“Kau melihat Clara pagi ini?” Gio yang sudah mulai makan pisang goreng ke duanya bertanya padaku. “Tidak.”, jawabku singkat. “Oh.”, Gio terlihat agak kecewa. “Aku hanya sedikit khawatir karena sejak semalam tidak melihatnya di rumah.” “Dan sekarang sedang hujan lebat”, tambahnya lirih. Clara adalah kucing peliharaan rumah kami.
Gio, kakakku, baru saja putus dengan tunangannya. Itulah mengapa ia menjadi sering menggerutu akhir-akhir ini dan kukira satu-satunya hal yang bisa menghiburnya adalah bermain dengan Clara- mungkin Gio juga berbagi cerita dengannya. Tapi Clara tidak pulang sejak semalam, sejujurnya aku juga mulai khawatir.
“Aku keluar sebentar.”, suaraku memecah kesunyian. “Mau kemana?”, Tanya Gio. “Jalan-jalan.”, jawabku asal. “Hujan-hujan begini…”, gumamnya sambil menyalakan TV, aku mengacuhkannya. Kuambil jaketku yang menggantung di dekat pintu, mengambil payung, lalu membuka pintu dan keluar secepatnya.
Bulan Desember tahun ini cukup dingin. Ditambah hujan yang turun tak henti-hentinya sejak semalam membuat hawa dingin ini menjadi-jadi. Aku berjalan melewati rumah-rumah berlantai tiga yang berjajar di sepanjang jalan. Rumah-rumah itu bangunan yang cukup tua tapi masih terlihat kokoh. Jendela-jendela besarnya tampak anggun dengan gorden-gorden berat yang memberi kesan klasik.
Cuaca benar-benar tidak bersahabat. Angin dingin terus saja berhembus dan hujan tak juga menunjukkan keinginannya untuk berhenti. Pohon-pohon pinus di tepi trotoar melambai-lambai elok diterpa angin dingin dilatar belakangi oleh langit kelabu yang semakin gelap karena hari sudah mulai mencapai ujungnya. Jalanan mulai sepi. Hanya sesekali aku berpapasan dengan orang-orang yang lewat. Clara belum juga ketemu. Aku berjalan dari blok ke blok mencarinya, mencoba memanggilnya sesekali tapi belum juga berhasil menemukannya.
“Hey! Alan!”, suara yang sangat familiar terdengar memanggilku dari arah belakang. Ia melangkah cepat melewati trotoar yang basah dan mendekatiku. Payung hijaunya berayun-ayun riang, jaket birunya sedikit basah disana-sini, senyumnya mengembang seperti matahari yang tiba-tiba bersinar dari balik awan-awan kelabu dan menembus hujan sore itu. “Sedang apa hujan-hujan begini?”, Risa bertanya tanpa ragu-ragu, matanya menatapku penuh keingintahuan. “Jalan-jalan sambil menikmati hujan.” Jawabku agak tersipu. Risa, dia teman sekelasku di SMA dulu sekaligus tetanggaku. Sekarang ia adalah mahasiswi kedokteran universitas ternama. Karena sekarang sedang ada libur jadi ia memanfaatkannya untuk pulang, sama sepertiku.
“Hmm, boleh aku ikut?”, pintanya sambil tersenyum. “Baiklah, kau boleh ikut. Tapi dengan satu syarat.”, kataku akhirnya dengan nada sok misterius. Risa mendengus kesal, namun matanya tersenyum. “Apa?”, tanyanya singkat. “Kau harus membantuku.”, kataku dengan senyuman simpul. .
Sejak 1 jam yang lalu lampu-lampu jalan sudah mulai melakukan tugasnya menerangi malam, dan kami belum berhasil menemukan si kucing laknat itu. “Ayolah … kita cari sekali lagi.”, Risa memaksaku bertahan untuk menemukan Clara. “Tapi ini sudah malam, kita sebaiknya pulang saja.” “Kau ini gampang sekali menyerah ya.”, ledek Risa kepadaku. Aku hanya menghela nafas. Aku rasa pencarian ini sia-sia saja. Kami sudah berjalan berjam-jam keliling kota mencari tapi tak juga berhasil menemukannya. Rintik-rintik hujan masih saja setia menemani perjalanan kami. Aku lelah dan juga lapar. Entah kenapa gadis satu ini tidak kelihatan lelah, malah terkesan menikmatinya. Langkah-langkahnya yang ringan seperti menari diatas trotoar basah diterangi lampu-lampu jalan yang temaram.
Jam tanganku telah menunjuk pukul 9 malam, akhirnya Risa menyerah juga. Kami memutuskan untuk menghentikan pencarian hari ini dan berteduh di halte bus yang sepi. Hawa dingin akhirnya membekukan semangatnya yang berapi-api. Jari-jarinya terlihat memucat dan pipinya mulai memerah kedinginan. Dia hanya memakai kaos dibalik jaket tipis birunya yang tak sanggup menahan dingin hari itu.
“Mungkin, sebaiknya kita pulang saja.”, suaraku memecah kesunyian. “Mungkin,” ucapnya pasrah.
Hujan telah digantikan gerimis. Kami berjalan beriringan dan Risa yang semula sangat menggebu-gebu kini hanya diam. Sepertinya ia benar-benar kedinginan. “Dingin?”, akhirnya aku bertanya. Risa mengangguk. “Pakailah ini.”, kataku sambil melepas jaketku dan memberikannya padanya. Dia memandang jeket yang kusodorkan lalu berganti memandangku ragu-ragu. “Lalu kau?” “Aku masih memakai sweater.”, jawabku sambil menunjuk sweater wool yang kupakai. Dia akhirnya menerima jaketku sambil mengucapkan terima kasih.
Kami berjalan melewati jalanan yang sepi sambil sedikit berbincang. Aku masih saja tidak terbiasa melihat Risa memakai jaketku yang kedodoran. Sesekali aku masih tersenyum-senyum sendiri sampai akhirnya langkah kaki kami terhenti di depan rumahnya.
“Kau tidak mampir?” kata Risa sambil menunjuk rumahnya. “Tidak terima kasih. Lain kali saja.”, jawabku segera. “Ah, ini milikmu.. Terima kasih banyak.”, dia mengembalikan jaket yang semula dipakainya. “Oh, sama-sama. Aku juga berterima kasih telah ditemani mencari Clara.” Kataku tersenyum sambil menerimanya. “Aku harap Clara segera pulang.” Ekspresi wajah Risa terlihat sedih. “Kuharap juga begitu.” Jawabku sedikit merenung. Kami jadi terdiam. “Sebaiknya kau segera masuk. Diluar dingin.”, kataku akhirnya. “Kau juga sebaiknya segera pulang. Nanti ibumu khawatir.” Jawab Risa sambil tertawa. “Selamat malam.” Ia berbalik dan membuka pintu pagar lalu menghilang dibalik pintu rumahnya yang tertutup dengan suara pelan. Hujan yang tadi sempat reda kini turun lagi. Entah hanya perasaanku atau memang udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Meski aku telah memakai kembali jaketku, angin dingin terasa menusuk dan menembus sampai ke tulang. “Selamat malam.”, gumamku.
Esok harinya aku bangun dengan hidung tersumbat dan badan meriang. Aku membersut kearah kucing oranye gemuk yang telah kembali ke pangkuan tuannya. Setelah mencari-carinya dengan susah payah, ternyata ia pulang dengan sendirinya. Kesal rasanya, namun senyum samar tersungging di wajahku. Jika bukan karena Clara, aku tak akan menghabiskan waktu bersama Risa.
Aku kembali memperhatikan kucing yang sedang asyik bermalas-malasan itu. Bola mata kuning cerahnya balik memandang. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku seolah melihat Clara melayangkan pandangan congkak penuh arti kearahku.
Cerpen Karangan: R. Safir Blog / Facebook: Not All Who Wander Are Lost
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com