Astia Aurelia sempat berpikir bahwa ending romansanya adalah bersama dirinya. Seorang pemuda yang telah mencuri hatinya pada awal memasuki masa putih biru dulu. Namun dia salah, kisahnya berakhir dengan kata sederhana.
“Maaf Rel, kita berhenti di sini.”
Kala itu Relia, sapaan akrabnya, hanya bisa terdiam dengan mata berkaca. Waktu terasa berhenti saat itu juga. Dengan terbata ia bertanya. “Kenapa?” Suaranya sedikit serak, selah kata itu telah ia tahan sejak lama.
Pemuda di depannya mengusap wajahnya kasar. Raut mukanya terlihat bersalah, namun tak ingin melanjutkan kisah yang hanya akan memperumit harinya. “Aku gak bisa jalanin hubungan LDR.”
Dari kening Relia yang menggerut, ia dapat mengerti. Gadis itu pasti berpikir bahwa ia berbohong. Rury menghela napas bersiap kembali menjelaskan, namun terpotong oleh suara bergetar dan penuh keraguan milik Relia.
“Tapi kita belum coba, gimana kamu bisa tahu kalau gak bisa?” Relia meraih kedua tangan Rury, mencoba meyakinkan Rury, bahwa ia adalah orang yang bisa menjaga hati dan kepercayaan.
“Kamu tahu kan gimana sayangnya aku, gimana perasaan aku.”
Rury meremas tangan Relia, mencoba menghentikannya akan mengoceh. “Aku gak percaya sama diriku sendiri,” ujarnya dengan tegas. Benar, yang paling ditakuti Rury dari hubungan jarak jauh adalah ini. Dia takut tidak bisa menjaga hati dan kepercayaan yang gadis itu berikan.
“Tapi aku yakin …” Rury mengeratkan kembali genggamannya. “Aku yang gak yakin. Dengerin aku dulu, Rel.” Relia menggelengkan kepalanya dengan ribut. Menolak untuk mendengarkan apa yang akan pria itu katakan.
“Rel, kamu mungkin gak tahu, tapi hati pria itu mudah untuk berpaling, apalagi kita masih sangat muda. Aku bisa bilang buat janji kita akan sama-sama, namun aku gak mau. Aku tak ingin membuat kamu terluka jika tak bisa menepatinya.” “Aku …” “Enggak Rel, kamu gak bisa meninvestasikan perasaan dan kepercayaan kamu pada hubungan yang jelas-jelas tak akan menemui happy ending. Kamu tahu Rel, orang dewasa menyebut rasa kita apa? Cinta monyet. Rasa yang hanya akan ada dan kemudian terlupa.”
“Relia, dengerin aku lagi buat kali ini. Untuk sekarang aku sayang kamu. Sangat sayang, aku gak bohong.”
Gadis itu menatapnya dengan penuh harapan. “Namun,” Rury melihat dengan jelas bahwa tatapan gadis itu membawa luka yang semakin dalam. “Saat kita tak bisa lagi bertemu dan aku bertemu orang baru yang membuatku nyaman, aku mungkin berbohong dan membuat banyak alasan.” “Aku mungkin membagi hati saat itu, tapi kamu tidak tahu.” “Kamu …” “Inget yang pernah aku bilang Rel, jangan pernah berinvestasi pada sesuatu yang akan merugikan dirimu sendiri.” Rury melepaskan tangan Relia yang digenggamnya. Menangkup wajah gadis itu dan menatapnya dengan lembut.
“Rel, aku lepasin kamu agar kamu tidak mendapat luka yang lebih dalam.”
Air mata Relia jatuh tanpa bisa ia tahan. “Kamu, lepasin aku … itu luka … terdalamku,” ucapnya dengan terbata. Namun, masih tetap berusaha memberi tahu bahwa luka yang paling dalam dalam hidupnya adalah kehilangan Rury, cowok yang selalu ia sayangi dengan sepenuh hati.
“Ka..mu…” Relia menarik diri dari pelukan Rury, sebelum menarik napas panjang, memaksakan diri untuk bekata dengan nyaring. “Aku mempercayai kamu lebih dari aku percaya kemampuanku dalam melakukan sesuatu. Aku percaya kamu. Sangat percaya.” Suaranya melemah, dan tak lagi terdengar.
“Rel,” Rury berusaha untuk memeluk gadis itu kembali, namun ditolak dengan keras kepala. “Jangan peluk aku.”
“Kamu mau putus kan?” Tanyanya dengan tangan masih berusaha keras menepis pelukan Rury. “Kalau kamu mau pergi jangan seperti ini, kamu bisa langsung pergi, biar aku gak berharap.” “Jangan seperti ini.” Rury memeluk Relia dengan erat. Mencoba menyempaikan bahwa ia juga tak baik-baik saja. Dia juga terluka, namun tak bisa merubah keputusannya untuk berpisah.
Setelah Relia tenang, Rury melepaskan pelukannya. Menangkup pipi gadis itu dan menatapnya dengan senyum menawan. “Jangan nakal di sana inget, kita sekarang udah jadi anak SMA jadi kamu harus belajar dengan rajin.” Relia menepis tangan Rury. “Gak usah sok peduli,” ujarnya dengan nada menghina. “Aku tahu yang terbaik.” Rury mengusap rambut Relia dengan lembut. “Bagus kalau begitu.”
Relia mengerutkan kening, bersiap membalas dengan pedas, namun terjeda oleh dering ponsel Rury yang membuat kesal setengah mati.
“Kamu harus segera pergi, Ibu kamu bilang …” Relia memotong perkata Rury dengan pelukan erat. “Aku tahu, aku akan pergi. Kenapa Ibu malah nelepon kamu? Gak tahu apa anaknya baru saja dicampakan.” “Jangan gini Rel, ibu di depan gang katanya.” “Okey, aku pergi tapi gak mau putus. Denger gak? AKU GAK MAU PUTUS.”
Rury langsung berbalik, tak ingin meributkan apa yang telah ia anggap mendapat penyelesaian. Mengabaikan Relia yang terus-terusan memanggil namanya.
“Ry!” “KAMU BENERAN BUANG AKU?” “KITA PUTUS GARA-GARA LDR? INI BUKAN ZAMAN BATU RY, ADA YANG NAMANYA VC, WA, IG, LINE, TWITTER.”
Jawaban yang ia dapat hanya gerbang rumah pria itu yang tertutup rapat, membuat Relia terkekeh miris. “Jadi gini ya akhirnya.” Kepalanya mendongak menatap jendela kamar Rury yang tertutup rapat. “Aku bener-bener sayang kamu Ry, sampe mohon-mohon gini biar kamu gak buang aku, tapi kamu gak peduli.”
“Mungkin selama ini hanya aku yang mendamba dan kamu tidak.”
—
Jika Relia diminta menjabarkan mengenai hidupnya setelah pindah—ke kota lain yang jaraknya lumayan jauh dari kota awalnya—dia hanya perlu menjawab dengan satu kata “sepi”. Relia kesepian tapi bukan berarti ia tidak memiliki teman.
Di sekolah barunya ini, dia memiliki banyak teman. Namun, mereka tak bisa menggantikan seseorang yang selalu bersamanya. Relia sedikit termenung. Setelah perpisahan sore itu, Rury tak pernah mengirimnya pesan atau sekadar membalas pesan dan menjawab telponnya pun tak ia lakukan.
Relia menatap ponselnya dengan linglung, ini sudah setahun, apakah Rury benar-benar telah membuangnya? Relia tidak ingin mempercayainya namun ketika tangannya menekan icon telepon, memanggil Rury, dia benar-benar diblokir.
Relia tertawa, tawa kering yang membawa luka hingga membuat temannya yang dari tadi membaca buku melihatnya dengan aneh.
Relia menatap Ila, teman sebangkunya, dengan mata berkaca. “Gue bener-bener dibuang, La hahahha.” Relia menelungkupkan kepalanya ke dalam lipatan tangan di atas meja. “Hahahaha lucu banget, satu tahun kita mungkin hanya ilusi indah.” “Mungkin dari awal aku terlalu berharap lebih.”
Relia masih sibuk meratapi nasibnya saat salah satu teman cowoknya, Hendra, menggebrak mejanya kencang membuat tangis Relia semakin terdengar nyaring.
Hendra yang panik segera mengusap pungung gadis itu dengan tergesa. “Anjir maaf-maaf becanda doang, lo kok cengeng amat.” “GUE NANGIS KARENA HABIS DIPUTUSIN, BA*GSAT.” Kelas langsung sepi setelah suara lantang Relia terdengar. Untung saja jam istirahat masih berlangsung jadi para guru masih di kantor, coba kalau kelas tetangga lagi belajar, Relia bisa dihukum. Hendra langsung tertawa terpingkal-pingkal. “Cowok sial mana yang jadi pacar lo? Kok mau sih sama cewek galak mana gak jelas kek lo?”
Diejek seperti itu Relia semakin menangis histeris. “Ru..ry, a–ku di.. bully huweeeee… ka..kamu.. gak….mau ban..tu aku gitu?” Ila langsung mencoba membujuk gadis itu supaya berhenti membuat kekacauan. “Udah jangan nangis, cowok gak cuma satu …” “Rury tuh cu…ma a..da satu.” Dengan terbata-bata Relia berusaha membantah Ila. Dia hanya ingin Rury bukan yang lain. “Udah putus oy, bucin amat heran. Pantes putus, lo sih bucin banget dia jadi seenaknya.” Hendra berkata dengan menggebu-gebu membuat Relia menggeleng dengan ribut, membantah apa yang cowok itu katakan. “Enggak, Rury bukan orang kek gitu.”
Sudah sebulan sejak kejadian Relia menangis karena putus, dan beritanya menyebar ke seluruh sekolah sampai guru-guru pun tahu. Awalnya Relia malu dan ingin masuk ke perut bumi pas awal-awal diejek dan dicengcengin, tapi lama-lama kebal juga.
Hari ini jadwal pertama adalah pelajaran matematika kesukaan Relia, namun gurunya masih juga belum masuk, padahal bel sudah berbunyi 7 menit yang lalu.
“Pak guru mana sih? Gue udah gak sabar pengen pamer dah ngerjain semua soal di bab ini.” Hendra yang duduk di meja belakangnya langsung mencibir. “Gak usah sok-sok gak sabar belajar matematika kalau diputisin aja masih mewek histeris.” “Diem.” Relia memperlihatkan tinjunya yang dibalas wajah mengejek Hendra. “Halah udah mantan tapi masih bucin aja bangga.”
Relia merasa telinganya tuli seketika. Memangnya kalau sudah putus gak boleh sayang? Lagian yang mutusin kan Rury, kalau bagi dia, ya masih pacaran. Relia menganggukan kepalanya berulang kali. Dia dan Rury masih pacaran kok, Rury gak bisa dihubungin karena ponselnya rusak.
Relia berusaha menghipnotis dirinya sendiri. Berusaha menormalkan napasnya yang sedikit tersendat. “Jangan panik Relia, tenang, Rury gak pergi. Dia gak campakin kamu. Ponselnya rusak atau mungkin hilang jadi aku diblokir.” “Rury gak jahat, dia selalu sayang aku.”
Relia mengusap keringat di kedua tangannnya ke rok. Suara pintu dibuka membuatnya menghela napas lega. Pak guru matematika berjalan masuk menjadi udara segar bagi Relia yang perlu mengalihkan fokusnya. Namun, itu tak berapa lama sebelum wajahnya menjadi terpaku.