Sudah lebih dari tiga bulan aku dan Ardhan tidak berhubungan lagi. Baik itu melalui kontak di sosial media atau pun bertatap muka. Bagi Ardhan, sepertinya pendapatku untuk memperbaiki hubungan pacaran kami sudah tidak penting lagi.
Aku sedang fokus berkutat pada layar komputerku. Hingga seseorang mengejutkanku dari belakang, Sekar. Entah sejak kapan ia masuk ke kamarku.
“Kau sungguh-sungguh tidak akan berbaikan dengan Ardhan?” tanyanya terdengar penuh menyelidik. Gadis itu menatapku tajam. “Aku tidak bisa berpacaran lagi dengannya,” sahutku skeptis. Aku masih tak menatap Sekar, sepertinya aku cukup malu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Sekar.
Sekar menghela napas. Langkahnya terdengar agak menjauh, namun aku tahu ia sedang membaringkan tubuhnya di ranjang reyotku.
“Kurasa, dia tak sepenuhnya salah, Ra,” ujar Sekar dengan nada lirih. Kalau dia sudah begitu, dia berarti kesal padaku. Ia akan berbicara dengan nada seperti itu jika sedang kesal. “Dan, kau tidak sepenuhnya benar,” lanjutnya. Aku terdiam, aku menghentikan aktivitas jari-jariku dari keyboard komputer. Aku setengah berpikir, bahkan Ardhan tidak pernah meminta maaf atau sekadar menghubungiku sejak kejadian beberapa bulan yang lalu. Hubungan kami seperti di ujung tanduk, kami tidak ada yang memulai untuk meminta maaf atau memaafkan.
“Sejujurnya, aku kemarin bertemu Seno. Dia mengatakan kalau Ardhan aneh, selama tiga bulan dia tak pernah keluar kamar, tentu saja kecuali bekerja. Setiap Seno meminta bantuannya, bahkan dia tidak pernah membantu seperti biasanya.”
Aku tetap terdiam berusaha mentelaah satu per satu kalimat yang diucapkan Sekar. Sejak menjalin hubungan dengan Ardhan selama tiga tahun ketika aku dan Ardhan sama-sama di semester akhir kuliah, kami tidak pernah saling diam seperti ini. Aku dan Ardhan memang tipe orang yang sama-sama cuek, bahkan tidak pernah memikirkan bagaimana hubungan kami berlanjut, kami hanya partner untuk saling bertukar pikiran dalam hal pekerjaan dan obrolan sosial tentang perspektif masing-masing. Untuk pasangan kekasih, rasanya obrolan kami terlalu ringan. Ya, ringan. Karena bagiku, obrolan berat adalah membangun rumah tangga di masa depan yang bahkan saat ini saja belum aku pikirkan.
“Kalian adalah panutanku. Tidak seperti pasangan alay di luar sana, kalian orang yang membuka mindset bahwa hubungan tidak melulu tentang cinta menye-menye. Kalian selalu memikirkan perspektif masing-masing tanpa saling senggol dan menyakiti,” ujar Sekar yang menurutku sepenuhnya benar. “Padahal kau pernah bilang kalau hubungan kami kuno dan tidak kekinian banget!” tukasku membuat Sekar tertawa.
Apa yang dikatakan Sekar benar. Aku tak dapat menolak pemikiran orang lain selama ini, jujur saja rasa menghargaiku sangat tinggi. Namun, kata-kata yang dikatakan Ardhan terakhir kali benar-benar menyakiti perasaanku. Aku tidak pernah merasa suatu saat akan diinjak-injak oleh kekasihku sendiri, apalagi itu Ardhan.
Tiga bulan yang lalu, kami seperti biasa bertemu di perpustakaan kota. Perpustakaan kota buka sampai pukul sembilan malam dan waktu itu sudah saatnya pulang. Sebelum pulang, kami memutuskan untuk makan malam di tempat biasa, bahkan pedagangnya hafal betul pada kami. Ya, karena kami pelanggan tetap.
“Umur kita sudah dua puluh lima tahun,” ujar Ardhan tiba-tiba membuat nasi goreng di mulutku bertengger sejenak di sana, kemudian aku kunyah dan kutelan kemudian. “Lalu?” sahutku tak mengerti arah obrolan kami malam ini. Ardhan meneguk teh hangat. “Ini bukan tentangku, tapi tentangmu.” Aku mengerutkan kening tak mengerti. Kali ini, aku meletakkan sendok dan bermaksud memperhatikannya lebih dalam. Meskipun obrolan kami berat bagi sebagian orang, atau obrolan yang biasanya akan sangat serius untuk sebagian orang, bagi kami tidak. Obrolan kami biasanya hanya sekadar nyinyir tentang negeri dan solusi yang kami berikan dengan tawa-tawa sebagai pelengkapnya. Namun, tidak untuk kali ini. Ardhan terlihat benar-benar serius. “Aku akan mendengarkan,” tegasku akhirnya. Ardhan pun melepaskan sendok dan menatapku, suasana yang agak canggung tidak seperti biasanya.
“Ayo kita menikah,” ujar Ardhan membuatku mungkin akan tersedak jika sedang makan atau minum, untungnya aku fokus memperhatikannya, walaupun ini bukan seperti yang aku harapkan. “Kau sudah dua puluh lima tahun,” lanjutnya dengan tambahan kalimat yang tidak kumengerti. “Memangnya kenapa dengan usia dua puluh lima tahun?” tanyaku akhirnya. Ardhan skeptis. Ada guratan ekspresi bingung di wajah dan matanya. “Bukankah itu usia yang cukup untuk seorang wanita menikah?” tanyanya yang pertanyaan itu terdengar lebih ke pernyataan. “Aku belum pernah memikirkan untuk menikah, Ar. Dan, aku paling tidak suka kau mengotak-ngotakkan seolah wanita harus menikah usia sekian, sementara kau bebas akan dan kapan saja menikah. Aku benar-benar tak mengerti,” tegasku setengah emosi. Ardhan diam sesaat, sepertinya paham apa yang aku maksud.
Seperti biasanya, dia akan minum cukup banyak ketika gugup, seperti saat ini. “Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa, kita berada di usia yang sesuai untuk menikah, Ra!” tegasnya sesekali mengeraskan rahang. Aku tertawa kecil. “Kau membicarakan usia lagi.”
Ardhan menghela napas panjang. Rasanya, obrolan kami tidak akan menemukan titik temu selain salah satu harus mengalah atau mengakui kekalahan. Sementara, aku bukan tipe orang yang seperti itu, begitu pula Ardhan.
“Orangtuaku meminta kita menikah,” ujar Ardhan lagi. Tapi, aku tetap tidak mencerna apa yang ia katakan, aku sepenuhnya tidak paham. “Ar, aku rasa kau paling tahu tentangku. Aku masih menjadi editor magang selama dua tahun sejak kelulusanku. Meskipun aku sudah menerbitkan beberapa buku, aku belum puas akan itu. Banyak hal yang masih ingin kulakukan, selain menikah!” jelasku membuat Ardhan yang biasanya akan menjawab dengan senyum, kali ini tidak. “Kau bisa melakukannya bersamaku,” sahutnya seolah menengahi.
Aku tertawa, aku masih tak mengerti jalan pikirannya. “Kau ini sedang kenapa, sih? Kau tahu kalau aku tidak ingin kita seperti ini. Kalau aku menikah sekarang, aku akan hamil, punya anak, mengurusmu, mengurus orangtuamu. Karena aku yakin, orangtuamu tidak akan mengizinkan kita tinggal sendiri. Dan, itu semua jelas akan membatasiku.” “Aku bahkan tidak memikirkan seperti itu. Kenapa kita tidak jalani saja?” tanyanya akhirnya setengah putus asa. “Sepertinya, kita harus menyelesaikan obrolan ini.”
Sejak percakapan panas kami, ini pertama kalinya aku menemuinya. Rasanya begitu canggung seperti saat aku pertama kali pacaran dulu. Sepertinya, Ardhan pun merasa demikian. Lelaki berwibawa itu duduk di sebelahku. Kami berada di taman di dekat rumah Ardhan, aku tidak berani menemuinya di rumah karena akan ada orang tua Ardhan.
“Ada apa kau memanggilku ke sini?” tanyanya to the point. Bukan Ardhan yang biasanya, sepertinya dia masih memendam kemarahan yang mendalam, atau justru kekecewaan karena sikapku? “Aku ingin menengahi semua ini,” ujarku menatap Ardhan yang berada di sampingku, kudapati Ardhan sedang menatapku juga. “Kau tetap memintaku untuk menikah atau kita akhiri saja hubungan ini,” lanjutku lirih, aku menguatkan hati untuk tidak menangis. Bagaimanapun, Ardhan adalah orang yang paling kucintai. “Baiklah,” sahutnya tidak bersemangat. Sepertinya, ia akan menduga aku akan berkata seperti ini.
“Lalu, katakan sesuatu. Apa yang kau inginkan?” tanyaku sudah tidak menatapnya. Aku merasakan ia bersandar karena kurasakan bangku ini sedikit bergerak. “Kau sudah memutuskannya, untuk apa menanyakan padaku lagi?” tanyanya balik. Kali ini, aku melirik ke arahnya. Ardhan memejamkan mata dan menyingkap kedua tangannya di dada. Dengan punggung yang bersandar, kurasakan sepertinya ada beban yang berat sedang ia pikul. Aku agak kesal melihat sikap tidak pedulinya.
“Apa maksudmu?” tanyaku lagi. Ia masih memejamkan mata. “Bukankah arah obrolan kita ada mengakhiri hubungan?” tanyanya lagi. Sesaat kemudian, ia membuka mata. “Kau sejak awal memang akan memilih ini dan aku pun tidak akan berubah pikiran. Lalu, untuk apa kau bertanya?” mata Ardhan terlihat memerah, ia menatapku tajam dengan tatapan membunuh. Aku diam sesaat karena takut atas tatapannya yang tidak biasa, sekaligus membenarkan semua apa yang dia katakan. Bahkan, dia tahu betul sikapku.
“Lalu, kenapa kau bersikeras untuk menikah, kau sudah tahu jawabannya!” tegasku kemudian tak mau kalah. Sepertinya, sepasang kepala dengan keegoisan, emosional dan percaya diri yang sama tidak dapat bersatu. “Kau selalu pintar untuk membalikkan perkataan orang lain!” tegasnya dengan senyum sinis. “Perlukah aku bertanya bahwa ‘kenapa kau berpacaran kalau tidak ingin menikah?’ begitu?” lanjutnya membuatku mati kutu. “Berhentilah seperti ini, Ar,” ujarku memohon.
Kali ini, dia terdiam. Rasanya, tidak pernah habis kata makian yang akan kami lontarkan. Selain itu, aku juga tidak tahu untuk mengakhiri percakapan ini. Waktu yang lambat menempatkan kami di sepuluh menit kemudian yang sama heningnya. Kami bingung untuk bicara apalagi, setiap kami bicara hanya akan menambah pertengkaran.
“Kenapa kau memintaku menikah? Hanya karena orangtuamu yang memintanya?” tanyaku akhirnya. “Menikah denganmu hanya alasan,” jawabnya singkat dan tidak aku pahami. “Apa maksudmu?” tanyaku lagi sedikit kesal. Aku menatapnya kesal. Ia meluruskan punggungnya dan menatapku sangat dekat. Sepertinya, inilah yang aku harapkan.
“Kau mungkin ingin menjadi editor tetap, aku tahu betul cita-citamu. Aku bahkan merasa sangat bersyukur ada Kartini di era ini yang berpikiran terbuka sepertimu. Berani menyuarakan apa yang ada di pikiranmu melalui tulisan dengan cara baik dan benar. Ya, itu cita-citamu,” jelas Ardhan panjang lebar masih tak kumengerti arah penjelasannya. “Dan, menikah adalah alasanku untuk menggapai cita-citaku. Cita-citaku adalah ingin hidup bahagia dengan sosok Kartini di era ini.”
Aku tertawa mendengar gombalan jeleknya.
“Kau berjanji tidak akan menghalangi cita-citaku?” tanyaku dijawab dengan anggukan mantap. “Kalau begitu, aku akan mewujudkan cita-citamu.”
Sepertinya, ini adalah akhir dari percakapan kami, tapi awal dari percakapan kami yang lainnya. Bagaimanapun, aku hanyalah sosok wanita yang tidak ingin dibedakan dengan pria. Aku adalah sosok wanita yang punya mimpi dan cita-cita yang sama seperti para pria.
Cerpen Karangan: Aira Zoey Blog: airazoey.weebly.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com