“Selamat pagi,” Sapa Pak Yudi, selaku guru matemati yang langsung dibalas dengan serempak. “Pagi juga, Pak.” Pak Yudi bertepuk tangan dua kali. “Bagus, bagus, di pagi hari memang harus bersemangat. Benar begitu, Relia?”
Pak Yudi menatap salah satu anak didiknya yang masih diam terpaku. “Relia? Saya tahu kamu baru putus dan gak bisa move on, apa sekarang sudah saatnya, Relia?” Pertanyaan Pak Yudi membuat teman-temannya tertawa. Ila menyikut gadis itu membuatnya secara sepontontan merespon dengan nyaring, “Ya?”
“Relia sepertinya sudah tidak sabar udah berkenalan dengan calon pacarnya.” “Hah? Maaf, pak, gimana?” “Kamu naksir dia, kan?” Pak Yudi menunjuk Rury yang berdiri di sampingnya dengan dagu. “Jangan …” “Dia yang putusin saya, pak.” Relia menjawab dengan tegas, membuat kelas hening dan cangung. Pak Yudi berdeham, lalu mempersilakan Rury untuk memperkenalkan diri.
“Hallo selamat pagi semua, perkenalkan nama saya Alan Ruryandra, kalian bisa memanggil saya Alan. Semoga kita bisa berteman dengan baik. Mohon bimbingannya.”
Perkenalan Rury disambut dengan gembira dan riuh tepuk tangan. “Tenang Alan, ada Relia yang siap membantu apapun yang terjadi,” Sahut Hendra dengan nyaring yang mendapat sorakan setuju dari teman-temannya, sedangkan Relia hanya memukul Hendra dengan buku paket.
Jam istirahat baru saja dimulai, namun Relia sudah tidak tahan ingin bergegas, ia malu. Benar-benar malu diejek. Jika tidak ada Rury mau seberapa keras pun mereka mengatainya bucin, dia tak akan malu karena Rury tak akan tahu. Tapi ini dia digoda di depan Rury, sangat memalukan.
“Relia, jangan buru-buru, itu mas mantannya gak mau disapa dulu? Lepas kangen dulu gitu.” Hendra berusaha menghalangi Relia di depan kelas. “Iya, Rel, ayo sapa dulu,” timpal Aldi, anak resek lainnya di kelas. “Minggir.” “Takut, galak banget sih.” Hendra dan Aldi menampilkan wajah takut penuh ejekan membuat pipi Relia memerah kesal. Sudut matanya melirik Rury yang duduk di kursi kedua dari depan. Relia segera memalingkan kepalanya saat pandangan mereka bertemu. “Ngapain nyapa mantan, gak guna,” ujarnya dengan ketus. Aldi langsung menggerakan tangan tak setuju dengan perkataan Relia. “Menyapa orang baru di kelas kita itu penting Rel, biar dia betah dan gak pergi, lagi, kan?”
Mendengar kata pergi, Relia mengerjapkan matanya dengan cepat. Matanya melirik Rury sekilas. “Rury gak pergi, dia ada di sini, di deket aku.” “Ya udah sapa aja sendiri.” Ila yang baru masuk kelas langsung ikut menggoda Relia. “Sapa Rel, temen kita juga, kan?” Relia menatap wajah teman-teman lainnya yang seakan berkata jika ia tak melakukan yang mereka mau, Relia tak bisa keluar kelas.
Rury menutup bukunya, siap untuk menghentikan mereka, namun Relia lebih dulu menghampiri mejanya. “Hallo, mantan. Apa kabar?” Relia mengulurkan tangannya setelah ia yakin tangannya kering. Rury berdiri menatap wajah dan tangan yang terulur itu berganti. Menjabatnya dengan hangat. “Aku baik, kamu apa kabar?” Rury menarik tangannya membuat Relia sedikit kehilangan. Gadis itu tertawa kering. “Aku juga baik,” jawabnya sembari berbalik keluar kelas. “Aku gak baik Ry. Kabar aku gak baik setelah kamu putusin.”
Relia berjalan di koridor dengan tenang, tangan kirinya memegang tangan kanannya yang tadi Rury jabat. Senyum simpul terbentuk di bibirnya. “Rury nyata, dia bukan ilusi yang selalu menemaniku.” “Aku bisa melihatnya setiap hari.”
Relia menatap jam tangannya dengan cemas. Upacara bendera sebentar lagi akan dimulai dan semua siswa harus segera turun kelapangan untuk persiapan, namun Rury masih belum datang.
Relia tak ingin Rury terlambat dan dihukum di depan semua siswa. Dia tak ingin Rury dipermalukan seperti itu.
“Rel, yok turun.” Ila berkata sambil berjalan melewatinya membuat Relia lebih cemas. “Tar dulu napa La? Masih belum mau dimulai kok,” Relia berusaha menahan Ila agar menemaninya menunggu Rury. “Rel, ayo turun, mau ngapain sih di sini juga?” Ila berkata dengan jengkel. “Gue tinggal juga ya lo lama-lama.” Relia menahan Ila yang akan keluar kelas. “Sebentar lagi aja, lima menit,” ujarnya dengan memelas, namun Ila hanya terlihat semakin jengkel. “Semenit deh semenit?!” “Ya lo mau ngapain di sini?” Ila nemepis tangan Relia yang menahannya, melipat tangannya di depan dada dengan gaya bossy, membuat Relia sedikit kikuk. “Itu … itu … anu …” “Itu, anu, itu, anu, bilang aja lo nunggu Rury, kan?” Tanyanya dengan sarkas yang membuat Relia menggeleng ribut. “Siapa … wait, lo panggil dia apa? Gak, lo harus panggil Alan, nama Rury itu cuma gue yang boleh make.” Ila langsung mencibirnya tanpa ampun. “Katanya mantan, tapi kok masih posesif?” Ila langsung berlari keluar kelas, membuat Relia spontan mengikutinya. “Mungkin Rury benar-benar terlambat.”
Begitu Relia sampai di lapangan, dia melihat cowok itu sudah berada di barisan. Relia tak kesal, ia merasa lega. Senyum kecilnya muncul, Rury memang selalu tak bisa ditebak.
“Kiw, ada yang lihatin mas mantan nih.” Suara itu membuat senyum Relia menghilang. Kepalanya menoleh ke beberapa orang yang tengah menertawakannya dengan keras. Namun, ia segera ditarik Ila kebarisan karena upacara bendera akan segera dimulai.
Jam istirahat, Hendra segera mendorong Relia keluar kelas, memintanya membeli makanan. Hendra sangat lapar, namun malas pergi ke kantin.
Cowok itu menarik kursi di meja depan hingga menghadap Rury. Duduk dengan wajah mencurigakan. “Al, gue mau nanya deh. Lo sama Relia, kan baru putus sebulan, kok bisa-bisanya pindah pas kelas XI ke sekolah yang ada mantannya? Mana sekelas lagi? Sial amat hidup lo.” Rury menutup bukunya. Seingatnya mereka putus pada saat libur setelah kelulusan SMP. Dengan wajah sedikit ragu, Rury bertanya. “Lo tahu dari mana?”
Hendra langsung memukul meja dengan wajah siap bergosip. “Oh, lo belum denger ya? sebulan lalu Relia nangis, kenceng banget, katanya sih diputusin lo. Satu sekolah bahkan guru-guru pun tahu pas putus. Beritanya nyebar cepet banget.” Hendra bercerita dengan heboh dan penuh penghayatan. Rury terlihat mendengarkan, namun kedua tangannya yang dia sembunyikan di bawah meja mengepal dengan erat. Tatapnya terlihat sedikit sendu.
Hendra mungkin tak menyadarinya, karena cowok itu masih melanjutkan ceritanya. “Relia pernah bilang kalau hubungan kalian baik-baik aja terus tiba-tiba lo putusin dia dan ngeblokir kontaknya. Man, lo brengsek banget, asli.”
Rury menghela napas, dia tahu satu tahun penuh Relia selalu mengirim pesan yang tak pernah ia balas dan teleponnya pun tak pernah ia angkat. Dia hanya yakin gadis itu akan melupa pada akhirnya. Tapi bagi Relia, mereka putus hanya saat nomornya diblokir dan itu kebetulan bahwa ia memblokirnya karena dare dan membukanya dua hari kemudian.
Relia masuk ke dalam kelas dengan rusuh. “Nih makanan lo, kalau gak dikasih uang jalan males banget gue dititipin.” “Santai dong bos.” Hendra menerima dengan gembira dan kembali ke tempatnya.
Setelah memastikan tidak ada yang memperhatian, Relia berjalan ke samping Rury dan menaruh susu kotak coklat ke dalam lacinya. Rury akan bertanya, namun Relia lebih dulu berbisik dengan kesal. “Sodakoh ke mantan itu pahala.”
Rury hanya tersenyum dan membiarkan gadis itu berlalu. Tangannya mengambil susu coklat itu dan menyesapnya pelan. Jadi, mereka baru putus sebulan. Rury terkekeh pelan menghina dirinya sendiri. Dia salah mengambil keputusan. Keputusannya saat itu didasarkan pada pemikirannya yang terlampau melebihi anak seusianya. Andai dia lebih kekanakan saat itu … Rury segera menggelengkan kepalanya. Tidak ada penyesalan.
—
“Kenapa lo gak minta balikan aja sih? Kemaren ngasih permen, kemarennya lagi susu coklat, kenapa gak sekalian aja lo minta balikan?” Relia segera menanggapi Hendra dengan wajah jutek. “Mana ada balikan sama mantan. Gila ya lo?!” “Gak usah gengsi gitulah anjir. Ngasih makanan aja gak malu.” Relia menggusak kepalanya gusar, Hendra tidak tahu betapa mengemisnya dia dulu. “Harga diri gue mau ditaruh di mana?” Ila yang berada di samping Hendra ikut mencibir. “Harga diri lo hilang sejak putus sama Alan.” Relia terkekeh, mengejek dirinya sendiri. Benar, dia sudah tidak memiliki harga diri di depan Rury, namun dia masih tak bisa mengajak cowok itu untuk kembali bersama. Dia takut ditolak.
Relia memegang botol sprite di tangannya dengan erat untuk mencegah tangannya yang gemetar membuat botol itu tergelincir dan mengganggu dua orang didepannya. Dia sengaja membelikannya untuk Rury. Menghela napas dengan perasaan kalah dan menyembunyikan botol itu di belakang pungungnya sebelum berbalik pergi.
“Rury ganteng, pinter, baik, pengertian, dan semua hal baik lainnya. Cewek mana yang gak mau sama dia?” Relia mengusap wajahnya dengan kasar. “Gak papa Relia, Rury pasti nolak cewek tadi.”
Relia duduk di tangga samping yang sepi. Berusaha membuat kecemasannya hilang. “Relia tenang, Rury gak pergi. Rury selalu di sini,” ujarnya berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa Rury tak akan meninggalkannya. Dia selalu ada di hatinya, menemani harinya.
Rury tak tahan melihat wajah pucat Relia yang penuh kemas. Berdiri didepannya dan meraih kedua tangan yang gemetar dan berkeringat itu. Meremasnya dengan ringan. “Sejak kapan, Rel? Sejak kapan …” Rury tak ingin melanjutkan karena keadaan Relia pasti berkaitan dengannya. “Gak papa Ry, aku gak papa. Aku cuma … hmmm… itu apa namanya? Oh ya, baperan gitu orangnya.” Relia mengakat kepalanya menatap Rury dengan meyakinkan. “Karena aku, kan, Rel?” Tanya Rury dengan berbisik. “Kata siapa? Siapa yang ngomong gitu? Ribut sini sama aku.” Relia tidak berbohong, ini bukan salah Rury, ini salahnya.
Rury duduk di samping gadis itu. “Rel,” panggilnya dengan lembut, dan Relia tahu cowok itu terluka. Relia tak menyukainya. “Ini bukan salah Rury, aku gak bohong. Rury itu obat aku.” Relia menatap Rury dengan mata berkaca, meyakinkan cowok itu meskipun hatinya bergetar malu. Rury terkekeh pelan. “Kenapa Rel? Kenapa kamu baik sama aku? Aku udah nyakitin kamu.” Relia mengerutkan keningnya. “Kamu gak pernah nyakitin aku.” “Aku putusin kamu secara sepihak. Gak balas pesan dan telepon kamu setahun, bahkan ngeblokir nomor kamu. Aku bukan orang baik, Rel.” Relia menggelengkan kepalanya dengan ribut. “Rury orang baik.”
Rury menatapnya penuh dengan rasa ingin tahu dan Relia menatapnya dengan bersungguh-sungguh.
“Karena selama ada Rury, senja gak lagi terjeda,” ucapnya dengan senyum mengembang dan rona merah di pipi.
Rury ikut tersenyum. Dalam hatinya ia berjanji tak akan lagi menyakiti.
Hendra yang akan kembali ke kelas bersama teman-temannya langsung menyoraki. “Cie mantan pada baikan. Bau-bau balikan, nih?” Relia menatapnya dengan kesal. “Emang kapan putus? Gue gak pernah setuju.”