Gadis dengan rambut sebahu itu masih menunggu di depan halte seorang diri. Tak mempedulikan keadaan area fakultasnya yang mulai sepi. Tujuannya hanya satu, menunggu seseorang yang selama ini selalu menghantui pikirannya. Mengabaikan berapa banyaknya panggilan telepon dari sang papa yang masuk ke ponselnya. Berkali-kali, Ia melirik jam tangan yang melingkar. Menghitung lagi berapa lama dia telah menunggu. Dua puluh menit berlalu, dan tak ada tanda apapun tentang orang itu.
Putus asa, dia bahkan sudah beranjak berdiri dan bergegas memesan- “Lyra?” Panggilan itu sontak membuat jemarinya berhenti mengetik, menatap lurus pada sosok pemuda di atas motor yang menatapnya sayu. “Kamu beneran nungguin saya?” tanya orang itu seakan tak percaya. Dan anggukan polos dari adik tingkatnya, sudah mampu menjawab seluruh pertanyaan yang dia pendam.
“Yaa, Lyra kira Kak Altair gak akan lama. Jadi ya, Lyra tungguin aja. Ehh, ternyata sampai bikin Lyra ngantuk.” Curhat gadis itu sembari memajukan bibirnya. Dibenarkannya lagi posisi tasnya, segera memasukkan benda pipih kesayangannya ke dalam sana. “Tapi, rapat HIMA nya sudah selesai, kan, Kak?”
Mata bulatnya menyisir ke area gedung FISIP di belakangnya, tampak juga beberapa mahasiswa yang baru saja hendak bersiap untuk pulang. Memang sudah selesai, ternyata.
Altair, pemuda mempesona dengan senyum hangat tersebut mengangguk. Mencubit hidung kecil Lyra hingga membuat si empu mengaduh. “Iya, udah selesai semua. Kamu pulang sekarang, kan? Atau masih mau jalan-jalan cari makan dulu?” Ia menawarkan, sembari membantu anak itu memasang helm.
Yang ditanya langsung diam sejenak, memikirkan baik-baik tawaran Kahim-nya ini. Beberapa detik kemudian, senyuman lebar langsung menghiasi wajah cantiknya. “Cari makan!” serunya pelan. “Hehe, mau beli ketan duren dulu sekalian.” Cetusnya dengan cengiran riang.
“Ketan terus kamu, itu. Makin bulet nanti pipinya.” Seloroh Altair dengan tangan yang sudah mencubit pipi bulat Lyra. “Yaudah, yuk, naik. Makin malam kamu sampai rumah, makin panjang omelan Papa kamu buat saya.” Perintah Altair sambil menghidupkan lagi mesin motornya. Lyra mengangguk, segera menurut dan naik ke atas motor pemuda itu.
Sebelum Altair benar-benar menjalankan motornya, dia masih sempat mendengar adik tingkatnya itu bergumam pelan. Sederet kalimat yang mampu membuatnya terkekeh cukup lama. “Meski Lyra bantet, bulet, gendut pun, Kak Altair tetep suka tuh!”
Ya, Altair dan Lyra adalah sepasang kekasih yang menjalin hubungan cukup lama. Mungkin lebih dari setahun lalu? Pertemuan mereka sedikit lucu, Altair yang kala itu menjadi panitia OSPEK, menemukan Lyra yang terjatuh di atas genangan bekas banjir yang cukup besar. Membuat pakaian gadis itu basah kuyup hingga Altair menawarkan almamaternya untuk dia pakai. Mereka mulai dekat, saling bertukar cerita, memiliki banyak kesamaan pula. Hingga di sore itu, di halte fakultas mereka, Altair menyatakan perasaannya. Membuat pikiran gadis itu kosong seketika.
Banyak orang yang iri dengan hubungan mereka. Altair yang dewasa dan tenang, serta Lyra yang ceria dan supel. Perpaduan yang sangat sempurna, bukan? Saling melengkapi, saling memahami. Semua orang berharap, sepasang kekasih itu akan terus bersama selamanya. Hal itu juga yang diharapkan dan selalu Lyra doakan. Bahwa semesta juga turut mendukung dan mempersatukan mereka.
Tapi mungkin, kali ini takdir sedang gemar mempermainkannya. Deringan telepon yang dia terima dua minggu kemudian seakan menjadi tanda bahwa apa yang Ia harapkan terlalu tinggi. Malam itu, Ibu Altair meneleponnya. Mengucapkan serentet kalimat yang berhasil membuat gadis itu tertampar keras.
“Saya mohon, Nak Lyra. Lepaskan anak ibu…” Suara itu menggema di gendang telinganya. Senyum gadis itu langsung luntur, seluruh isi kepalanya menguap begitu saja. “Altair sudah dijodohkan dengan anak bos Ayahnya, dan tak mungkin juga kami menolak. Dia adalah gadis yang baik, orangtuanya juga terpandang. Dan kami, kedua belah pihak juga sepakat akan melangsungkan pernikahan mereka tepat setelah Altair lulus.” Ucapan wanita paruh baya itu masih terus mengalir, semakin menebas hati Lyra yang mulai rapuh dan patah.
Gadis itu tak sanggup lagi mendengarnya, Ia langsung mematikan sambungan telepon tanpa meninggalkan sepatah kata-pun. Persetan dengan sopan santun, hatinya terlalu hancur untuk diajak bekerja sama. Mengapa Tuhan tak sudi melihatnya bahagia? Apakah doa yang selama ini dia panjatkan siang dan malam tidaklah cukup? Apakah perbuatan baiknya selama ini kurang hingga takdir sekejam ini menulis kisah hidupnya?
Air matanya terus meleleh hingga pagi. Panggilan sang kekasih yang masuk ke ponselnya pun tak dia gubris. Dia merasa marah pada semua orang, marah pada Tuhan, pada Altair, pada siapapun. Gadis itu tak seceria dulu, rutinitasnya hanya pergi ke kampus lalu pulang. Tak ingin menemui Altair, tak mau melihat wajah pemuda itu.
Lyra tak munafik, dia sangat rindu senyum hangat yang selalu Altair berikan padanya, dia juga rindu momen manis mereka yang suka jalan-jalan untuk mencari kuliner. Hanya saja, jika memang ibu Altair benar-benar menginginkan mereka berakhir, maka dia yang harus memulai langkah duluan. Mana mungkin dia ikhlas. Sama sekali tidak. Dia juga tahu, Altair sama tersiksanya.
Beberapa kali, dia tak sengaja melihat sosok itu berjalan keluar kelas. Semakin kurus, penampilannya tak terurus, bahkan senyum kecil yang selalu Altair lontarkan ke orang-orang pun tak lagi hadir. Tuhan, jahatkah Ia? Tapi mau bagaimana lagi? Ini yang terbaik untuk kating kesayangannya itu.
Lyra terdiam. Siapa dia yang bisa memutuskan bahwa ini adalah yang terbaik untuk mereka berdua? Bukankah ini semakin memperburuk keadaan? Ah, lagi-lagi dia salah. Lyra memang marah, namun tak seharusnya dia memperparah situasi. Pikirannya mengambang kemana-mana. Tentang dia, tentang Altair, tentang mereka, dan tentang perjodohan yang menurut Lyra konyol itu. Semua…
Tentang mengapa semesta yang tak lagi mendukung kisahnya, tentang takdir yang membuatnya sengsara, dan tentang Tuhan, yang begitu tega menulis kisahnya sedemikian rupa.
Bundanya pernah berkata, “Cara Tuhan untuk membuat manusia bahagia itu bermacam-macam. Bisa jadi, Tuhan membuat mereka menjadi manusia yang paling menyedihkan di muka bumi, sebelum memberinya kebahagiaan yang tak terkira.”
Mata gadis itu mulai buram, apa mungkin keputusan yang terlintas di otaknya adalah jalan terbaik? Ia menyalakan ponselnya, mengetikkan pesan pada orang itu. Menyiapkan hatinya, untuk segala kemungkinan yang terjadi nanti. Tentang masa depan kisah mereka.
Lyra menghela napas, menutup mata sambil merasakan tiupan angin yang memainkan rambutnya. Dia sudah duduk di halte ini sekitar 5 menit lalu. Halte yang menjadi saksi bisu seluruh kisahnya dengan pemuda pemilik senyum hangat itu. Altair pertama kali menyatakan perasaannya di sini, di tempat ini pula banyak kejadian konyol dan mengharukan yang tak mungkin bisa Lyra lupakan. Di sini mereka pernah bertengkar, saling mendiamkan, lalu kembali berbaikan. Apa jadinya nanti jika mereka benar-benar berakhir?
“Udah, main kucing-kucingannya?” Suara datar dan dingin itu membuat Lyra terlonjak kaget. Dia menoleh, menatap Altair yang juga balas melihatnya dengan pandangan abstrak. Kecewa, marah, kesal, cemas, ada banyak emosi yang bisa dia lihat dari tatapan tajam itu.
Lyra menarik napas dalam, tersenyum begitu lembut. “Kak Altair, ayo putus!” Ajak gadis itu tegas. Terlihat tanpa beban, namun tak ada yang tau betapa hatinya remuk kala kata-kata itu terucap.
Altair terdiam, mencoba mencerna kembali kalimat yang baru dia terima. Pemuda itu tertawa sarkas, tersenyum miring pada kekasih mungilnya itu. “Lucu kamu, Lyra. Kamu meminta saya kesini hanya untuk mengajak putus?” Tanyanya ironis. “Kenapa? Kamu sudah bosan sama saya?”
Pertanyaan itu seketika mencelos hatinya. Bagaimana mungkin Ia berpikiran begitu? Semarah itukah Altair kepadanya? Andai Altair tahu, berpisah dengannya adalah mimpi buruk yang paling dia takuti. “Lyra… udah tau semuanya. Tentang perjodohan Kakak sama anak bos-nya Ayah Kakak. Ibu yang ngasih tau Lyra sebulan lalu.”
Pemuda itu mematung, tak berbicara apapun. Kenapa selama ini dia tak tahu kalau ibunya telah mengatakan hal bodoh itu pada kesayangannya jauh-jauh hari? Kenapa bisa dia tak pernah peka tentang perubahan sikap Lyra yang tiba-tiba menjauh?
Altair memejamkan mata, menarik napas dalam. “Kamu nggak usah dengerin apa kata Ibu. Saya yang akan cari cara supaya perjodohan itu nggak terjadi. Jadi, nggak ada yang perlu kamu-“
Gelengan halus itu membuat kalimat Altair menguap begitu saja. “Ikuti perintah orangtua kakak. Jangan jadi pembangkang cuman karena Lyra…” Lirihnya pelan. Gadis itu masih terus memaksakan senyumnya, walau linangan air mata mulai keluar melewati pipi. “Karena bintang Altair, harus berjodoh dengan bintang Vega. Bukan rasi Lyra.” Sambungnya dengan tenggorokan yang tercekat.
Altair menggeleng, mengusap benda bening yang semakin deras keluar dari wajah Lyra. “Tidak, jangan… saya begitu mencintai kamu…” Tutur pemuda itu parau. “Kita nggak boleh kalah di sini, sayang. Semesta cuman mau menguji kita, melihat seberapa kuat kita bertahan…”
Lagi-lagi gelengan itu. Lyra menggenggam tangan kokoh Altair yang menangkup pipinya. “Kita nggak akan kalah, Kak. Angkasa tahu betapa kita saling mencintai. Dan selamanya akan terus begitu…” Isaknya pelan. “Hanya saja, kisah kita memang terpaksa berhenti di sini. Kakak nggak mungkin durhaka sama Ibu dan Ayah hanya karena cewek biasa kayak Lyra ini, kan, Kak?”
“Altair yang begitu terang, begitu mempesona, tentu harus berjodoh dengan Vega yang juga sama terangnya. Vega memang berada di dalam rasi Lyra, tapi Lyra dan Vega bukanlah hal yang sama.” Lyra menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat. Ia kemudian mendongak, menatap orang yang dia cintai nanar. “Janji ya, Kak, janji sama Lyra kalau kakak akan terus bahagia. Dengan siapapun nanti kakak akan bersanding, Lyra harap gadis itu akan selalu membuat Kakak tersenyum dan tertawa…”
Pemuda itu mulai terisak pelan, menarik Lyra ke dalam dekapan nya. “Maaf, maaf karena saya belum bisa mempertahankan kamu. Tapi nanti, jika kehidupan kedua itu ada, saya akan meminta pada Tuhan untuk membuat saya terlahir sebagai Orpheus, bukan Altair. Agar takdir saya bisa segaris dengan kamu…” Bisiknya dengan suara bergetar.
Lyra mengangguk, mengelus bahu lebar Altair. Mendekatkan bibirnya ke telinga sosok itu. Membisikkan kalimat yang menjadi tanda perpisahan mereka. “Selamat tinggal, ya, ganteng. Sampai jumpa lagi di titik terbaik menurut takdir…”