Hujan sudah turun kira-kira dua jam yang lalu. Suasana di kampusku sudah sepi, para mahasiswa yang lain sudah pada pulang sebelum hujan turun. Aku masih duduk di kantin, baru saja mengisi perutku dengan makan cilok, dan tidak tahu akan turun hujan. Suara hujan yang lebat membuatku rindu dengan suasana ini setelah merasakan musim kemarau yang lumayan panjang. Bukan berarti aku merasa aman-aman saja di sini, aku harus pulang segera khawatir ibuku terus memikirkanku.
Langit sore ini sudah semakin gelap dan ketika aku melihat jam di hp sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam. Aku menghembuskan nafas, memperhatikan mahasiswa yang lain menerobos hujan, dengan gemuruh petir yang terus berbunyi. Kali ini hujannya tidak sederas sebelumnya. Tapi masih dapat membasah kuyup kan pakaian jika seseorang berada dibawahnya. Aku masih sabar menunggu di bangku kantin yang dekat dengan pintu keluar kampus.
“Clara masih tunggu hujan berhenti?” tanya ibu penjual cilok kantin yang mengejutkanku. “Iya, Bu.” Jawabku simpel sambil tersenyum. “kenapa nggak lewat pinggir-pinggir aja ke halte di depan? Hujannya juga udah gak deras banget kok ini.” kata ibu penjual cilok sambil memberikan saran. “Hmm.. ohh iya, ya. Ya sudah Bu, terima kasih, ya.” Balas ku.
Sebenarnya memang bisa saja aku lewat pinggir-pinggir bangunan kampus seperti apa yang disampaikan ibu penjual cilok itu. Tapi aku melihat lantai ubin yang terkena air hujan itu membuatku khawatir jika lantai ubin menjadi sangat licin dan mudah membuatku terpeleset jika aku berjalan melewatinya.
Aku berjalan melewati pinggir-pinggir gedung kampus dengan langkah hati-hati. Melindungi diriku dari tempias air hujan dengan tas selempangku. Terus jalan dan akhirnya aku sampai di halte dengan selamat.
Halte ini cukup luas. Ada tiga orang yang sedang menunggu bus kota datang sama sepertiku. Entah mengapa pandanganku tiba-tiba teralih kepada satu orang pria diantara tiga orang yang ada di sini. Dia sedang duduk di ujung tempat duduk halte, memandang jalanan dan hujan yang belum berhenti. Matanya gelap di bawah lampu halte yang menyala remang-remang. Wajahnya tirus dan putih pucat namun terlihat menawan. Rambutnya lumayan panjang dengan model membelah dua di tengah.
Aku mengalihkan pandangan kepadanya bukan berarti melihat apa yang dia miliki, namun aku mengenalnya. Dia adalah pria yang selalu aku jadikan guru matematika dan dia juga selalu mengajakku bermain congklak dan beberapa kali juga mengajakku jalan-jalan ke mall bahkan pernah ke Ancol. Ya, dia adalah temanku saat aku masih kelas empat SD sampai dua SMP dan dia sudah seperti abangku sendiri pada saat itu. Umur dia lima tahun lebih tua dari aku.
Umurku sudah dua puluh lima tahun. Aku berpisah dengannya sejak aku berumur empat belas tahun. Kini dia sedang ada berada di depan mataku. Aku tidak tahu apakah dia masih mengenal wajahku, tapi aku yakin dia masih mengenalku. Aku terus melirik ke arahnya, benar-benar rindu dengannya, bahkan entah mengapa saat terakhir aku bertemu dengannya ada perasaan lain yang datang, terutama jika dia tersenyum kepadaku, dan mungkin perasaan itu masih ada sampai sekarang. Aku ingin sekali menyapanya, tapi ada rasa canggung yang menyelimuti hatiku.
Bus kota datang, aku langsung naik dengan hati-hati. Mencari tempat duduk kosong, dan aku pun duduk di kursi paling pojok. Aku tidak tahu apakah dia melihatku tadi saat di halte atau tidak, yang pasti jika… Kernet bus mulai mendatangi penumpang satu persatu, meminta uang tarif naik bus. Aku merogoh kantong, mengambil uang seratus perak. Saat kernet bus sudah mendekati tempat dudukku, dia malah melewatiku, seakan-seakan aku tidak ada di sini.
Aku menoleh dan mengangkat kepala sedikit berdiri mengarah ke tukang kernet bus.
“Bang, bang! Kenapa aku dilewati? Emang abang gak mau duit?” Aku bertanya kepadanya dengan ketus. “Ehh, iya, Neng. Eneng gak usah bayar, udah ada yang bayarin kok.” Jawab tukang kernet bus. “Hah?” “Iya neng, kan abang udah bilang.” Aku kembali duduk. Siapa yang bayarin aku? Tanyaku dalam hati.
Kemudian tukang kernet bus melewati tempat dudukku lagi dan bilang kepadaku. “Neng penasaran ya siapa yang bayarin?” “Hmm.. memang yang mana orangnya?” “Hehe, dia duduk di bangku pertama, paling depan. Orangnya cowok. Kayaknya neng seumuran deh sama dia.” Jawab tukang kernet bus dan kemudian meningalkanku.
Aku penasaran. Aku bangun dan beridiri sedikit dari tempat duduk, melihat ke bangku paling depan. Di sana memang hanya ada satu seorang pria, selebihnya ibu-ibu. Aku terus melihat pria itu, menebak-nebak siapa dia. Jika dilihat, rambutnya lemas dan lurus, dan membelah di bagian tengah kepalanya. Apakah dia pria yang aku rindukan yang ada di halte? Aku rasa benar, dia juga naik bus ini. Mungkin karena aku naik duluan, jadi aku tidak melihat dia naik. Aku tersenyum melihatnya, ternyata dia benar-benar masih mengenalku.
Di saat aku melihatnya, tiba-tiba dia menoleh ke belakang. Aku langsung terkejut dan kembali duduk. Apa yang aku lakukan? Mengapa aku malah bersembunyi? Seharusnya aku terus melihatnya dan bertatap muka dengannya, kalau bisa langsung menghampirinya. Aku terus memikirkan hal itu, masalahnya, jika memang benar dia melihatku lalu aku berpaling darinya, aku takut dianggap sombong dan sudah melupakannya. Tapi aku harap dia tidak melihatku dan kalaupun dia melihat, aku harap dia tidak menganggapku yang bukan-bukan.
Jarak antara rumahku dengan kampus adalah dua setengah kilometer. Sekarang jalan sedang macet. Sekarang bus sudah mendekati daerah tempat tinggalku. Aku bangun sendiri setelah tertidur di saat aku menggigit jari telunjuk tangan kananku memikirkan hal-hal yang dari tadi aku pikirkan. Ohh iya. Aku langsung teringat. Aku melihat ke bangku paling depan lagi, dan ternyata dia sudah tidak ada di sana. Aku menyesal, mengapa aku tidak menghampirinya, mengapa hanya karena gugup aku jadi tidak bisa bertemu lagi dengan seorang yang aku sangat rindukan bahkan juga aku cinta.
Bus akhirnya sampai di daerah tempat tinggalku. Hujan yang tadi sudah berhenti turun, langit sudah benar-benar gelap. Aku turun lewat pintu depan. Ketika aku sudah turun, tiba-tiba ada seorang pria yang menghentikanku, kemudian bertanya alamat. Aku rasa dia memang sedang tersesat. Maka aku beritahu alamat yang dia ingin tuju. Aku sama sekali tidak ingin ada rasa curiga terhadap pria ini.
Ketika aku sedang membantu, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dengan kencang, yang mengagetkanku. Aku pun langsung menoleh, dan saat itu juga aku melihat orang yang menepuk pundakku malah menganga dan telihat bingung. Aku pun malah tambah bingung dengannya. Tak lama kemudian orang yang bertanya alamat tadi langsung mengambil tas selempangku dengan lihai. Ternyata mereka adalah copet, dan orang yang menepuk pundakku tadi berusaha ingin menghilangkan konsentrasiku.
Cerpen Karangan: M Ramdhani Ilham Blog / Facebook: Muhammad Ramdhani Ilham
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com