Pagi itu, saat rintik hujan yang samar-samar jatuh ke tanah, manusia dengan senyum manis itu kembali datang ke sebuah rumah yang sudah lama ia tak kunjungi. kembali, dengan wajah murung yang sangat kentara di wajahnya. aroma tanah yang bercampur rintik hujan itu kuhirup, seraya menatapnya dengan tatapan sendu sambil menyumpulkan senyum.
“Kemana saja?” tanyaku, memandang lurus ke arahnya yang baru saja menginjakan kaki di rumah ini lagi. “Lelah ta, ga ada yang seperti kamu lagi di dunia ini. saya sudah mencari sampai ke ujung dunia dimana rumah saya sebenarnya.” tuturnya, kemudian mendekat ke arahku hingga kami saling berhadapan satu sama lain.
Dia masih sama, tetap saja manusia yang masih dicinta. garis wajahnya, rambutnya, dan kedua netra yang menatap seolah penuh luka itu kini masih tetap menjadi objek yang tepat untuk melihat fakta bahagia dan sedihnya.
“Duduk dulu, aku mau ambil kopi buat kamu.” Bukannya menuruti perkataanku, dia hanya diam dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. “mengapa kopi?” tanyanya Pertanyaan yang mengada-ngada itu membuatku sedikit tertawa ketika mendengarnya. seharusnya dia sudah paham akan hal itu, lalu apakah dia sudah melupakan sebuah fakta akan sebuah arti dari kata Aksa (jauh).
“Lalu kamu maunya apa?” tanyaku yang hanya sekedar memasitkan apa kemauannya itu, setelah sekian lama tidak pernah kembali ke rumah yang sudah lusuh dan rapuh ini. “Saya mau hati kamu untuk saya lagi. saya berkelana dan pergi dari rumah ini untuk mencari, dimana sebenarnya letak rumah yang sangat tepat saya singgahi.”
Dia berhenti sejenak, menatapku dengan netra yang menitihkan air mata. dia sedang larut dalam sedihnya sedangkan aku, hanya tersenyum menutupi bekas sayatan luka yang ia torehkan.
“Saya cari sampai ujung dunia. namun langkah kaki ini, tetap ingin kembali pada rumah yang memberikan saya kebahagiaan, kesejukan, dan arti dari sebuah rasa yang indah. Cinta..”
Mataku terpejam, merasakan setiap isak tangisnya sangat menusuk dalam hati, apa lagi dengan suara tadi yang keluar dari mulut semanis gula itu. aku lantas tersenyum, seraya berkata. “setelah kamu pergi, rumah ini sudah tidak indah lagi. sudah rapuh, usang, kotor dan terlihat sangat menyedihkan. aku berusaha sendiri untuk membenahinya lagi dengan tawa, bahagia, juga cinta yang lainnya. nyatanya tidak ada perubahan, karena itu hanya sebuah kepalsuan. lalu, aku tidak yakin jika kamu akan kembali lagi, dan aku kemudian menguncinya dengan rapat sehingga tidak ada lagi yang bisa mengisi ruangnya. karena kini aku sudah mati rasa.”
Bohong jika aku tidak ingin menangis meraung dengan kenyataan yang ada saat ini. bahwa dia kembali dengan keinginan yang belum aku pahami saat ini. saat ini rumah itu sudah terkunci rapat, apakah harus aku membukanya lagi untuknya dan memberikan tempat singgah itu lagi?
“Saya juga sama halnya dengan kamu. semuanya sudah saya coba untuk tempati, mencari bahagia yang belum saya temui sama sekali. nyatanya, tidak ada bahagia dan tawa layakanya rumah yang kita bangun bersama kala itu.” ujarnya dengan lirih.
“Lalu kamu mau apa?” tanyaku. hingga dia menggenggam tanganku secara tiba-tiba sambil mengelus lembut dengan jemari-jemarinya. “Saya mau singgah dengan sungguh, bukan hanya main-main tapi karena saya ingin. itu saja, tolong kali ini bersedia, karena saya benar-benar jatuh cinta.”
Apakah kalimat itu hanya sebuah rayu yang seharusnya sudah terkubur sudah dari dulu? atau memang serius yang sebenarnya. aku, menatap matanya dengan lekat dan akhirnya menemukan sebuah arti jawaban dari tatapannya.
“Kali ini aku berikan sebuah kesempatan yang seharusnya aku buang dari dulu. juga akupun sudah letih mencari kesana dan kesini dengan seseorang yang tak pasti. rumah ini, adalah kita. sekarang mungkin terlihat rapuh, lalu apa dengan kita bersama maka akan kembali seperti dulu?”
Dia tersenyum dengan binar bahagia yang terpatri di wajahnya, “saya berjanji, dengan seluruh alam semesta dan juga rintik hujan saat ini. kalau saya, sudah menjadikan kamu rumah yang sebenarnya saya tempati. bukan lagi untuk singgah, melainkan sungguh.”
Kemudian selanjutnya, hanya keheninggan antara kita berdua. dengan aku yang berada di dekapannya setelah sekian lama tidak lagi merasakan lagi hangatnya, wangi tubuhnya juga usapan lembut dari tangannya.
“Jangan pernah pergi untuk yang kedua kali. jangan pernah sekali-kali menyakiti, juga jangan pernah meninggalkanku sendiri di sini. janji, jika kamu akan bersama denganku bukan hanya hari ini.” lirihku. “Saya berjanji untuk kamu. karena kamu adalah tempat saya untuk kembali pulang. karena saya cinta kamu Ameta.”
Pagi itu, dimana aku dan dia, seseorang yang sudah jauh seperti yang semestinya. kini kembali saling mendekap satu sama lain. mengikat janji yang selama ini masih belum rampung. sudah aku katakan, bahwa kemanapun dia melangkah kakinya untuk meninggalakan, esok dia akan kembali jika tuhan sudah menakdirkan.
Selamat datang kisah yang lalu, kini kita memulainya kembali dengan rasa yang sama seperti dulu. biarkan masa lalu itu datang sebagai pelajaran hidup, bahwa Cinta tidak selamanya tentang bahagia dan kesempatan kali ini biarlah menjadi bukti, bahwa manusia bisa memperbaiki kesalahannya.pergi menoreh luka dan datang kembali membawa penyesalan. kadang Cinta sebodoh itu.
Cerpen Karangan: Amelia Putri Tyfani Blog / Facebook: Amel
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com