Hari ini, Luna memiliki sebuah janji yang dibuat bersama oleh kekasih—Atlas kerap Luna menyapanya. Niatnya, Atlas hendak menemui perempuan itu. Sekarang adalah waktunya.
Luna menjalani rutinitasnya seperti biasa. Dengan bersiap diri dan memantapkan hati bahwa hari itu akan menjadi hari yang baik untuk Luna, karena Atlas meminta Luna untuk menemuinya. Entahlah, Luna berpikir seakan-akan hari ini adalah hari terakhir bertemu dengan Atlas. Angan Luna sangat gundah. Seperti halnya, hati ini ada yang mengganjal.
Atlas ialah kekasih Luna yang sudah menjalani hubungannya selama 1 tahun. Atlas sosok lelaki yang Luna sukai di bangku SMA. Lelaki yang Luna kagumi dalam cara menulis dan keseriusannya saat membaca buku. Atlas Bhagawanta Egbert, jelas tercetak khas namanya seperti ada campuran turunan bangsa Eropa. Dengan rambutnya hitam sedikit pirang, dan matanya memiliki warna cokelat. Luna tertarik pada saat bertemu di perpustakaan, tetapi waktu itu Atlas dan Luna tak saling mengenal.
Luna masih ingat pertama kali menemui Atlas waktu itu, Atlas mendekati bangku Luna dan menanyakan buku apa yang sedang dibaca. Katanya, buku itu adalah buku yang dicari-cari oleh Atlas. Spontan Luna langsung meminjamkan kepada Atlas, untungnya Luna sudah membaca buku itu sampai habis. Sejak itu mereka menjadi saling dekat dan membicarakan tentang buku bahkan musik selera mereka berdua. Atlas menjadi teman membaca Luna saat di perpustakaan.
Hari-hari pun berlalu, Luna semakin sering menemui dan menghabiskan waktu dengan Atlas. Entah itu membaca buku di perpustakaan, atau bermain ke alun-alun untuk melihat bianglala, juga membeli arumanis. Tak lama pun Luna dan Atlas saling menyukai. Atlas mengungkapkan perasaannya jika menyukai gadis itu, dan Atlas meminta Luna untuk menjadi kekasihnya.
Memang sesederhana itu pertemuan Luna dan Atlas untuk pertama kalinya, ia pula tak menyangka bahwa hubungannya dengan Atlas sudah sejauh ini. Jarak dan kesibukan menjadi alasan Luna tidak bisa menghabiskan waktu dengannya akhir-akhir ini, sehingga hanya bisa bertukar kabar lewat ponselnya.
Atlas menemui Luna hari ini, Atlas berpesan agar ia bisa datang ke tempat mereka berdua bertemu. Bukan perpustakaan, tetapi pantai. Aneh, saat Luna membaca pesan dari Atlas. Kenapa harus bertemu di pantai?
Langit cerah terlihat serasi berpasangan dengan Mentarinya, kawanan burung tampak menari di langit. Suara ombak yang memecah kala bertabrakan dengan batu karang memberikan suara dan wangi yang khas.
Hati Luna berdegup tak karuan saat ia berjalan menemui Atlas, lelaki itu sedang berdiri di tepi pantai sembari melihat deburan ombak. Nyaring sekali, seperti sedang bunuh diri menabrakkan badan pada tebing-tebing. Pasrah berlalu-lalang dibawa alam semesta.
Luna teringat bahwa Atlas pernah mengatakan, jika Atlas sangat menyukai laut. Ia merasakan arus bawah laut berdentuman. Ke sana kemari mendekap begitu erat, begitu hangat, seolah memang sudah tertitah membuat Atlas tenang. Ujarnya waktu itu. Mungkin, inilah alasan mengapa Atlas memintanya untuk bertemu di pantai.
Atlas tersenyum lebar kearah Luna, lantas Luna tersenyum kepadanya.
“Atlas, maaf aku terlambat hadir.” Luna membuka percakapan. “Enggak apa-apa, kamu apa kabar? Lama nggak menanyakan kabar. Sudah lama sejak pertemuan kita kala itu di bangku SMA, kita saling menyibukkan diri untuk belajar, kan? Hingga lulus pun, kita juga jarang bertemu.” Jawab Atlas santai.
Suara Atlas, suara yang Luna rindukan. Sosok lelaki yang menarik hatinya saat pertama kali melihatnya berada di perpustakaan. Parasnya tetap menawan walau dilihat dari jauh sekalipun.
“Oh ya, ada hal yang saya akan bicarakan.” Ucap Atlas memecah keheningan. “Apa itu?” tanya Luna.
“Sebelumnya, selamat atas kelulusan serta kelancaran kamu sebagai seniman. Turut bangga akhirnya hobi dan pendidikan kamu tempa membuahkan hasil setimpal. Na, baik-baik, saja kan? Lama tak melihatmu tersenyum.” Gumam Atlas sembari menggenggam kedua tangan perempuan itu.
“Sebenarnya, banyak hal terjadi dengan bentang perjalanan waktu akhir-akhir ini. Jakarta terus terik, hawanya panas. Tetapi selalu kemudian adem ketika saya masih mengingat bagaimana kamu mengulas senyum tipis di perpustakaan sekolah kita dahulu,” ungkap Atlas seperti berat untuk menjelaskan.
“Atlas kamu ngomong apa? Jangan seperti ini. Aku seakan-akan merasa.. semuanya akan berakhir. Bukankah kita harus bahagia saat bertemu? Kita lama tak berjumpa. Harusnya kita melepas rindu dan menikmati pemandangan pantai hari ini …” lirih Luna, seketika dadanya mendadak menjadi sangat sesak dan tanpa disadari.
“Saya nggak tahu, kapan dan dimana kita akan bertemu lagi. Entah itu di kehidupan selanjutnya, atau nanti. Saya minta maaf, saya nggak punya banyak kuasa untuk memaksa takdir mempertemukan kita. Hingga akhirnya pekan depan, saya benar-benar harus mengatakan bahwa kita sudah tak dapat lagi mencipta kisah. Sejujurnya saat ini saya ingin memberitahu kamu kalau mungkin saja hari ini adalah hari-hari terakhir saya akan ada di sampingmu.” Lanjut Atlas.
Rasa senang bertemu dengan Atlas kini hilang. Sekarang hening. Begitu sunyi. Begitu sendu.
“Saya harus ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan saya yakni Jurusan Sastra. Syukur, saya berhasil meraih mimpi saya untuk berada di Universite d’Orleans yang terletak di kota Orleans, Prancis. Pekan depan saya harus pergi meninggalkan Indonesia. Jujur, saya tidak bisa menerka takdir nantinya. Apa saya harus meminta takdir agar mengantarku untuk bertemu denganmu? Pasti tidak. Tetapi satu hal saya tahu. Ketika kita bertemu lagi, kita berdua sudah sama-sama meraih mimpi kita, dan.. kita akan bertemu dengan jiwa kita yang baru yaitu diri kita yang versi lebih baik.” Ucap laki-laki dengan rambut hitam yang sedikit pirang dan tinggi itu. Mata cokelatnya menyala saat menatap perempuan yang kini sedang berdiri dihadapannya.
Keduanya diam-diam tersenyum dibalik air mata. Atlas menarik napas, lantas melanjutkan kalimatnya.
Atlas berkata, “Kita berpisah untuk alasan yang baik, oleh karena itu saya pun ingin kamu baik-baik saja kedepannya. Seperti namamu, Luna. Kamu cantik seperti bulan, semua orang menatapmu dan mencintaimu seperti yang saya lakukan. Dengan segala diri kamu yang luar biasa banyaknya, kalau kamu baik-baik saja, saya juga akan begitu. Bahagia, bahagia, bahagia selalu ya Nona.”
Ia membawa perempuan itu kedalam dekapannya. Hangat. Dekapan menjadi jawaban mereka berdua saat itu. Menjadi sebuah pilihan berat ketika harus meninggalkan.
Usai sudah kisahnya, Luna ingat betul bahwa Atlas menitipkan sebagaian hatinya dan sebagaian hatinya lalu pergi begitu saja.
Bukankah semua yang hadir akan selalu pergi? Begitu juga dengan pagi, malam, dan siang hari bukan? Itu hukum alam. Yang perlu manusia lakukan hanyalah menyambut dan melepas. Manusia pasti mempunyai sebuah pilihan, dan sekarang takdir menyuruh manusia untuk memilih antara meninggalkan dan ditinggalkan. Atlas dan Luna harus memilih salah satu dari dua pilihan itu, namun rupanya Atlas sudah memilih untuk meninggalkan. Kata yang dipilih takdir untuk Luna memang menyakitkan, tetapi mau tak mau, itulah yang akan terjadi dan pasti terjadi. Karena hidup akan terus berjalan semestinya.
Nasib takdir tentukan mereka ‘tuk bersama, namun hanya sementara. Itu semua telah menjadi hukum alam. Apapun yang menyangkut kepergian, sisanya adalah rahasia dan tidak diketahui banyak manusia. Luna tidak bisa menebak bahwa Atlas akan pasti kembali. Luna tidak bisa mengharuskan Atlas kembali. Tidak bisa. Tapi, Luna akan bahagia sesuai dengan permintaan terakhirnya. Luna akan baik-baik saja, begitu pula dengan Atlas.
Cerpen Karangan: Elysia Purwastuti M.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com