta sambil berlalu.
Arta gadis kecil berseragam merah putih, sangat sedih dan marah karena ayah dan bundanya bertengkar lagi. Hari ini setelah pulang sekolah Arta tidak menuju ke rumahnya, malah ketempat lain.
TAK INGIN PULANG
Aku mendengar suara aneh seperti ada perang, bunyi gaduh sesuatu yang dilempar kelantai. Aku yang manis dibahu, berlari ke dapur, mencari sumber suara. kudapati ayah dan bunda sedang berdebat hebat.
"Aku mau cerai yah," teriak bunda, seraya melemparkan piring ke lantai, kata-kata itu bagaikan petir menggema memekakkan telingaku, bling-bling yang berserakan seakan menggores perih, terasa sangat sakit di palung hatiku, aku gadis kecil yang berkulit sedikit gelap, tak sanggup mendengar pertengkaran ayah bunda, aku berlari kepekarangan dan terus berlari, meninggalkan rumah sambil menutup telinga dengan kedua tanganku.
"Arta! Arta!"teriakan bunda tak kuhiraukan, kali ini aku betul-betul kecewa dan marah, rumah yang dulu damai sekarang seperti neraka. Sejak kehadiran sosok wanita berkaca mata minus, berlesung pipi, yang numpang duduk manis di mobil ayah kemaren, selalu menjadi pemicu pertengkaran ayah dan bunda, apakah wanita itu penyebabnya? siapa sebenarnya wanita itu? benarkah dia selingkuhan ayah? seperti yang dituduhkan bunda, pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benakku.
Aku berhenti sejenak, menarik napas dan menyeka keringat yang menghiasi wajahku, seragam merah putih yang ku pakai, sedikit basah karena kucuran keringat. Aku melanjutkan langkah kakiku perlahan, di sepanjang perjalanan menuju sekolah, bulir-bulir bening berdesakan merembes di netra indahku, ada rasa yang kurasakan tapi sulit untuk diungkapkan, hanya air mataku yang mampu menterjemahkan kepedihan yang sedang kualami.
"Arta ikut bunda ya, kalau ayah bunda pisah," kata-kata bunda terus mengiang menghantuiku.
"Ahh, kenapa ayah bunda mau pisah, aku tak mau ikut salah satu dari mereka," lamunanku dibuyarkan suara bel yang berteriak memerintah masuk, aku berlari ke toilet membasuh mukaku sebelum masuk kelas, aku tak mau teman-teman meledekku karena ketahuan habis menangis.
******
Tepat pukul 12.00, bel berbunyi memerintahkan penghuni sekolah untuk pulang, para murid pun berhamburan keluar kelas, bunyi bergemuruh bagai ombak menyapu pantai, ada sorakan, suara tawa kegirangan, dan ada yang berlarian, entah apa yang mereka kejar di rumah, sekali-kali ada tegur sapa.
Aku masih duduk manis tak bergeming dari kursi, tak dapat kupungkiri, ada binar gundah terpancar membias senyum kecut, yang terukir ketika membalas sapaan teman-temanku, aku hanya memandangi teman-teman yang berjejal saling mendahui bergegas ke luar kelas.
"Arta!, ayuk!" panggil Dewi dari balik jendela.
"Kamu duluan aja, aku sebentar lagi." Teriakku menyahut.
Dewi temanku yang bonsor, dengan rambut selalu dikepang dua, tempat tinggalnya tidak jauh dari rumahku, anaknya lucu dan sedikit pelit, kalau jajan tidak pernah mau bagi-bagi, tapi kalau jajan teman selalu pindah kemulut comelnya. ahh... Sesuai dengan tubuhnya, yang kelebihan BB karena bensinnya selalu diisi.
Sekolah sudah sepi, terdengar seretan langkah kaki penjaga sekolah yang membawa serenteng kunci kelas, sambil melemparkan senyuman ke arahku, dia melanjutkan tugasnya.
Aku berjalan pelan, sangat pelan, untuk mencapai pintu gerbang sekolah, aku membutuhkan waktu 5 menit, yang biasanya kulakukan hanya beberapa detik saja.
Sinar nabastala mencuat terasa menyengat kulitku, payoda berarak seakan mengiringi langkah kakiku, keringat menemani perjalananku, sekali-kali kuseka dengan ujung hijabku yang sedikit kumal.
"Aku tidak ingin pulang ke rumah, aku tidak mau bertemu ayah bunda," pandanganku lurus kedepan, aku terus melangkahkan kaki, dan menghentikan langkahku, tepat didepan pintu gerbang yang bertuliskan, "PEMAKAMAN UMUM."
Aku memasuki pemakaman, berdiri bulu romaku, terasa dingin sentuhan semilir angin yang berhembus dari celah-celah pepohonan kemboja, aku semakin jauh memasuki areal pemakaman, sekali-kali terdengar cicitan suasa burung pipit menyapaku, batu-batu nisan yang berbaris rapi seakan menyambut kedatanganku.
"Hay, teman-teman, mau apa gadis kecil ini singgah ke istana kita, apa ada teman kita yang mau dikunjunginya," ku dengar sibatu nisan berbisik-bisik sambil memasang senyum manis ke arah ku. "Ahh,..batu nisan yang ramah.
Aku berhenti tepat di pusara nenek, pusara nenek masih basah karena baru lima hari yang lalu nenek diantar kepengistrihatan terakhirnya.
Nek, Arta datang." Aku memeluk batu nisan nenek, "Arta mau ikut nenek, Arta tak mau pulang ke rumah." Akupun menangis di atas pusara nenek. aku merasakan sentuhan tangan nenek membelai kepalaku.
"Pulanglah sayang, ayah bunda pasti kebingunan mencarimu." Kata nenek sambil mendorong tubuh, "Pergi sana, di sini bukan tempatmu." Nenek mendorong hingga aku jatuh terjerembab.
Tiba-tiba mendung, hitam pekat seakan-akan langit mau runtuh, dan siap memuntahkan isi perutnya ke bumi, seketika pemakaman berguncang hebat, suasana semakin mencekam, batu nisan pemakaman bergoyang dan tercabut, dari pemakaman ke luar mahkluk-mahkluk aneh dengan cakar kuku-kuku tajam yang menakut, semuanya bergerak maju mendekatiku, spontan aku berdiri dan berlari tak tau arah, sehingga aku memasuki sebuah lorong kecil, pengap dan berbau, tidak ada pilihan lain, aku terus berjalan menyusuri lorong itu sampai diperbatasan, ternyata lorong itu buntu, belum sempatku berpikir bagaimana cara keluar dari lorong itu, tiba-tiba ada cakar yang mencengkam bahuku, aku menggigil ketakutan.
"Jangan! jangan ganggu aku, tolong...tolong," teriakku sambil meronta-ronta. Semakin aku merontah semakin kencang cakraman mahkluk itu.
"Bunda! bunda! Arta takut," aku menangis, seraya menutup wajahku dengan keduatangan.
"Arta, Arta." iya, itu suara bunda.
"Bunda, bunda di mana, Arta takut," lirihku nyaris tak bersuara.
Di dalam ketakutan yang sangat mencekam, aku tak mampu berdiri, kakiku tak bisa digerakkan, keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku, denyut nadiku berhenti seketika, seakan tak kuasa lagi untuk bernapas, mahkluk aneh itu berhasil mendekapku dan kedua cakarnya siap menancap keleherku.
"Arta! bangun sayang, sudah sore," suara bunda semakin dekat, hembusan napasnya terasa di telingaku, aku tersentak kaget, kulihat senyum bunda di depanku, aku bangun dan langsung memeluk bunda.
"Bunda, jangan tinggalkan Arta, Arta sayang bunda,l." Aku memeluk bunda semakin erat.
"Ayuk bangun, mandi, terus sholat asar," kata bunda seraya memegang pipiku.
Akupun turun meloncat dari tempat tidurku, langsung menyambar handuk pergi ke kamar mandi, sesak napasku mengenang kejadian seram yang baru kualami.
"Syukurlah ternyata hanya mimpi, andai kenyataan, ihhhh... seram bangat geas.
TAMAT
Maaf manteman kalau tidak menarik endingnya🙏🙏🙏
#SalamLiterasi👆