Membersamaiku, engkau termenung. Seolah engkaulah abu itu. Sorot mata itu sudah melayu. Kerlap yang biasa terpancar dari matamu pun sudah sirna. Sampai aku tidak sanggup berucap apapun, kelu, sungguh. Andai saja engkau tahu, akulah abu itu.
—
Di tepi pantai malam itu, aku melihatmu memandangi perapian dengan tatapan kosong. Kupikir, engkau sedang membakar ikan yang kau tangkap sore tadi, tepat ketika kita juga berpapasan dan melempar senyum di antara nyiur yang melambai lembut. Kerlap di matamu yang diukir oleh berkas cahaya matahari yang mulai lingsir, ah aku sungguh jatuh cinta pada itu. Entahlah, meskipun kita pernah saling bertemu di pagi hari, siang bolong, kerlap matamu di sore hari jauh lebih menawan dan membuat hatiku terperangah sepanjang perjalanan menuju desa sebelah. Kita ini disatukan oleh lautan ini. Satu lautan untuk ikan yang berbeda-beda. Jikapun kita berlayar di waktu yang sama, kita tak akan pernah menangkap ikan yang sama. Akan berbeda jika kita berlayar pada satu perahu yang sama, jemari kita pada jaring yang sama, ikan yang kita tangkap pun niscaya sama. Tapi, tak pernah itu terjadi.
“Sedang membakar apa?” Dia hanya menggelengkan kepala. Aku duduk, mengalasi diriku dengan sandal jepitku yang kumal dan diselimuti pasir-pasir pantai yang baru saja bermandikan ombak kecil di perjalanan aku mendekatimu. Aku melihat ke matamu, kerlap itu tidak ada. Kita berdiam selama dua puluh menit. Aku membisu melihatmu yang begitu membatu. Hanya melukiskan coretan antah berantah di atas pasir yang di atasnya, beberapa cangkang bertebaran, ada juga bebatuan putih, dari mana ini? Lupakan.
“Tadi ikan yang kutangkap, lumayan, laku terjual.” Ujarku berniat menyambung percakapan yang terkapar lesu seusai terhuyung oleh sunyi di sorot matamu. “Baguslah.” “Ikanmu?” “Aku tidak menangkap sedikitpun.” Aku mengernyitkan kening. Jadi untuk itukah engkau bergeming? “Aku mulai berpikir untuk tidak melaut lagi.” Aku tercengang. Seketika sebatang kayu kecil ini berhenti menari. Padahal, aku tengah menuliskan namamu, di sini. “Loh, kenapa?!” Engkau tersenyum kecil. “Aku harus pergi mengembara ke daratan.” “Daratan? Daratan mana?” “Boulevard.” “Jauh sekali. Mau apa di sana?” “Aku tidak bisa hidup seperti ini terus. Bisa-bisa aku mati terhunus. Mengandalkan ikan-ikan bau.”
Sejak kapan kau menjadi begini? Aku masih tidak mengerti. Padahal, tahun ke tahun engkau hidup pun berkat ikan-ikan yang datang ke jaringmu, yang kau layarkan dengan sukacita dan pengharapan. Mungkin, itulah sebab ikan-ikan di sore tadi menjauhinya. Bahkan ikan-ikan pun punya firasat ia tidak lagi berarti bagi dia yang terkatung-katung dan menunggu di atas tarian laut.
“Cukup tadi, itu terakhir.” Imbuhmu. Engkau berdiri dan berjalan pergi, langkahmu itu seperti ditahan sesuatu, mungkin rindu yang engkau sembunyikan dariku?
Hari masih pukul 2, aku sudah memasang badan menuju ke lautan dengan peralatan layaknya pahlawan lautan tenteng sepanjang jalan, oh bukan, sepanjang lautan. Bukan pahlawan lautan juga, melainkan hanya nelayan jadi-jadian sebagai penopang atap kehidupan yang mulai rapuh dilahap rayap. Ah, aku rindu pada atap-atap milik rumah-rumah berpilar. Apalagi jika aku melalui rumah Derana, keluarga yang dikenal sebagai keluarga saudagar di desa sebelah. Rumahnya berpilar, atapnya kinclong bahkan dari radius jauh sekalipun sudah menyilaukan mataku. Tapi, itu dulu. Sekarang rumah itu hampir seperti rumah hantu. Ditinggalkan tak bertuan selama bertahun-tahun. Konon, perselingkuhan menjadi penyebab pecahnya rumah tangga di bawah atap kinclong rumah berpilar itu. Sehingga, terpecah-pecahlah mereka antah berantah. Gelimang harta hanya terpaku menatap deraian deras airmata pilu anggota keluarga itu. Tidak ada yang meninggal, hanya saja, katanya, rumah itu seperti neraka dalam ingatan, yang membuatnya kemudian harus ditinggalkan. Jika sepedaku mengayuh melalui rumah itu, selalu terbesit rindu bilakah rumah itu dihibahkan untukku? Niscaya kuubah ia menjadi surga. Oh, iya, apa kabar Derana ya? Lupakan.
Di perjalanan menuju lautan, aku mencium aroma yang tak seharusnya ada di dekat lautan. Aroma-aroma minyak wangi saudagar, mungkin? Seperti iklan di televisi, mungkin? Aku mencoba berjalan mendekati asal aroma itu. Ternyata, itu kau! Aku nyaris tidak dapat mengenalimu karena postur tubuhmu yang tegap, baju yang rapih, bersih, wangi. Rambutmu bahkan klimis, malam tak sanggup melalukan kilau rambutmu. Tetapi, sorot matamu?
“Hai pejuang lautan jantan!” Sapanya sambil tertawa lepas. Sungguh berbeda raut wajahmu itu. Seringaimu begitu lebar, tidak seperti hari kemarin aku berjumpa denganmu. “Mau ke mana?” “Persiapan ke Boulevard lah.” “Loh, hari ini?” “Iya.” “Kenapa kau tidak bilang padaku supaya aku masakkan makanan untukmu sebagai perpisahan?” “Jangan bilang menunya ikan.” Aku terdiam, sekaligus tercengang, mengapa engkau berbeda? “Aku mulai bosan, sungguh, aku bosan. Ikannya kamu makan sendiri saja. Kamu belum sarapan, ‘kan?” Terus aku kejar sorot matamu. Mengapa engkau berbeda? Di mana kerlap itu kau sembunyikan?
“Oh iya, nanti sore, temani aku ya.” “Ke mana?” Engkau merangkulku mendekati bibir pantai. “Telah lama kita saling mengenal. Eh, kamu lagi buru-buru kah?” Aku menggelengkan kepala. Tunggu, aku sungguh hampir dibuat jatuh ke pundakmu, karena aroma itu demikian menyengat merasuk ke dalam kalbu. Inikah aroma Boulevard? Aroma saudagar? Aroma Derana? “Kalau begitu nanti sore kita adakan perpisahan ya? Ya, anggap saja sebagai tugu peringatan kita pernah bersama mengarungi lautan. Tapi, kita belum pernah ya di atas perahu yang sama?” Aku ingin menangis, sungguh pedih setiap ujar yang keluar dari mulutnya. Ayolah mentari! Lekaslah terbit! Jangan bersembunyi terus! Aku rasanya ingin mati! Mengapa engkau harus pergi?
“Kalau begitu mengapa tidak kita kali ini di atas perahu yang sama?” Sahutku memberanikan diri. Kau menatapku mataku dengan lembut, lalu tersenyum. “Bagaimana ya? Sebentar lagi aku harus pergi, dan memang harus pagi-pagi. Sebab, banyak hal yang harus kuurus sebelum malam ini aku sungguh-sungguh meninggalkan ini, dan dirimu.” “Sebentar saja, ayo! Sampai pukul 03:00 lah.” “Ah, nanti aku harus ganti baju lagi.” “Tidak, aku pastikan tubuhmu tidak terjamah air ini. Aku janji.” Lalu, engkau mengangguk setelah beberapa detik berlalu dalam ragumu, tepat ketika engkau memegang dagu sambil memandangi laut. “Ya sudah deh, sebentar saja ya.” Aku mengangguk.
Akhirnya, kita berada di atas perahu yang sama. Tidak banyak bicara, terdiam dan terdiam. Engkau menepi menjauh dari aku yang terus sibuk dengan jaringku. Aku menunggu engkau berucap sesuatu, seperti… “Aku mencintaimu” mungkin? Lupakan. Sesekali aku melirik ke arahmu, engkau tidak membalas tatapku, hanya terpaku pada langit, sesekali laut, begitu terus.
“Kenapa tidak kau ceritakan padaku tentang Boulevard itu?” Ujarku. “Kalau aku ceritakan, nanti kau menjadi sedih. Sebab, kau tak lagi punya teman melaut.” “Setidaknya dengan menceritakan padaku, aku bisa mencari penggantimu.” Kelakarku. Padahal, aku tidak punya seorang pun yang kupandang mampu menggantikanmu. Tak terbayang, hanya engkau, dan engkau.
“Kubiarkan hatimu terkatung-katung mencariku.” “Tidakkah hatimu merasa bersalah meninggalkanku?” “Hmm… Bersalah untuk apa? Pernahkah aku berhutang sesuatu padamu?” “Halah… Kalau aku ingatkan lagi, nanti kamu meringis!” “Apa sih? Hutang apa?” “Sesuap nasi yang kusuapkan ke mulutmu. Bibirmu pucat kala itu. Hanya aku yang di sampingmu. Hayo!” Engkau tertawa. “Jadi? Aku harus membalas serupa?” Aku terdiam, hanya tersipu malu. Kusembunyikan sipu maluku di permukaan laut, biarkan ia terkatung-katung menjauh seperti dirimu.
“Jawab dong!” Tandasmu. “Jawab apa?” “Yang tadi. Harus ngga?” “Ya, terserah.” “Kau ini! Perhitungan sekali ya.” “Bukan perhitungan, hanya tertancap dalam ingatan.” Tandasku balik.
Aku berhasil menepikanmu dalam keadaan tidak amis sedikitpun, air tidak mencolek sedikitpun dirimu, sesuai janjiku. “Makasih ya untuk waktunya.” Ujarku menepuk pundakmu. Engkau mengangguk. Lalu, pergi menjauh, menjauh, dan mulai meluruh bayangmu. Bilakah hatimu berkata sesuatu?
Sore itu, kita bertemu, sesuai janji kita dini hari itu. Tapi, kulihat engkau membawa botol berisi apa itu? “Maaf membuatmu menunggu.” “Tak masalah, tunggu, itu apa?” “Botol abu.” “Abu apa?” “Abu semalam.” “Kamu bakar apa?” “Hmm… Sebut saja kenangan lah ya.” Lagi-lagi kau gurat kebingungan di dahiku.
“Peganglah. Aku mau engkau yang melarungkan.” Aku semakin tak mengerti arti semua ini, bahkan arti dirimu menjelang kepergianmu. Dan abu ini? Abu apa? Abu siapa? Kenangan tentang apa?
“Satu hal lagi yang aku mau kau genggam.” “Apa? Abu lagi?” “Bukan. Melainkan… Aku.” “Maksudnya?” Ia tersenyum. “Renungkan saja saat aku pergi ya. Nah, cepat matahari sudah mau terbenam. Larungkan!”
Membersamaiku, engkau termenung. Seolah engkaulah abu itu. Sorot mata itu sudah melayu. Kerlap yang biasa terpancar dari matamu pun sudah sirna. Sampai aku tidak sanggup berucap apapun, kelu, sungguh. Andai saja engkau tahu, akulah abu itu.
Abu itu kularungkan, kau sambut itu dengan senyuman tipis. Ada yang turut terbenam, turut melarung di dalam matamu? Apakah itu aku?
“Sudah ya perpisahannya.” “Tunggu, apa maksudmu tadi?” “Maksud apa?” “Kau minta aku menggenggammu?” “Iya, genggam aku dan larungkan bersama abu tadi. Tadi kamu larungkan juga, ‘kan?” Aku mengunci mulutku. Aku menyembunyikan kamu di dalam saku celanaku.
Sukoharjo, 4 Agustus 2021. Pukul 9:05 AM.
Cerpen Karangan: Debora Jessica Desideria Tanya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com