Suara angin dan petir bergemuruh mengiringi hujan deras malam itu di tengah Kota Jakarta. Di sebuah appartemen, Surya dan Indira duduk berhadapan, saling diam. Lampu appartemen yang temaram dan iringan suara saxophone milik Kenny G, menambah keromantisan suasana di appartemen tersebut. Keduanya begitu menyukai hujan, tapi tidak saat ini. “Aku sayang banget sama kamu” kata Indira menatap laki-laki di hadapannya, sambil menangis. Surya hanya menunduk, air mata pun keluar dari matanya juga.
—
Sebuah kereta api terlihat berjalan pelan memasuki sebuah stasiun di Kota Solo. Di dalam sebuah gerbong kereta itu, Indira terlihat berdiri di pintu gerbong, tidak sabar menunggu kereta berhenti. Kereta jurusan Malang-Jakarta itu hanya berhenti 5 menit di stasiun tersebut.
Ketika kereta berhenti, Indira segera keluar dari kereta dan dengan terburu-buru menuju toko kecil yang berada di dekat pintu keluar stasiun. “Ada pembalut Bu? Tanya Indira kepada penjaga toko kecil itu terburu-buru. “Ada mbak, mau yang mana” kata ibu penjaga, sambil menunjuk beberapa brand pembalut wanita. “Ini 25 ribu” kata si ibu. Indira pun menyodorkan sebuah kartu kredit. “Cash aja mbak, gak bisa pakai kartu di sini” kata si ibu singkat.
Dengan panik, Indira merogoh-rogoh tas miliknya, ia lupa sama sekali tidak memegang cash. “Di deket loket ada ATM mbak” kata si ibu. Tetapi tidak lama setelah itu, terdengar pengumuman bahwa kereta akan kembali melanjutkan perjalanan. Tidak mungkin keburu, pikir Indira panik. “Sama saya aja ini, sekalian Aqua besarnya satu bu” kata Surya sudah sejak tadi melihat Indira panik. Indira menoleh ke arah pria yang tidak ia kenalnya tersebut. “Gak papa, santai aja” kata Surya singkat sambil memberikan pembalut milik Indira yang sudah ia bayar.
Pengumuman berangkatnya kereta kembali terdengar, “Kereta saya sudah mau berangkat, saya duluan ya” Kata Indira sambil mengundurkan diri dan setengah berlari menuju gerbongnya yang agak jauh dari toko tersebut karena dekat dengan lokomotif.
Sambil berlari, Indira ingat kalau dia belum berterima kasih kepada pria itu. Sebelum masuk gerbongnya, Indira melihat ke belakang, terlihat pria tadi berjalan menuju gerbong belakang kereta itu. “Kenapa aku lari-lari ke gerbong depan ya, gak masuk dari pintu terdekat aja” pikir Indira menyadari kebodohannya.
Setelah keluar dari kamar mandi di kereta, Indira kembali ke tempat duduknya. Ia menghela nafas, menyesal lupa untuk menanyakan nama atau bahkan berterima kasih kepada pria tadi. Tiba-tiba ia teringat kalau, setelah dari toko tadi, ia melihat pria tersebut juga berjalan menuju kereta yang ia tumpangi. Mungkin kalau ia menyusuri gerbong kereta sampai belakang, ia bisa bertemu pria tadi paling tidak untuk mengucapkan terima kasih, pikir Indira.
Indira pun menyusuri kereta dari gerbong satu ke gerbong selanjutnya. Ketika memasuki gerbong ke tujuh, ia melihat pria tersebut. “Mas makasih ya tadi, saya minta maaf, lupa tadi bilang makasih karena cepet-cepet” kata Indira. “Iya, santai aja” kata Surya. “Hmm.. tadi saya lewat kereta makan, boleh saya traktir kopi atau apapun, sebagai ucapan terima kasih” lanjut Indira. Surya tidak menolak ajakan Indira, keduanya pun menuju kereta makan.
Di kereta makan, mereka berdua memesan beberapa cemilan dan minuman dingin. Ketika Indira menyodorkan kartu kreditnya untuk membayar, pramugara kereta mengatakan bahwa mereka hanya menerima transaksi dengan uang cash. Muka Indira memerah mendengar kalimat itu, malu. Sambil tertawa, Surya membayar pesanan mereka berdua. Kemudian, keduanya duduk bersampingan menghadap jendela kereta.
“Aku minta maaf banget” kata Indira yang mukanya masih terlihat merah. “Hahaha, santai aja” jawab Surya ringan. “Aku bener-bener lupa bawa cash tadi” kata Indira. “Mbak naik dari mana tadi” tanya Surya. “Dari Malang” Jawab Indira singkat. “Oya, aku Indira” kata Indira, yang hampir lupa memperkenalkan diri. “Saya Surya, perkenalkan” kata Surya sambil menjabat tangan Indira.
—
Malam itu, hujan masih belum juga reda. Indira dan Surya pun masih duduk berhadapan di kursi mereka masing-masing. Tidak lebih dari setengah meter, jarak diantara keduanya, tetapi terasa begitu jauh. Keduanya terdiam setelah tadi sempat menangis. “Kamu cantik banget hari itu” kata Surya lirih. Indira yang semula menunduk, kini memandang kekasihnya. “Ketika kamu berlari ke gerbong kamu, ketika kita di kereta makan, ketika kita ngobrol di kereta makan berjam-jam sampai kereta sampai Jakarta”. Lanjut Surya mengenang pertama kali mereka berdua bertemu. “Kamu selalu ada di sampingku” kata Surya, sangat lirih. Mata Surya kembali basah, Indira bangkit dari duduknya, memeluk Surya yang masih duduk di kursi, sambil mengusap rambut Surya.
—
“Aku benci banget kota ini” kata Surya singkat, mengomentari kemacetan yang mereka alami siang itu di tol dari bandara Soekarno-Hatta menuju kota Jakarta. “Sabar sayang” Kata Indira sambil tangan kirinya mengusap lembut rambut kekasihnya itu, sedangkan tangan kanannya masih memegang kemudi. “Aku pengen banget suatu saat hidup di desa, hidup sederhana dari hasil sawah dan ternak. Gak ribet tinggal di Jakarta” kata Surya bersungut-sungut.
Kehidupan yang tidak bisa dibayangkan oleh Indira, sebenarnya. Tapi Indira diam saja, ia hanya kembali mengusap rambut kekasihnya itu. Indira baru saja menjemput Surya di bandara setelah Surya kembali dari Banda Aceh untuk pemakaman Hasyim, teman dekat Surya. Indira ingin sekali mendampingi Surya ke pemakaman teman baik kekasihnya itu, tapi ada presentasi yang tidak bisa Indira lewatkan, karena sangat penting bagi karir Indira.
“Sayang, aku minta maaf ya gak bisa dampingin kamu ke Aceh” kata Indira, masih sambil mengusap kepala kekasihnya itu. “Gak usah minta maaf, aku tahu persentasi kemaren penting banget buat kamu, santai aja, aku gak papa” jawab Surya tersenyum sambil meraih tangan Indira yang sejak tadi mengusap kepalanya. “Aku sayang kamu” Kata Surya sambil mencium tangan Indira. “Aku juga” Kata Indira sambil memandang Surya.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di appartemen milik Surya. Setelah memakirkan mobilnya, Indira bertanya kepada Surya “Apa rencana kamu malam ini?”. “Istirahat, terus nanti tengah malam nonton Liverpool” jawab Surya. “Kamu gak papa kan?” tanya Indira, mengetahui bahwa biasanya Surya menonton klub kesayangannya itu bersama Hasyim, almarhum sahabat terdekat Surya. “Aku gak papa, udah kamu masih harus ngantor kan habis ini, santai aja, aku beneran gak papa” kata Surya sambil keluar dari mobil.
Tengah malam itu, Surya sudah duduk di sofa depan tv di appartemennya, bersiap menonton pertandingan Liverpool vs Barcelona. Menonton pertandingan Liverpool, biasanya membuat Surya bersemangat, tapi tidak kali ini. Ia seakan-akan baru tersadar bahwa sahabat baiknya sudah tiada.
“Tok tok tok” tiba-tiba suara ketukan pintu appartemen Surya berbunyi. Siapa yang bertamu tengah malam gini? Pikir Surya sambil berjalan menuju pintu. Surya terkejut ketika ia membuka pintu. Terlihat Indira, dengan mengenakan berbagai atribut Liverpool mulai kaos, syal dan topi, berdiri sambil membawa bungkusan martabak di tangannya. “Tadaaa…” Kata Indira setengah berteriak, semangat. Tanpa berkata-kata, Surya memeluk Indira. “Udah… udah… waktunya kita liat kehancuran Barcelona” Kata Indira mengusap punggung Surya, menyemangati kekasihnya itu. Malam itu, malam yang spesial buat Surya. Bukan hanya karena kemenangan Liverpool yang membalikan keadaan, tetapi keberadaan Indira di samping Surya.
—
Indira sudah kembali duduk di kursinya setelah beberapa saat lalu memeluk Surya. Keduanya kembali diselimuti oleh diam, mereka seakan bersembunyi dibalik selimut itu. Mencoba memberanikan diri, Indira berkata “Aku gak bisa terima cincin itu, Va” katanya singkat, menunjuk sebuah kotak kecil yang terbungkus kain beludru berwarna hitam yang berada di samping vas yang dipenuhi dengan bunga mawar. “Kamu tahu apa yang aku inginkan, cita-cita aku, aku tahu apa yang kamu inginkan, cita-cita kamu, beda banget” Kata Indira lirih. “Bersama-sama, kita gak akan mencapai cita-cita kita masing-masing” lanjut Indira, masih lirih. “Tapi aku sayang kamu” kata Surya, “Aku juga, aku sayang banget sama kamu” jawab Indira. “Tapi saat ini, cinta dan sayang tidak cukup”. Kata Indira
—
Sebuah mobil melaju kencang di tol Jagorawi, Surya mengemudikan mobil tersebut. Indira, disampingnya, masih sesenggukan. “Emang sampai sebegitunya ya, kamu sampai nangis kayak gitu?” tanya Surya, agak ketus. Indira diam saja. “Apa salahnya emang beli tanah di Sukabumi? Paling gak buat investasi” lanjut Surya, masih ketus. Indira tetap diam. “Apa salahku coba?” kata Surya tidak berhenti mencocor Indira dengan pertanyaan. “Karena aku sayang kamu” teriak Indira. “Kamu tahu aku. Aku bekerja mati-matian di tempat aku kerja hampir 10 tahun. Aku kerja dari bawah, sampai sekarang aku punya ruangan sendiri, punya assisten sendiri. Aku bangga dengan apa yang aku raih. Aku bangga dengan karirku, Kamu tahu itu, Kamu mestinya tahu itu” kata Indira masih setengah berteriak. Surya hanya terdiam, memandang jalan. “Terus kamu, laki-laki yang aku sayang, tiba-tiba membeli tanah di Negara antah berantah” lanjut Indira. “Aku tahu kamu beli tanah itu dengan uang kamu sendiri, dan aku gak berhak marah. Tapi kamu tahu gak apa yang aku artikan? Kamu tahu gak implikasinya apa?” kata Indira. “Tadaaaa… Aku beli tanah buat kita. Karena kita saling mencintai, kita akan tinggal bersama di sini. Masa bodoh dengan karir kamu. Itu yang aku artikan” kata Indira. Surya terdiam, terkejut mendengar jawaban Indira. “Ini bukan soal aku gak mau jadi petani atau hidup sederhana. Ini tentang kamu, laki-laki yang aku sayang, menentukan masa depanku dengan seenaknya. Kamu tahu kenapa aku nangis? Karena aku bingung. Aku sayang kamu, aku ingin hidup dengan kamu. Tapi dengan hidup dengan kamu, apa aku harus meninggalkan apa yang aku banggakan? Apa yang aku cita-citakan?” kata Indira lirih.
Mobil itu memasuki appartemen tempat Indira tinggal. Setelah memakirkan mobil, sambil menatap Indira, Surya berkata “Santai saja, kamu gak usah mikir yang jauh-jauh. Yang terpenting adalah, kita saling mencintai. Masalah tanah yang aku beli, kamu gak usah pikirin, santai saja” kata Surya mencoba menenangkan kekasihnya itu. Indira hanya mengangguk, kemudian meninggalkan mobil menuju appartemennya. Indira tahu bahwa Surya sangat mencintainya, begitu pula sebaliknya. Tetapi ia sadar perbedaan cita-cita dan tujuan akan menjadi masalah laten mereka yang bisa kapan saja muncul kembali. Paling tidak itu masalah nanti, pikir Indira.
—
Malam itu, hujan sudah mulai reda. Lampu appartemen masih temaram, suara lagu romantis masih terdengar dan vas yang penuh dengan bunga mawar masih ada di tengah meja diantara keduanya. Akan tetapi, suasana tidak lagi terasa romantis, tapi terasa begitu sendu.
“Aku gak akan paksa kamu tinggal di Sukabumi. Aku akan berkompromi, yang penting kita sama-sama” kata Surya membuka mulut, terdengar begitu ragu. Indira tersenyum, “Aku tahu kamu benci Jakarta, aku tahu kamu benci pekerjaan kamu, aku tahu kamu ingin sekali hidup dengan berternak dan berkebun. Aku tahu banget” Kata Indira sambil menahan air mata. “Aku gak akan tega melihat laki-laki yang aku sayang menderita” kata Indira terbata-bata, air matanya kembali mengalir deras dari matanya, tak tertahankan. Kali ini Surya bangkit dari kursinya, memeluk wanita yang ia sayangi. “Aku juga gak ingin buat kamu menderita” kata Surya sambil mengecup kening Indira.
Matahari belum muncul pagi itu, tetapi ayam mulai terdengar berkokok dari segala penjuru. Surya baru saja meninggalkan appartemen milik Indira menuju tempat parkir mobilnya. Malam itu, mereka habiskan untuk menangis kemudian berusaha saling menguatkan satu sama lain.
Memasuki mobilnya, ketika duduk di balik kemudi, Surya merasakan ada yang mengganjal, ia merogoh kantong celananya. Kotak kecil berbungkus kain beludru hitam yang berisi cincin. Ia keluarkan kotak itu, dan menaruhnya di dalam penyimpanan dashbor mobilnya.
Epilog “Aku suka banget sama hujan” kata Indira sambil memandang hujan dari halte bus tempat ia dan Surya berteduh. “Kenapa?” tanya Surya. “Karena Indira itu artinya pemilik hujan” jawab Indira sambil memandang Surya tersenyum. “Aku juga suka banget sama hujan” kata Surya. “Kenapa” Indira bertanya balik. “Karena wanita yang aku suka, menyukai hujan” jawab Surya sambil menggenggam tangan Indira, erat. Indira pun tersenyum sambil menyandarkan kepalanya di pundak Surya, sebagai jawaban.
Itu adalah pertama kalinya Surya dan Indira menyatakan perasaan mereka. Atas nama cinta mereka bersama, 18 bulan kemudian, atas nama cinta juga mereka berpisah.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono