“Aku tahu kamu hanya pura-pura mencintaiku,” ucap Lana penuh dengan nada sedih, ia menatap pria di hadapannya, sedu. “Dan bodohnya aku baru sadar.”
Alvan Aliandi, temannya sekaligus kekasih pertamanya mematung. Geraknya beku, lidahnya kelu. Rahasia yang ditutupi, telah diketahui. Kebohongan sudah terkalahkan oleh kejujuran. Alvan mencekal lengan Lana, tapi langsung ditepis oleh sang empu.
“Beri waktu aku menjelaskan,” ucap Alvan memandang Lana lekat, meminta pendapat persetujuan.
Lana memalingkan muka. “Semuanya sudah cukup jelas.” Ia berbalik badan, mengayunkan kaki menjauh, meninggalkan Alvan sendirian.
Kata siapa, berteman dengan laki-laki itu tak akan mungkin bisa membuat cinta. Kata siapa berteman dengan laki-laki tak bakal bikin baper. Kata siapa?
Lana memeluk kucingnya erat, seraya berkata curhat tentang lika-liku persahabatan dan percintaannya harus rusak karena cintanya. Ia tahu Simeng tak bakal merespon memberi nasehat, ia tahu Simeng hanya binatang berbulu. Namun, yang terpenting ia hanya butuh sesuatu menjadi pendengar yang baik, tanpa memotong ucapannya.
“Kenapa lukanya segurih ini kalau memperdalam, Meng. Enak banget emang, ya Meng kalau sakit hati.”
Ponsel berdering sedari tadi, mati lalu berbunyi kembali. Namun, tak ada niat si pemiliknya untuk mengangkat panggilan.
Lana meletakkan Simeng yang sudah tertidur di atas kasur. Mungkin menurut hewan berekor itu curhatan sakit hatinya seperti dongeng pengantar tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh muka.
Berteman selama sepuluh tahun lamanya, ternyata keakraban bisa menumbuhkan benih-benih rasa di hatinya. Kehangatan bisa menghasilkan rasa nyaman. Tanpa rasa malu, ia sebagai wanita mengatakan perasaannya duluan. Ia tidak takut dengan penolakan, itu bisa menjadikannya sadar. Ia hanya takut ketika ia memendam rasa lebih lama, cinta itu semakin memperbesar.
Namun, siapa sangka Alvan juga berkata memiliki rasa yang sama. Hingga akhirnya pacaran adalah pilihan mereka.
“Aku sudah tahu semuanya. Kamu menerima cintaku hanya kamu tak mau aku menangis mendengar penolakan, kamu tak mau aku tersakiti karena cinta bertepuk sebelah tangan.” “Padahal aku lebih memilih merasakan itu, kalau kamu jujur. Kebohonganmu justru membuatku terluka lebih parah dari yang kuduga, pura-pura cinta nyatanya hanya menganggap teman saja. Itu lebih sakit, Van!”
Cerpen Karangan: Laras Blog / Facebook: La Ras Hai,