Aku. Ini foto usang 15 tahun yang lalu, sudah sangat lama memang dan aku sudah tidak memiliki semua yang ada dalam foto ini. Ayah, ibu, dan bang Robi. Tidak begitu sering aku melihatnya, hanya sesekali ketika aku rindu saja. Kau tahu? Terkadang ada beberapa orang yang percaya bahwa orang-orang yang sudah meninggal arwahnya tetap akan selalu bersama kita, dan aku percaya itu. Aku ingin mereka tahu bahwa anak atau adiknya ini tengah senang, sangat senang hingga tersenyum sendiri di depan cermin sejak sepuluh menit yang lalu. “Ibu, sepertinya anak gadismu sedang jatuh cinta.” Ucapku pada foto lawas yang sedang aku genggam.
—
Langit, seperti itu dia memanggilku. Namun walaupun begitu bukan berarti namaku langit. Aku hanya perempuan biasa. Sangat biasa. Langit. Di sanalah awal kita bertemu lalu berteman, di sebuah festival yang diadakan setiap tahun di desaku. Aku hanya bisa menyaksikan teman-temanku tertawa ria sambil memainkan setiap arena permainan yang ada. Aku tersenyum kemudian duduk di sebuah bangku panjang yang bertuliskan langit di atasnya. Mataku mengedar mencermati isi tempat ini, hingga akhirnya kulihat seseorang yang tengah duduk mencermati sebuah bacaan di tangannya. Aku tersenyum melihat orang tersebut, kagum. Iya, aku tidak pernah melihat orang itu sebelumnya di kampungku. Untuk beberapa saat aku hanya diam membatu sebelum kemudian pandanganku akan dirinya kabur karena orang-orang yang mulai berlalu-lalang untuk pulang. Ya, aku rasa ini memang sudah waktunya untuk pulang. Dengan langkah yang tidak begitu cepat aku berjalan menuju rumah. Namun, sesaat aku rasakan tanganku sedang dipegang.
“Langit.” “Ha…?” Ya, itu dia. Orang aneh itu. Tinggi dan cukup tampan untuk standar laki-laki di kampungku. Tidak ada yang tahu bahwa setelah hari itu semuanya akan berubah indah sesaat. Ada banyak hal yang aku pelajari dari dirinya, dan ini lebih penting dari sekedar mempelajari rumus phytagoras atau formula-formula Bahasa Inggri sewaktu SD.
—
Pagi ini aku lebih memilih untuk berjalan kaki daripada mengayuh sepeda tua kesukaanku. Kau tahu? Aku tidak begitu menyukai waktu pagi seperti kebanyakan orang. Aku lebih menyukai malam, waktu dimana aku bisa bermimpi banyak dan mengukir kisah hidupku sendiri.
“Langit.” “Namaku bukan Langit.” “Tapi aku suka langit.” Dia datang dengan seutas tali di tangannya. Mengaitkannya ke lenganku lalu menarikku hingga aku berjalan beriringan dengannya.
“Kenapa harus seperti ini?” “Tidak apa-apa.” “Lalu?” “Hanya suka.” Dia adalah orang yang paling aneh yang pernah aku temui. Aku tidak pernah memanggil namanya karena dia sendiri saja tidak pernah tahu namanya siapa.
“Sekali lagi, namaku bukan Langit.” “Aku tahu itu.” “Bagaimana kamu tahu?” “Loh? Bukannya kamu sendiri yang baru saja memberitahuku?” Protesnya kepadaku. Saat itu aku kesal dengannya, namun karena tingkahnya yang lucu semuanya berubah menjadi lebih baik. Sangat baik. “Baiklah, anggap saja itu panggilan pertemanan buatku. Lalu, namamu?” “Aku tidak punya nama. Jadi terserah kamu mau panggil aku dengan sebutan apa!” Seperti semua orang tahu, tidak ada manusia yang tidak bernama di dunia ini. Lalu apa maksudnya menipuku dengan mengatakan bahwa dia tidak mempunyai nama? Lelucon macam apa ini? “Aku pastikan bahwa aku tidak akan pernah berbohong.” Ucapnya lagi. “Aku hanya akan berteman denganmu sehari ini. Jadi berbagilah denganku apa yang bisa kamu bagi, maka aku akan berbuat sebaliknya. Walau itu hanya sebuah cerita.”
Akalku benar-benar tidak sampai. Seperti mimpi di malam hari, aku mencoba mencubit pipiku secara bergantian. Sakit, jadi ini bukan mimpi. Hanya sehari? Memangnya apa yang akan kita lakukan dengan waktu sehari? “Kenapa dari tadi kamu hanya diam dan aku yang bicara?” “Kamu aneh.” “Mengapa kamu sama dengan kebanyakan orang?”
Aku tetap diam tak bergeming, hingga dia bersuara kembali. “Ehem, baiklah. Aku akan berbagi sesuatu denganmu. Kamu lihat laut itu? Dan kamu lihat batu yang sedang kita duduki saat ini? Keduanya memiliki kesamaan. Mereka sama-sama rapuh.” “Rapuh? Mana mungkin?” “Batu yang sedang kita duduki tak lama lagi akan mencekung dan laut yang saat ini kita pandangi tak lama lagi akan surut. Mereka hanya percaya akan kekuatan dirinya, bahwa akan ada keabadian diatas kebaikan yang mereka lakukan untuk manusia. Karena sebenarnya apa yang mereka lakukan ialah hanya agar mereka dapat mencintai dirinya sendiri sebagai makhluk yang mati namun tetap berguna bagi makhluk hidup.” “Begitukah? Bagaimana dengan langit? Karena kamu sering memanggilku dengan sebutan itu, maka kamu juga harus berbagi denganku sebuah arti tentangnya.” “Heeh…” “Kenapa?” “Sudah kukatakan alasannya tadi di awal. Kamu sama saja ya ternyata seperti kebanyakan orang.” “Iya, karena aku bukan orang aneh sepertimu.” “Baiklah orang waras. Tidak ada yang tidak tahu langit. Namun bagi anak kecil, langit sama halnya dengan awan. Sangat jarang orang tua yang mau memberi tahu mereka perbedaan antara langit dan awan.” Aku diam mendengarkan namun dia kemudian berhenti dengan penjelasannya.
“Kenapa tiba-tiba berhenti?” “Sudah.” “Itu saja?” “Iya. Kenapa? Ada yang salah? Aah, tentang panggilan itu. Aku sudah bilang kalau aku hanya suka. Tidak boleh?” “Emm, tidak masalah. Lalu tali ini?” “Aku pernah membenci diriku karena suatu hal. Yang mana kejadian itu membuatku takut untuk kehilangan sesuatu yang berharga. Saat itu aku kehilangan semuanya, pun termasuk diriku sendiri. Aku tidak pernah tahu lagi namaku siapa. Karena yang terakhir kali aku ingat hanyalah laut dan batu ini. Hidupku begitu terombang-ambing. Satu yang aku syukuri waktu itu, yaitu aku yang dilahirkan sebagai seorang lelaki tangguh dan pemberani. Aku bekerja kepada orang-orang untuk menerima upah dari mereka lalu kemudian bertahan hidup seorang diri di tempat ini. Di saat tidak ada lagi yang bisa aku cintai, aku hanya bisa mencintai diriku sendiri. Ya, diriku yang sudah mau berjuang untuk kehidupan yang lebih baik dari waktu ke waktu.”
Aku begitu menyimak apa yang ia ceritakan kepadaku. Perlahan kuraih bahunya untuk bersandar di pundak mungilku, karena mungkin ini akan membuatnya lebih tenang. Tidak semua orang sadar bahwa pelajaran hidup akan lebih penting dari apa yang mereka tahu selama ini tentang selainnya. Menghitung, menggambar, menulis, kemudian membaca. Ini lebih dari itu semua. Cukup dengan menyimak, maka kamu akan mengerti bahwa hidup tidak sebercanda itu, lebih dari sekedar apa yang kamu bayangkan. Tidak semua orang mempunyai kemampuan ini, hanya orang-orang istimewa dengan pemikiran tinggi dan fantasi yang luas saja. Mereka menganalisa keadaan dengan cepat, kemudian merekamnya di otak lalu tersenyum perlahan kepada dunia setelah mengerti apa yang baru saja mereka dapat. Ya, itulah mereka. Mereka yang kebanyakan orang menyebutnya aneh.
“Apakah kamu berbicara dari tadi?” Aku tersentak dari lamunanku, bagaimana bisa aku lupa bahwa dia masih ada disini bersamaku? Tapi apa dia benar-benar mendengar apa yang aku ucapkan? “Emm, iya. Apakah kamu mendengarku?” “Tidak.” Jawabnya sebelum kemudian tersenyum hangat kepadaku. “Apakah tidak bisa jika kita berteman lebih dari sehari?” Tanyaku sembari mengelus puncak kepalanya. “Tidak bisa. Karena sebentar lagi aku akan pergi.” “Kenapa begitu?” “Kau tahu? Aku percaya satu hal. Bahwa kamu atau perempuan manapun yang hanya menjadi temanku dalam sehari, ia akan Tuhan pertemukan lagi denganku apabila dia memang takdirku.” Aku harap aku. “Dan aku harap itu bukan kamu.” “Ha? Kenapa begitu? Emm, maksudku apa kamu dengar sesuatu atau semacamnya?” “Hahahaha…… aku hanya menjawab sekenanya saja. Karena aku banyak mengamati sebuah momen, maka momen dimana kamu berharap dalam hati pun aku tahu. Sekali lagi, aku hanya menjawab sekenanya saja. Tapi jika itu benar…” Dia tak melanjutkan perkataannya, melainkan tertawa dengan keras hingga mengalahkan suara ombak yang menabrak karang. Tanpa aku sadari, aku juga ikut tertawa. Hahaha, tidak ada yang lebih indah dari hal kecil seperti ini dalam hidup.
“Tapi, aku serius.” “Iya, aku juga.” Seketika tawa di antara kita berubah menjadi buih waktu yang lalu begitu saja. “Maksudmu?” “Aku tidak yakin harus mengatakan ini.” “Akh, kenapa aku jadi bingung? Aku hanya ingin berteman lebih dari satu hari ini.” “Berteman? Yakin?” “Tentu.”
“Aku yakin kamu belum pernah mendengar cerita burung merpati. Pepatah mengatakan bahwa pasangan yang paling setia ialah pasangan burung merpati, ia tak kan pernah kawin lagi meskipun si betina sudah mati. Tahu kenapa?” Aku hanya menggeleng pelan. “Karena dahulu kala, burung merpati diciptakan sendiri sampai kemudian dia bosan lalu berkawan dengan seekor burung gagak. Setelah lama berkawan akhirnya si burung merpati mendapatkan seorang teman berkat kesabarannya, yakni merpati betina berwarna putih bersih dan mempunyai jambul halus di kepalanya, sangat cantik.”
Ia diam sebelum kemudian melihat ke arahku. “Kenapa? Ceritanya selesai?” “Hahahaha.. pintar.” “Hah? Kenapa hanya seperti itu? Kamu ngibul?” “Bukan ngibul Langit cantik, tapi aku hanya ingin melihat hasil belajar kamu sehari ini.” Aku menarik nafas panjang, meskipun begitu aku cukup senang dan itu cukup menghibur. Aku bahagia. “Bagaimana jika dalam waktu sehari ini kemudian aku mencintaimu?” “Tidak.” Jawabnya begitu cepat setelah apa yang aku ucapkan. Aku kaget.
“Hari sudah mulai petang. Ingat saja apa yang sudah kita pelajari hari ini!” Dia berlalu begitu saja, meninggalkanku yang masih terpaku disini. Harus secepat inikah? Aku ingin memanggil, tapi aku tidak tahu harus dengan sebutan apa aku memanggilnya. “Aku mencintainya dengan mudah.” Ucapku pada mentari yang mulai tenggelam untuk kembali ke peraduannya.
Dia Aku masih disini, di balik batu karang yang lain untuk melihatmu. Aku dapatkan ingatanku setelah bertahun-tahun aku tidak tahu apa-apa lagi tentang siapa diriku. Tapi di festival, aku melihatmu dan menemukanmu kembali, Langit. Tidakkah kau ingat dulu kita sering menghitung luasnya langit? Hahaha, bodoh memang. Tapi itu kita. Dan itupun dulu. Sekarang akan berbeda jika kau mengenaliku lagi, aku tidak yakin kamu akan menerima kenyataan yang ada. Kecelakaan itu. Apakah kamu ingat? Saat dimana kita tengah tertidur pulas lalu kapal yang kita tumpangi karam. Aku begitu kaget ketika bangun dan aku sudah sendiri di tengah kerumunan orang. Aku tidak lagi tahu siapa diriku sebenarnya dan dimana keluargaku. Dengan umurku waktu itu yang terbilang cukup muda untuk hidup sebatang kara, aku tersikasa. Mungkin aku akan lebih bersyukur jika aku mati saja pada saat itu. Pun sekarang, mengapa aku harus bertemu denganmu dalam keadaanmu yang mencintaiku. Kamu begitu amatir, sehingga kau sangat mudah mencinta. Aku minta maaf untuk pergi lagi setelah bertahun-tahun kita berpisah. Aku tidak bisa membalas cintamu Langit. Karena aku abangmu, Robi.
Cerpen Karangan: Haudhatin Adzimi Blog / Facebook: How Dhatin Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, namaku Haudhatin Adzimi, lahir pada tanggal 14 Februai 2001. Aktif dalam hal tulis menulis sejak kecil, dan baru aktif dalam mengikuti lomba dan bergabung dengan kelompok literasi sejak menduduki bangku perkuliahan. Beberapa karyaku sudah pernah lolos seleksi dan memenangkan lomba di beberapa events.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com