“Tania?!” ucapku kaget saat melihat Kak Algi memberi bunga pada Tania sambil tertawa riang. Aku yang sedang bad mood langsung berpikiran negatif. “Eh? Kayaknya ada barang yang ketinggalan deh, aku balik ke rumah ya” ucapku. ”Sini duduk Jah, jangan pergi-pergi Jah” ucap Kak Algi. “Aku pamit ya kak, ada janji lupa” ucapku sambil melambaikan tangan pada mereka. Jujur, ingin rasanya meluapkan emosi yang ada di lubuk hati, namun, sudahlah, biarkan mereka menikmatinya. Ingin juga ku menangis sekencang-kencangnya, tapi, aku tak ingin dilihat sebagai seorang wanita yang lemah. Tania itu sahabatku, yang dimana, kami sudah bersahabat sejak TK. Meski SD, SMP, dan SMA berbeda sekolah, tapi kami mempunyai hubungan yang erat. Walaupun kami berbeda sekolah, terkadang aku nebeng untuk pulang sekolah. Dia selalu ada saat ku butuh, dia menjadi satu-satunya sahabat yang mampu menerima gilanya aku.
Namun sekarang, takdir berkata lain kawan. Lihatlah alur cerita hidupku, asyik bukan?. Aku meneruskan Sekolahku ke Mesir. Papah pindah kerja kesana, maka dari itu, aku sekeluarga pindah juga. Tanggal 13 Februari, itu menjadi titik awal saat aku dilarutkan dalam kenyamanan oleh Kak Algi. Saat itu, dia kelas 11, dan aku kelas delapan. Kak Algi itu salah satu tim basket andalan sekolah, yang membuat dia, memiliki banyak penggemar. Sebelumnya, aku sama sekali tidak kenal dengannya. Tapi kakaknya Tania, itu temannya Kak Algi, suatu hari, saat aku nebeng Tania, ada Kak Algi yang duduk denganku di jok belakang. Entah bagaimana caranya, sesampainya aku di rumah, ada pesan masuk. ‘Simpan nomorku ya!’. Ya, itu dulu.
Banyak sekali memori-memori indah antara aku dan Kak Algi yang sudah terjalin selama dua tahun ini. Dia selalu menjadi satu-satunya pelukan yang ada disaat aku rapuh. Pernah suatu saat, aku terkena badainya masalah dalam hidupku. Tiba-tiba, dia mengetuk pintu rumahku, sambil membawa martabak manis. “Jangan nangis lagi ya! Nanti cantiknya ilang loh” ucapnya sambil mengusap kepalaku. Ya, itu Kak Algi. Lelaki tinggi yang sering meledekku pendek, lelaki yang selalu menenangkanku saat aku rapuh. Kau tau? Selama dua tahun ini, sudah menjadi kebiasaanku untuk mencintai dirinya dengan sepenuh hatiku. Juga, menerima amarahnya yang sering melukai hatiku.
Menerima kekurangannya, itu menjadi kelebihanku untuk melengkapinya. Kami sering bertengkar tentang sifatku. Kalau ditanya bosan? Tentu kawan. Tapi, entahlah, aku begitu nyaman ketika bersamanya. Pertemuan kami dibuat sederhana. Maksudnya, tidak seperti bucinners pada umumnya. Dia yang datang mengetuk pintu hati, sambil menuangkan rasa sayang seutuhnya. Saking sederhananya, kami sendiri pun bingung untuk menjelaskan pada orang-orang yang bertanya. Entah harus dimulai dari mana. Dan satu hal yang menyebalkan, mereka yang bertanya tak percaya bahwa kami belum pernah mengenal sebelumnya. Dia memiliki sifat sederhana. Mungkin, itu juga bisa menjadi alasan mengapa aku begitu sayang dengan laki-laki yang satu ini. Menerima aku dengan penuh rasa sayang, dan meluruskan aku ketika aku salah. Dia sangat mengerti aku sepenuhnya.
Januari lalu, saat Tania duduk dengan Kak Algi, itu sebenarnya aku ingin memberikan beberapa puisi yang selama ini tak pernah bisa aku sampaikan pada Kak Algi. Duduklah, izinkan aku menunjukannya, karena percuma, jika aku memberi ini pada dia, tak akan merubah situasi.
Untukmu yang selalu membuatku nyaman “Sekarang lagi deket sama siapa?”. Pertanyaan sederhana itu, dulu, bisa kujawab dengan mudah. “Lagi nggak sama siapa-siapa” Sekarang, jawaban cuek itu tak bisa kujawab dengan kemudahan yang sama. Kalau harus jujur tentang apa yang ada, kini, aku menjadi seorang gadis kecil yang memiliki rasa gelisah tingkat dewa. Si gelisah yang selalu melirik ponsel sendiri beberapa menit sekali, berharap ada pesan masuk dari orang yang dinanti-nanti. Aku tak pernah mengira kedekatan dua manusia bisa terjalin sesederhana ini. Namun denganmu, segalanya terasa wajar. Ada sesuatu yang membuat dirimu istimewa di mataku, hingga akhirnya aku terlarut dalam kenyamananmu.
“Ah, jadi sedih” ucapku dalam hati. Beberapa menit kemudian, air mataku menetes. Karena, tujuan pertamaku untuk pulang ke Indonesia ini, menemui dirinya. Membakar semua rasa rinduku. Tapi kenyatannya, aku terkena azab. Untungnya, aku sudah sampai rumah nenek, semasuk kamar, aku langsung menangis sekencangnya. Melihat foto aku dan dia, sambil mengingat suatu kejadian.
Dulu, tanggal 30 September saat tahun pertama kami menjalin hubungan, Kak Algi bilang, “Maaf banget Jah, aku harus ngomong ini sama kamu” setelah aku membaca itu di beranda notifikasi, pikiran yang melintas di otakku itu dia akan mengakhiri semuanya. Tapi nyatanya, lebih dari itu. “Sebenarnya, aku ngerasa kalau selama aku sama kamu lebih banyak sakit hatinya”. Pecah. Ambyar. “Tapi aku masih mau mertahanin hubungan ini sama kamu Jah”. Setelah tiga pesan itu masuk beranda notifikasi ponselku, aku membiarkannya begitu saja, tidak membalas apa-apa. Setelah 25 menit aku makan, aku membalas. Katanya, sifat gengsiku sudah tidak bisa ditahan olehnya. Aku sedikit bingung dengannya, dia sudah lelah denganku, tapi masih sayang. Situasi ini, menjadikan otakku mati tak berdaya. Aku tak berani mengucap janji, karena aku takut, aku tak bisa berubah. Aku takut, malah memberi kekecewaan yang lebih parah dari ini. Nyatanya, dia yang mengingkari janjinya bahwa tak akan menggenggam tangan cewek lain.
Karena itu, selama dua tahun ini, hanya satu janji yang pernah kukatakan. “Ijah janji, bakal berubah, tapi, kalau Ijah gak bisa berubah kakak kemana?” tanyaku saat kami di bus kota menuju Alun-Alun Bandung. ”Aku bakal pergi Jah, makanya, jangan sia-sia-in kesempatan yang udah kamu dapet. Karena belum tentu, orang-orang yang kamu sayang itu bakal ngasih banyak kesempatan” jawabnya begitu. Kak Algi itu orangnya ingin dimanja terus. Tapi sekalinya marah, aku tunduk. Setiap aku dan Kak Algi sedang berjalan bersama, pasti dia selalu cek catatan-catatanku. Karena dia tahu, aku bukan cewek yang selalu memberi tahu keluh kesah hidupku.
“Azizah, itu ada teman kamu di luar” ucap nenek sambil membuka pintu kamarku. Untungnya, mataku sudah baik-baik saja. Tak ada bekas menangis. “Teman siapa nek?” tanyaku sambil turun dari ranjang. “Nenek gak tahu, lihat saja kedepan” jawabnya.
“Tania?” ucapku sambil membuka pintu ruang tamu. “Ijah!” peluknya sambil meneteskan air mata. “Aku kangen banget Jah!”. “Kamu ngapain kesini? Sini masuk dulu” ucapku sambil membawanya masuk. Sebenarnya, aku ingin menanyakan keberadaan Kak Algi. Bukan hanya keberadaan, tapi juga kabarnya. Setelah kejadian Februari itu, kami tak pernah berkomunikasi lagi.
“Azizah, bawakan cemilan dong untuk Nia” ucap nenek yang tiba-tiba muncul di depan kami. “Eh iya nek, Ijah lupa hehehe” jawabku malu. “Kamu gak main keluar gitu Jah?” tanya Tania. “Ah enggak, aku malas untuk pergi keluar sana”. Kau tahu? Tania yang dulu kukenal tidak memiliki wajah tanpa dosa seperti ini. Coba pikirkan, untuk apa dia datang kemari?. Untuk memberi surat undangan kah?. Atau undangan ulang tahun anak?. Aku masih emosi kawan. Tapi aku tak bisa memberitahunya dengan kata-kata.
“Aku kesini mau ngejelasin itu Jah”, “Dengerin dulu ya Jah”. Aku tak berkata apa-apa. Kali ini, aku mengizinkannya untuk menjelaskan kejadian itu. “Jadi sebenarnya, aku sama Algi tuh mau kasih kejutan sama kamu. Aku gak ada hubungan apa-apa sama Algi Jah. Kita ketawa bareng tuh soalnya lagi nonton video yang lucu-lucu sambil nunggu kamu datang. Kamu waktu itu kok bisa langsung pergi gitu sih? Itu bukan Azizah yang aku kenal” jelasnya begitu. “Jadi hari itu, aku lagi bad mood parah. Karena, pesawat aku tuh telat dua jam gitu. Sedangkan janji aku sama kalian tuh udah dekat banget sama waktunya. Eh, pas dateng, malah dikasih yang enggak-enggak. Otomatis pikiran negatif aku langsung muncul. Lalu, kebetulan macet juga kan. Ditambah hari itu hari pertama aku datang bulan.” ucapku.
“Eh maaf aku telat” terdengar suara cowok yang datang sambil mengetuk pintu. Saat aku menengok, itu Kak Algi. Dia datang dengan memakai kaos hitam, celana hitam, dengan jam tangan putihnya. “Lah? Kakak ngapain kesini?” tanyaku heran. “Sengaja Jah, dia kangen sama kamu” ucap Tania sambil tersenyum. “Halo mba! Perkenalkan nama saya Algi dari Bandung yang bertujuan datang untuk bawain martabak manis” sapa Kak Algi sambil menatapku. “Eh? Gak usah repot-repot mas, ngapain bawa martabak manis? Kan aku udah manis” candaku sambil tertawa. “Maaf ya kalian, aku udah mikir yang enggak-enggak” ucapku. “Nanti lagi, jangan suuzan dulu yaa cantik, gak baik” ucap Kak Algi. “Dengerin calon imam-mu tuh Jah” canda Tania.
“Azizah, kok ada suara cowok?” teriak nenek yang sedang bersantai di depan televisi. “Oh ini ada Kak Algi nek” jawabku. “Awas jangan ngapa-ngapain ya!” perintah nenek yang membuat Tania tertawa. “Nangis berapa malam mba?” tanya Kak Algi. “Hmm, berapa yaa?” jawabku sambil memakan martabak manis. “Aku kan senjanya kamu Jah, yang bakal tetap kembali, walau sudah pergi” ucapnya. “Tapi, jangan pergi ya, karena aku, bakal jadi satu-satunya orang, yang akan memeluk senja yang datang dengan sekuat tenaga” jawabku. “Aduh, jadi nyamuk nih gue” ucap Tania dengan batuk buatan. “Apa sih Yaa, gak kok!” ucapku sambil memeluk Tania yang sedang mengelus-ngelus bantal sofa.
Cerpen Karangan: Amirah Alfi