Lelaki tinggi berjenggot belukar dengan pakaian tak utuh muncul dari dalam selokan. Napas putus-putus, pakaian koyak, dan tubuh belepotan lumpur telah cukup terang menandaskan Lelaki itu telah peyok. Loye tak tahu tempat apa ini. Seingat lelaki itu, hantu seorang wanita membimbingnya ke sini melalui lorong gelap yang begitu panjang. Terlalu lama Loye berjalan sampai-sampai janggutnya ditumbuhi brewok. Loye nyaris mati kedinginan, jika hantu wanita berwajah cahaya itu tak muncul dan melepas ikatan lengannya.
Lelaki itu kini berada di kolong suatu fly over. Melihat berbagai semburan gas air mata dan teriakan demonstran di sekitar, ia yakin tak berada di negara asalnya. Rakyat di negaranya memilii cara lebih efektif untuk menyampaikan suara. Lelaki itu teringat—walau sebagian ingatan terasa kabur—ada bercak merah di lengan kiri bajunya. Loye harus menghapusnya segera sebelum polisi melihat.
—
Malam itu turun salju. Di salah satu sudut kafe Fjellheisen, Loye mematung sendirian. Memandangi langit dan serpihan salju yang berjatuhan. Ada yang melompong di hatinya. Sesuatu telah hilang dari sana. Dan ketika Loye sadar, itu adalah Lind, pacarnya. Wanita cantik yang tak pernah memakai bra itu tertangkap basah tidur dengan lelaki lain.
Loye sebenarnya telah menduga hal ini akan terjadi. Menurutnya, sikap baik Lind pada setiap lelaki sangat rentan memancing perselingkuhan. Karena itu, Loye memutuskan membuang Lind dari hatinya. Seperti para koruptor, wanita jalang itu memang sepantasnya dihilangkan dari muka bumi.
Malam-malam beku dengan hati melompong itu terus merepetisi diri di dalam diri Loye. Di sisi lain, jiwa Loye semakin kerontang lantaran hasrat melukisnya—padahal selama ini diilhami kecantikan Lind—tak tersalurkan. Sampai pada suatu malam yang cerah. Kala Aurora Borealis tengah menusuk-nusuk puncak Stor¬stei¬nen, Loye melihat Arsina untuk pertama kali.
Kenyataannya, pertemuan singkat di waktu yang digariskan telah cukup menjadi objek bagi Loye untuk menyalurkan hasrat. Lukisan beraliran post-impresionisme tercipta. Dengan lukisan yang ia beri judul “A Woman under The Northern Light.” Loye seakan membangkitkan kembali Vincent Van Gogh dari liang lahat.
Pertemuan sesungguhnya dengan Arsina berlangsung di sebuah Pameran di Tromso—kota kecil di bagian utara Norwegia. Wanita berambut hitam bergelombang itu tengah memandu wisatawan Asia dan melihat sebuah lukisan mempercantik diri di ruang utama. Arsina terjerat keindahan lukisan itu dan, Loye, tentu saja memanfaatkan kesempatan langka tersebut untuk mendekatinya. Perkenalan mereka menjadi lembaran bagi takdir untuk mewujudkan skenario bahwa mereka kelak akan berjodoh.
Sebenarnya, Arsina sudah memperingatkan Loye, bahwa ia adalah wanita pelarian dari negara asalnya. Kepada Loye, Arsina mengaku tak mempunyai identitas. Atau mungkin memiliki tetapi ia selalu berkelit ketika Loye menanyakan. Wanita itu juga mengaku telah dicap sebagai ekstrimis yang mengancam pemerintahan.
“Kebebasanku ini semu, Loye. Cepat atau lambat orang-orang itu akan menemukanku,” katanya dengan suara parau. “Tak masalah. Aku akan senang memanfaatkan kesemuanmu untuk mengabadikan kebahagiaanku…” Wajahnya redup kala itu. Maka, Loye berusaha menghangatkan, “Lagi pula, apa yang kau lakukan itu benar, Arsina.” Arsina teringat seluruh cerita yang ia jejalkan ke kepala Loye. Sindiran pada pemerintahan korup. Kritik atas gaji buruh yang rendah. Gerakan masa menolak pasal-pasal karet. Semua itu ia rancang dari balik layar. Arsina adalah bayangan hitam paling dicari di negaranya.
Arsina mulai menatap mata biru Loye lebih dalam. Bagi Arsina, ia seperti melihat laut yang menenangkan. Dan saat itu, ia benar-benar merindukan lautan. Terutama Pantai Selatan yang penuh gelombang.
“Tugas mahasiswa tak hanya absen di ruang kelas…” Arsina ingin tertawa begitu Loye menyebut ‘mahasiswa’ “Mereka harus aktif dan kritis. Kau adalah otak dari mahasiswa di negaramu, bukan? Bahkan aku lebih menyukaimu dari pemerintah bobrok seperti mereka.” Bibir Loye manyun. Arsina tertawa melihatnya. Lalu ketika kekhawatirannya telah benar-benar muspra, Arsina membiarkan Loye melingkarkan sebuah cincin di jemarinya.
Beberapa minggu kemudian Arsina telah cukup paripurna menjadi sumber ilham bagi Loye untuk melukis. Jauh lebih baik ketimbang Lind. Ketika kehabisan ide, Loye akan meminta Arsina untuk bercerita tentang apa saja. Saat Arsina bercerita, Loye akan membuat sketsa dalam kepalanya dan ketika telah cukup detail, ia akan mulai melukis.
Menurut Loye, Arsina adalah pendongeng ulung. Ketika bercerita, ia mampu menghadirkan lakon ke depan mata pendengar. Ada banyak cerita yang telah Loye dengar. Lelaki itu yakin, tidak semua cerita itu asli, tetapi ia tak mempermasalahkan, toh yang terpenting, Loye mendapat inspirasi untuk melukis. Satu cerita yang paling ia ingat adalah cerita tentang arwah seorang pekerja pabrik. Begini ceritanya:
Seorang wanita termangu di beranda, matanya jelak memandangi rembulan. Ia bukan wanita biasa. Ia tipe wanita yang suka membaca ayat-ayat dan persitiwa. Meski miskin, wanita itu berhasil menjawab keraguan rakyat atas hak kenaikan upah para pekerja yang selama ini selalu disunat kaum borjuis.
Satu hari di bulan Mei, si wanita berhasil memimpin pergerakan para pekerja pabrik menuntut kesejahteraan. Media berhasil menyorot dan menyebarkan aksi mereka ke seluruh dunia. Pihak pabrik akhirnya terpaksa mengabulkan tuntutan mereka.
Cahaya bulan keperakan di awal cerita berganti warna darah. Di beranda yang sama wanita itu harus merelakan dirinya digagahi manusia-manusia berjiwa anjing. Pihak pabrik yang dirugikan mengirim lima anjing bayaran ke rumahnya. Wanita itu disiksa dan diperk*sa hingga tewas. Jasadnya baru ditemukan empat hari kemudian di desa Nganjuk, Jawa Timur.
Satu hal yang tak semua orang tahu. Jasad pahlawan itu memang telah menjadi tanah. Tetapi jiwa perjuangannya tetap hidup. Terbang dan hinggap pada setiap wanita dari masa ke masa. Kira-kira, siapa yang dirasuki jiwa itu sekarang?
Arsina mengakhiri cerita dengan sebuah pertanyaan.
Dalam waktu dua jam lukisan suaminya rampung. Di awal Mei, lima hari usai lukisan itu dipamerkan, pintu rumah mereka didobrak sekelompok orang. Tubuh Arsina tersentak begitu pula Loye. Di luar hujan begitu lebat. Desau angin dan kilat silih berganti menakut-nakuti. Seharusnya tak ada tamu di saat seperti ini. Loye merasa ada yang ganjil ketika tiba-tiba listrik rumahnya padam, sementara lampu di rumah tetangga tetap nyala.
Terdengar dobrakan pintu kedua disertai derap langkah tergesa. Di dalam gelap, di antara sambaran petir, beberapa bayangan menghambur masuk. Arsina berteriak ketakutan. “Loye!” suara Arsina terhalang sesuatu. Tubuhnya terasa dicengkram bayangan hitam. “Arsina… Arsina!” Loye mencoba meraih apa pun. Berharap itu adalah lengan, kaki, rambut atau paling tidak sehelai pakaian istrinya. Tetapi tangan Loye tak mendapat apa pun selain udara kosong. “Apa yang kalian lakukan?!” “Lepaskan Arsina, atau kubunuh kalian!” Orang-orang itu tetap bungkam meski Loye telah mengancam dengan ancaman seorang cenayang di hadapan altar.
Sebuah benda tumpul dan beberapa bogem mentah lebih dulu mendarat di tengkuk dan wajah Loye. Lelaki itu tak sadarkan diri. Sesaat sebelum kesadarannya benar-benar sirna, ia sempat menyisakan sedikit tekad, seperti mantra yang akan aktif usai kesadarannya kembali, untuk membunuh orang-orang itu lalu mengungkap siapa Arsina sebenarnya.
—
Loye terjaga. Sepertinya ia telah tertidur sampai larut. Tubuh kurus, berambut kumal dengan pakaian robek itu bangkit. Dengan kedua tangan berupaya menghalau dingin di tubuh bagian atasnya, lelaki bermata biru itu berjalan ke utara, ke arah pijar cahaya yang berbanjar sepanjang trotoar. Barangkali Arsina ada di ujung cahaya itu, pikirnya.
Loye sempat menghentikan langkah ketika melihat sebuah selebaran terbawa angin dan jatuh di depannya. Mungkin, kerumunan demonstran sore tadi meninggalkannya. Ada gambar seorang wanita diblur bagian matanya. Di bawah gambar itu tertulis, 28 tahun dibunuhnya Marsinah. Dari bentuk dan lekuk tubuhnya, Loye tak merasa asing dengan wanita ini.
Tetapi Loye cepat meremas selebaran itu sambil mengumpat lalu melemparkannya ke tanah. Tak mungkin itu Arsina, pikirnya Istrinya tak punya huruf M dan H pada namanya. Loye kini dapat menyimpulkan: menemukan bedebah-bedebah itu berarti juga menemukan Arsina. Dan Loye tak akan berhenti sebelum dendamnya terbalaskan. Sampai kapan pun.
Klaten, November 2021
Cerpen Karangan: Adnan Jadi Al-Islam Blog / Facebook: Adnan Jee Adnan Jadi Al-Islam, lelaki galau yang pernah menjuarai lomba cipta cerpen di kampus beberapa tahun silam. Penyuka gudek dan sambel welut. Beberapa antologi yang sempat ia cemari: Membaca Rindu Sang Penyair (2019), Break Your Limit (2019), Esok; Bertahan Atau Tergantikan (2020), Cahaya di Balik Atap Kusam (2021). Tulisannya tersebar di beberapa media cetak dan daring. Saat ini mukim di Klaten. Sapa aja, siapa tahu jodoh: IG @adn_21
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com