Jam di handphone Aldi sudah menunjukkan pukul 3 pagi, tetapi dia masih tidak bisa terpejam. Masih tersisa 2 hari lagi hingga dia menyelesaikan segala urusan proyek bendungan. Dan, menemukan Nana, juga anak yang selama ini dia kira sudah tiada. Ah, tiba-tiba saja Aldi merasa bahagia sudah memiliki keluarga kecilnya yang lengkap.
Ketukan di pintu kamar hotel membuat Aldi terjaga, ternyata staf pemerintah kabupaten yang memberitahu bahwa rapat akan dimulai pada pukul 10 pagi di hall hotel. Dan, setelah meeting selesai, Aldi mendekati staf yang tadi pagi datang ke kamarnya.
“Pak Doni, saya boleh minta bantuan Anda?” “Oh ya, bagian proyek mana lagi yang harus kami perbaiki?” “Ini bukan masalah proyek, tetapi keperluan pribadi. Saya ingin Bapak menemukan alamat seseorang untuk saya. Saya tahu Pak Doni mempunyai wawasan yang luas dan akses yang sangat memadai ke seluruh dinas pemerintahan.” “Pak Aldi terlalu memuji saya. Paling lambat nanti sore saya hubungi Anda.” Pak Doni sedikit antusias. Tidak mengira bahwa Pak Aldi memiliki kenalan di kabupaten sekecil ini, sementara dia tahu Pak Aldi baru beberapa kali datang ke kabupaten ini, dan itu pun semuanya hanya berhubungan dengan proyek. “Terima kasih banyak, Pak Doni,” jawab Aldi tersenyum. Dan, lagi-lagi Pak Doni terpukau. Selama beberapa kali bekerjasama, dia mengenal Pak Aldi sebagai sosok yang serius, tegas, bertanggungjawab, dan cenderung dingin. Tidak pernah tersenyum, dan selalu fokus dengan target pekerjaan yang sedang dikerjakannya. Oh, Pak Doni memandang kertas yang bertuliskan nama seorang wanita.
Di kamar hotelnya, Aldi menunggu dengan harapan, juga dengan perasaan yang tidak karuan, jungkir balik, deg-degan, dan mondar-mandir tanpa henti dari ujung kamar ke ujung kamar lainnya, seperti anak kecil yang tidak sabar menunggu untuk diajak ke wahana bermain. “Tenang, Aldi. Tenang,” dia berkata seperti itu untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang. Dan, begitu handphone-nya berbunyi, dia segera menyambarnya dengan tidak sabar. “Pak Aldi, saya sudah menemukan alamatnya.” Aldi ber-yes dalam hati, tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang membuncah sampai ke ubun-ubun, segera mencatatnya di notes. “Terima kasih banyak, Pak. Besok-besok saya traktir makan.”
Tidak menunggu lama, Aldi sudah memarkir mobilnya di depan sebuah rumah. Rumah itu kecil, tetapi halamannya tertata dengan rapi. Setelah 3 jam menunggu, akhirnya dia melihat Nana berjalan masuk ke dalam rumah. Dengan bergegas, Aldi mengejar Nana dan memegang tangannya dengan kasar. Sedangkan, Nana memandang Aldi seolah Aldi sudah berubah menjadi hantu.
“Lepaskan! Aku mau masuk rumah!” ‘Tidak!” “Kalau begini, nanti tetangga bakal menyebar gosip macam-macam.” “Biar, aku tidak peduli.” “Tapi, aku peduli, Al. Lepaskan!” Aldi melepaskan genggamannya, dan Nana segera berlari masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Nana benar-benar tidak siap dengan kejutan yang terjadi hari ini. Kejutan di hari ini maupun kejutan di rumah sakit, dia sama-sama tidak siap. Jantungnya masih berdetak dengan kencang, padahal dia sudah tidak muda lagi. “Apakah, sebenarnya … aku masih berharap?”
“Na, buka pintunya. Aku hanya ingin berbicara.” Satu jam kemudian, ketukan pintu belum juga berhenti. “Na, aku tidak mau pergi sebelum bertemu denganmu. Biar tetangga bergosip apa, aku juga tidak peduli. Biar saja aku tidur di teras rumahmu.” Walaupun sudah mendapatkan penolakan seperti itu, bagi Aldi, semua itu masih ringan dibandingkan dengan memikirkan penderitaan yang selama ini dialami oleh Nana.
Tidak diduga, setelah penantian beberapa jam, Nana bersedia membuka pintu. “Masuklah,” kata Nana. Aldi segera menerobos masuk rumah. Dia tidak ingin Nana berubah pikiran dan justru mengusirnya lagi.
“Diminum dulu kopinya,” kata Nana. Aldi tidak mengira jika Nana sampai menyiapkan minuman untuknya. Aldi merasakan aliran hangat masuk ke tubuhnya.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Al?” “Aku ingin meminta maaf atas apa yang terjadi padamu.” “ … setelah bertahun-tahun berlalu? Dan, aku sudah melupakanmu.” “Maafkan aku, Na.” “Kenapa baru sekarang mencariku?” “Aku …” “Aldi, sudahlah. Semua yang tersisa di belakang hanya masa lalu. Aku sudah tidak peduli lagi! Dan, aku tidak ingin kamu menghancurkan hidupku untuk kedua kalinya. Aku sudah baik-baik saja bersama anakku. Bukankah dulu kamu pernah mengatakan bahwa kamu tidak bisa menjadi seorang Ayah, dan aku disuruh menggugurkan kandunganku? Lalu, untuk apa baru datang sekarang? Aku dan anakku hanya akan menjadi beban untukmu.” Aldi menyadari suara Nana semakin lama semakin bergetar. Ya, dia sedang menahan tangisnya, dan Nana tidak ingin Aldi mendengarnya.
Lama keduanya terdiam, hingga suara detik jarum jam terdengar jelas. “Sudahlah, Al. Sudah malam, pulang saja. Aku tidak membutuhkanmu di sini!” “Kompensasi apa yang kamu butuhkan, Na? Aku punya banyak uang untuk mengganti hari-harimu yang hilang.” “Al, apa kamu tahu? Hari dimana kamu meninggalkanku, itulah akhir dari duniaku. Aku hancur, Al, hatiku, tubuhku, jiwaku hancur hingga tak terbentuk. Apakah uangmu yang segunung itu bisa memperbaikinya? Aku tidak butuh! Sekarang cepat pulang! Jangan pernah kembali menemuiku lagi!” Aldi hanya terdiam, dan pergi dengan langkah gontai. “Tunggu aku, Na. Lebih baik aku mati daripada kehilanganmu lagi.” Aldi memutuskan untuk memperpanjang waktunya tinggal di kabupaten kecil ini. Ya, dia tidak ingin menyerah.
Dan, betapa terkejutnya Nana, ketika keesokan harinya membuka pintu, menemukan Aldi sudah duduk di teras rumahnya. “Kamu tidak sedang bermimpi, Na. Aku sudah menunggumu. Kamu kerja dimana? Mau kuantar?” Sejak Nana membuka pintu tadi, Aldi sudah melihat mata Nana bengkak. Dia pasti tidak bisa tidur, atau bahkan justru menangis sepanjang malam? “Tidak perlu. Kumohon menjauhlah dariku.” Namun, Aldi tidak peduli. “Oh ya, Aldi mana? Kok aku nggak melihatnya.” “Bukan urusanmu!” jawab Nana ketus. “Aku juga berhak tahu, aku kan ayahnya.” “Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan kamu menjadi Ayahnya?” Oh, apa karena kemarin, kamu sudah mendonorkan darahmu, kemudian kamu berhak mengaku-ngaku menjadi Ayahnya?” “Aku kan benar-benar Ayahnya?” “Lalu, kamu dimana saat dia merengek-rengek minta dijemput saat teman-temannya diantar oleh kedua orangtua mereka? Dimana kamu saat dia sakit? Dimana kamu? Sejak awal, aku tidak pernah menganggapmu ada, Al. “ “Na, berikan aku kesempatan untuk menebusnya.” “Tidak perlu. Uang tidak bisa menyelesaikan segalanya.” “Aku akan berada di rumahmu hingga kamu benar-benar bisa mulai memaafkanku.” “Terserah!” Aldi tahu bahwa Nana pergi dengan berjuta luka di hatinya. Dia membangkitkan semua kenangan buruk yang seharusnya dilupakan Nana.
Akan tetapi, tekad Aldi sudah bulat. Ketika Nana pulang kerja, Aldi sudah ada di depan rumahnya. Dan, hal ini … terjadi setiap hari. Namun, setiap hari pula, Nana menanggap Aldi hanya angin lalu. Nana akan memandangnya sekilas, dan kemudian masuk rumah. Aldi kecil entah dimana, mungkin Nana takut jika dia merebutnya. Hingga … suatu hari, Aldi pingsan. Entahlah, dia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali makan atau kembali ke hotel. Dan, saat Aldi membuka mata, dia berada di kamar yang asing. Kamar bercat warna putih, hanya ada tempat tidur, almari, dan meja. Dan, ada foto dirinya di kamar itu. Aldi tidak bisa menahan senyum bahagianya.
Aldi sedang berpura-pura tidur ketika Nana masuk membawa makanan dan kompres. Nana memegang kepalanya, memastikan demamnya sudah turun. Padahal, jantung Aldi berbunyi dug dug dug kencang. Aduuuh, karena seumur hidup memikirkan Nana, dia sudah lupa caranya menjadi playboy. Padahal, dulu kan dia paling pandai menaklukkan hati wanita.
“Sudah, tidak perlu berpura-pura tidur.” Tambah jantungan Aldi mendengar kata-kata Nana. “Terima kasih sudah menolongku.” “Aku tidak punya pilihan lain. Daripada tetangga tahu kalau ada pria pingsan di rumahku.” “Na, kamu kok selalu mendengarkan kata-kata tetangga?” “Biarin!” “Na, kamu tidak kangen denganku?” “Tidak!” “Serius?” “Serius!” “Tapi, kenapa fotoku masih terpajang di kamarmu?” “Oh, aku hanya tidak ingin melupakan dendam seumur hidupku. Dulu, pada saat awal aku pergi dari kos dan mengandung Aldi, setiap hari aku bermimpi membunuhmu, Al. Kamu menghancurkanku, hidupku, kuliahku, masa depanku, semuanya. Namun, untunglah aku masih punya Aldi. Walaupun sangat sangat berat, aku masih memiliki alasan untuk melanjutkan hidupku. Dan, tiba-tiba saja kamu datang kembali. Bagaimana bisa aku memaafkanmu dengan mudah?” “Kamu boleh membunuhku kalau mau,” jawab Aldi dengan serius.
Hening sesaat. “Tidak, Al. Sekarang aku sudah berdamai dengan diriku sendiri. Aku sudah berusaha merelakan dan tidak terjebak dengan masa lalu. Aku bukanlah Nana yang dulu.” “Jadi, apakah aku masih punya kesempatan untuk menerima maafmu? Dan, bertanggungjawab atas hidupmu dan Aldi?” Hening lagi. “Na, aku menyayangimu. Aku sudah mencarimu kemana-mana, ke tempat-tempat yang mungkin kamu datangi, tetapi nihil. Aku tidak pernah mencintai wanita lain selain dirimu.” “Aldi, mungkin saja itu bukan cinta, tetapi hanya perasaan bersalahmu kepadaku.” “Bukan! Aku bisa membedakan mana cinta dan mana rasa bersalah.” “Sudahlah, aku tidak ingin berdebat.”
Aldi memegang tangan Nana. “Apakah kamu masih mencintaiku seperti dulu?” Nana menghela napas. “Sekarang, sudah bukan saatnya bagi kita untuk membahas soal cinta.” “Kenapa kamu tidak mau menjawab? Bukankah sudah jelas, jika nama anak kita diambil dari namaku, dan juga ada fotoku di kamarmu. Kenapa kamu masih mengelak?” Nana berdiri hendak pergi, tetapi Aldi menggenggam tangannya. “Jika dua orang saling mencintai, apakah tidak ada kemungkinan untuk bersama?” “Sepertinya demammu sudah turun, sebaiknya kamu segera pulang, Al, dan berhenti menggangguku.” “Sejak dulu, aku sudah ribuan kali membayangkan bisa menikah denganmu begitu menemukanmu. Entah kamu jadi gemuk, jadi jelek, mau jadi apapun juga, aku tidak peduli,” kata Aldi sambil menghela napas berat,” Na, besok aku akan pulang. Semoga kamu selalu bahagia ya. Aku pamit.”
Kini, Aldi pergi, benar-benar pergi, melangkah keluar dari rumah Nana, dan tidak menengok kembali. Lalu, kini tinggal tersisa Nana dengan tubuh yang masih gemetar hebat selepas kepergian Aldi. Bukankah Aldi sudah kembali ke hidupnya? Aldi yang ternyata tidak pernah melupakannya? Dan, Aldi yang sudah mencarinya kemana-mana? Apakah sekarang Tuhan sudah memperbolehkannya untuk bahagia?
Aldi pulang ke hotel dengan langkah terhuyung menahan rasa sakit di kepalanya. Atau … juga rasa sakit di hatinya? Pada saat ini, memang tujuan hidupnya untuk menemukan Nana sudah tercapai, tetapi entah kenapa tiba-tiba saja dia merasa lelah dengan hidupnya. Frustasi, kecewa, sedih, bercampur jadi satu. Aldi memejamkan mata, tetapi tidak juga bisa tertidur. Entah sejak kapan dia jadi mengkonsumsi obat-obatan untuk mengatasi insomnianya.
Keesokan harinya, Aldi terbangun dengan kepala pusing. Sudah berapa lama dia tertidur? Ah ya, dia harus bersiap untuk pulang. Namun, betapa terkejutnya Aldi ketika menemukan Nana sedang menunggunya di lobi. Apakah sosok itu hanya fatamorgana?
“Sudah baikan?” “Apa? Ah, iya. Kok bisa sampai sini?” “Aku ingin bersama denganmu.” “Apa aku ini masih bermimpi?” “Tidak, Al. Semua ini nyata.” “Jadi?” “Selama ini, aku takut kamu akan menyakitiku lagi. Aku takut kamu akan meninggalkanku sekali lagi. Aku takut aku terlalu bergantung padamu. Aku ragu kamu tidak bisa menerimaku. Lalu, ketika kemarin malam kamu pergi, aku merasa hatiku tiba-tiba saja kosong.”
“Na, pegang janjiku, lebih baik aku mati daripada kehilanganmu lagi.” “Hush, jangan pernah berkata seperti itu.”
Dan, setelah hari itu, Aldi melupakan segalanya. Pekerjaan-pekerjaan yang sedang diurus, rencana kontrak proyek yang harus ditanganinya, dan Ayahnya. Setiap hari, dia bersama dengan Nana, ingin mengganti waktu yang hilang selama bertahun-tahun itu. Entah hanya pergi ke waduk, atau jalan-jalan ke pasar mencari sayur, Aldi begitu menikmati waktunya bersama Nana.
Akan tetapi, kebahagiaan itu ternyata hanya semu semata.
Cerpen Karangan: Tiara Citra Septiana