Dengan raut muka yang layu dan bibir pucatnya ia menolak halus tawaran uang yang disodorkan berkali-kali oleh Pak Lurah sebagai imbalan jasa yang telah dilakukannya. Ia berdalih bahwa sesuatu yang selama ini ia lakukan merupakan pengabdiannya kepada masyarakat serta merupakan salah satu bentuk ibadah yang mulia menurutnya. Pak Lurah yang awalnya datang dengan bahagia karena akan memberikan hak seorang alim perlahan membentuk kerutan diantara dua alisnya. Penolakan demi penolakan dilemparkan kepada Pak Lurah yang juga bersikeras memberikan uang itu.
Kang Inul, seorang pria berumur 31 tahun dengan postur kurus namun tidak kering yang menjadi seorang pengajar Al-Quran untuk muda-mudi di desa Bejih itu telah mengajar sejak ia masih berumur 19 tahun. Ia kembali berdalih bahwa sebenarnya ia ihklas untuk melakukan itu dan tidak mengharapkan sebuah imbalan uang sepersepun. Pak Lurah kemudian menimbalinya dengan dalil tentang keburukan menolak rezeki, yang mana membuat Kang Inul semakin bersikukuh dengan idealismenya yang membuat mereka berdebat dari sehabis waktu Isya’ sampai dengan jam 10 malam.
Dengan alasan akan menjalankan dzikir malam, Kang Inul menyudahi perdebatannya dengan Pak Lurah yang tak berujung usai. Akhirnya Pak lurah kembali dengan masih menggenggam amplop berisi uang yang telah ia persiapkan sebagai bayaran sang guru ngaji yang telah membentuk karakter anak desa Bejih sehingga menjadi pribadi yang beradab dan sopan. Hal tersebut terbukti dengan berkurangnya anak dibawah umur yang mabuk-mabukan dengan terang-terangan serta meningkatnya prestasi pemuda yang bukan hanya di bidang agama namun juga di bidang lain seperti olahraga, kerajinan, dan akademis berkat bimbingan sang guru. Banyak masyarakat yang menggapnya bukan hanya guru ngaji namun juga seorang guru pembimbing kehidupan bagi anak muda.
Dalam anggapannya, meskipun ia tidak menerima uang imbalannya ia masih bisa menyambung hidup dengan menggarap ladang yang diwariskan oleh orangtuanya yang telah meninggal dunia. Meskipun terkadang ia terpaksa menerima imbalan karena bukan berbentuk uang seperti makanan atau peralatan rumah tangga, ia membagikan kembali barang-barang tersebut kepada muridnya atau kepada para warga yang memang tergolong miskin. Toh Kang Inul juga masih memilih membujang, entah belum menemukan yang cocok atau mungkin memang ia belum memiliki niatan untuk menikah. Hal ini membuat banyak para gadis desa yang terlihat jelas ingin mendekatinya dengan harapan Kang Inul akan menjadikan mereka pasangan hidup. Terlepas dari umurnya yang dianggap sudah terlalu tua untuk mendapatkan gadis di daerah tersebut serta tubuhnya yang keceng dan tidak terlalu tinggi, wajah Kang Inul dapat disebut rupawan di daerah desa Bejih.
Gadis mana yang tak terpikat dengan wajah rupawan yang dilengkapi budi baik serta keterkenalan yang hampir mengalahi kembang desa. Salah satu dari gadis yang amat sangat menempatkan perasaan hatinya dan ingin memasrahkan kehidupannya kepada kang Inul adalah Gayatri, anak semata wayang Pak Lurah. Gadis yang baru setahun lulus dari sekolah menengah atas itu sudah lama terpikat dengan sosok karismatik Kang Inul. Namun Gayatri tidak memperlihatkan hasratnya seperti gadis-gadis lain yang secara terus terang mendekati dan memberikan sesuatu kepada kang Inul. Meskipun putri Lurah, ia merupakan gadis pemalu yang jarang berinteraksi dengan beberapa teman dekat dan koleganya saja. Ia terlalu takut untuk memandang mata sang guru, apalagi sampai mengajaknya bicara.
Dalam suatu kesempatan di sebuah majelis taklim yang rutin diadakan setiap setahun sekali di masjid desa Bejih, Kang Inul mendapatkan kesempatan untuk mengisi mukodimah yang kemudian acara akan dipimpin oleh seorang habib yang terkenal. Majelis tersebut dihadiri oleh Pak Lurah, para perangkat desa, Pak Camat, warga desa Bejih, dan para jamaah habib yang memenuhi masjid hingga di depan teras. Kang inul membuka acara dengan menyelipkan beberapa pengajaran tentang idealisme duniawi dalam islam, lalu dilanjutkan dengan siraman rohani oleh habib yang bertemakan keindahan dalam islam dan toleransi beragama. Secara keseluruhan dari pembukaan hingga doa penutup, majelis yang dihadiri oleh setengah dari penduduk desa Bejih itu berjalan sekitar 4 jam dari pagi hingga siang yang diadakan di hari minggu.
Habib yang seharusnya undur diri sesaat setelah acara ditutup lebih memilih untuk tetap duduk di masjid tersebut karena tertarik dengan bahasan yang diselipkan oleh Kang Inul dalam mukodimah yang disampaikan tadi.
“Yaa Ustadz, bolehkah saya bercengkarama dan mengobrol denganmu agar kita dapat saling mempererat tali silaturrahim, dan saya juga ingin berdiskusi perihal mukodimah yang kamu sampaikan? Saya tertarik,” ucap sang habib sembari menoleh kepada Kang Inul yang duduk disebelah Pak Lurah. “Boleh saja habib, saya akan merasa senang jika habib berkenan nati setelah sholat dzuhur mampir ke gubuk saya,” sahut Kang Inul yang setengah kaget mendengarkan ucapan sang keturunan nabi. “Perkenankan saya juga ikut, habib, saya juga ingin mendalami perihal keagamaan,” ucap Pak Lurah yang duduk diantara kedua ahli agama tersebut dengan perasaan gembira dan penasaran bagaimana diskusi itu nanti akan berlangsung.
Tak lama kemudian setelah percakapan kecil mereka, adzan dzuhur telah memasuki masanya dikumandangkan yang ditandai dengan suara radio tua yang sebelumnya telah disetel sesudah acara oleh Kang Inul. Pak Lurah dan habib beranjak dari tempat duduk mereka lalu berjalan menuju area wudhu yang berada di sebelah selatan teras masjid. Kang Inul kembali menyalakan alat pengeras suara masjid beserta mikrofonnya yang kemudian ia pakai untuk menyuarakan adzan. Setelah mengumandangkan adzan kang inul berhenti sebentar untuk berdoa dan melanjutkan kegiatannya dengan menyerukan pujian-pujian sembari menunggu jamaah yang belum pulang dan berniat sholat berjamaah untuk mengambil wudhu terlebih dahulu. Kang Inul tidak mengambil wudhu karena sedari awal ia belum membatalkan wudhunya. Tak lama kemudian pak Jumadi, ketua takmir masjid yang baru pulang kerja datang untuk melakukan kebiasaannya yakni menjadi imam untuk sholat dzuhur berjamaah di masjid. Namun karena adanya habib disana, pak Jumadi dan para jamaah lain lebih memilih untuk menjadikan sang keturunan nabi sebagai imam mereka dikesematan kali ini.
Usai melaksanakan sholat dzuhur beserta dengan sederetan dzikir yang dilantunkan berjamaah dan dipimpin oleh habib, para jamaah pulang meninggalkan masjid. Kang inul yang telah menjanjikan rumahnya untuk disinggahi mengantarkan habib beserta seorang asistennya untuk menuju rumahnya. Sang habib sebenarnya memiliki banyak jamaah, namun ia menyuruh mereka untuk pulang terlebih dahulu dan meninggalkan ia bersama satu asistennya karena itu merupakan permintaan dari Kang Inul. Bukannya pilih-pilih atau bagaimana, rumah Kang Inul tidak begitu besar dan sederhana saja sehingga apabila banyak orang yang singgah ditakutkan tidak ada ruang bagi mereka semua untuk bersantai atau bahkan sekedar duduk. Akhirnya hanya empat orang termasuk Kang Inul yang pergi ke rumah sederhana di pojok gang itu. Kang Inul duduk di mobil habib dengan posisi berada di bangku sebelah supir sebagai penunjuk jalan dan sang habib yang duduk di kursi belakang. Pak Lurah kemudian mengikuti mereka dengan menumpangi GL Pro andalannya dengan knalpot mengebul dan tangki mengkilap seperti kaca.
Setibanya di rumah Kang Inul mereka pun dipersilahkan duduk di karpet yang terletak di ruang tamu yang mana karpet tersebut terlihat lusuh namun sangat bersih dengan beberapa gelas air mineral yang tertata di tengah-tengah karpet tersebut. Kang Inul masuk kebagian dalam rumahnya untuk mengambilkan suguhan untuk para tamunya.
“Apakah beliau tidak menyisihkan uang untuk memperbaiki rumah?” Tanya sang asisten kepada Pak Lurah. “Sebenarnya Kang Inul kami beri upah atas usahanya sebagai pendidik remaja di kampung kami, namun ia selalu menolaknya, uang pemasukan yang ia dapat hanyalah dari hasil berjualan hasil ladangnya, alhasil beginilah nasibnya, ia bilang dirinya hanya fokus untuk menanam benih kebaikan demi alam akhirat,” Jelas Pak Lurah. “wah, ini mungkin agak keliru menurut saya,” Cuat sang habib menimpal penjelasan dari Pak Lurah.
Kang Inul datang dari dalam rumahnya dengan membawa beberapa makanan ringan yang diberikan warga kepadanya dan juga termos yang berisi teh hangat yang baru saja ia seduh. Ia menaruh jajanan tersebut ditengah-tengah tamunya dan memepersilahkan mereka untuk menyantapnya. Kang inul mengambil posisi duduk tepat disebelah habib yang menjadikan mereka semua berada dalam posisi melingkar seperti saat melihat sabung ayam. Belum ada yang mulai membuka mulut untuk memulai percakapan, Pak Lurah tiba-tiba merogoh telepon genggam dari dalam saku celananya dan menekan beberapa tombol dan melakukan sebuah panggilan. Semua yang ada dalam ruangan serentak memandang Pak Lurah dengan raut penasaran, apakah ada masalah di desa? Apakah staffnya ada yang ketahuan? Apakah ada tamu agung di rumahnya? Apakah kambingnya melahirkan? Entahlah. Tanpa pamit dan basa-basi Pak Lurah beranjak keluar dari ruang setelah bunyi teleponnya tersambung dengan seseorang yang terdengar memiliki suara perempuan muda.
“Apakah beliau memeang sesibuk itu?” tanya asisten habib yang penasaran. “Saya juga kurang tahu,” jawab Kang Inul. “Yah memang menurut saya susah menjadi pemimpin sebuah-” Belum sempat menuturkan seluruh ucapannya, sang asisten memberhentikan ucapannya saat melihat Pak lurah masuk lagi dalam ruangan. “Haha sedang membicarakan saya, ya?” Celetuk Pak Lurah.
Sontak mereka semua tertawa ringan mendengar turah Pak Lurah. Sang habib yang tidak sabar langsung memulai percakapan dengan menanyakan alasan Kang Inul menolak upah yang diberikan sebagai bentuk apresisi warga atas kerja kerasnya dalam membimbing para remaja di desa itu. Kang Inul yang sudah tau kalau Pak Lurah pasti yang memberitahu beliau menjawab dengan nada santai kalau ia menolak upah itu karena ia tidak ingin keikhlasannya menjadi tidak murni dan hatinya akan terpengaruh oleh besarnya upah tersebut yang memang bisa dibilang terlalu banyak. Ia lebih menganjurkan upah yang seharusnya dimilikinya untuk diberikan kepada para warga yang lebih membutuhkan, apalagi di saat krisis moneter seperti ini.