Rumah, bagi sebagian orang, adalah kata yang hangat. Ia disebut dengan senyum, dikenang sebagai pelukan, dan disimpan sebagai tempat paling aman untuk pulang. Di sanalah kisah-kisah dibagi, tawa tumbuh, dan kebersamaan menemukan bentuknya yang paling sederhana.
Namun bagiku, rumah tidak selalu berbunyi demikian.
Rumah adalah ruang sunyi tempat aku belajar meredam harapan: bahwa tidak semua usaha akan disambut, dan tidak semua luka akan ditanya. Di balik dinding-dindingnya, aku tumbuh tanpa tepuk tangan, bangkit tanpa sorak, dan belajar berdiri tanpa sandaran.
Kesunyian menjadi teman yang paling setia—ia tidak bertanya, tidak menilai, tidak menyela. Ia hanya mendengar, setia menampung segala retak yang tak sempat kusebut luka, segala tangis yang kupelihara dalam diam. Bersamanya, aku belajar bahwa kuat tidak selalu berarti keras, dan bertahan sering kali berarti diam.
Terkadang aku kehilangan arah.
Bukan karena tidak tahu ke mana harus melangkah, melainkan karena terlalu lama berdiri di tempat yang membuat dadaku sesak. Setiap sudutnya seolah menahan napas, membuatku ingin pergi menjauh—namun selalu terhenti oleh satu pertanyaan yang tak pernah punya jawaban: ke mana aku akan melangkah, jika semua jalan terasa asing?
Di tempat ini, kata-kata sering dilemparkan seperti batu.
“Kau tidak akan pernah bisa seperti saudaramu.”
Kalimat itu terdengar sederhana, nyaris sepele bagi mereka yang mengucapkannya. Namun siapa sangka, kata sesingkat itu mampu meruntuhkan semangat seorang anak perlahan, tanpa suara.
Aku sudah berusaha, Ibu.
Aku bertahan di peringkat satu, mengenakan sosok yang kau inginkan, meski harus melepaskan mimpi dan harapan yang dulu kugenggam dengan penuh keyakinan. Aku belajar menjadi versi diriku yang diterima, meski itu berarti meninggalkan versi diriku yang bahagia.
Kadang aku bertanya-tanya—ke mana perginya anak ceria yang pernah bermimpi menjadi bintang yang bersinar? Anak yang percaya dunia akan adil selama ia mau berusaha. Ah, mungkin cahayanya padam lebih dulu. Bukan karena ia tak cukup terang, melainkan karena dunia ternyata tidak sesederhana ekspektasi seorang anak yang terlalu cepat belajar tentang luka.
Lewat putihnya kanvas dan coretan kuas, aku menemukan rupa yang tak pernah sempat kusebut bahagia. Di sanalah perasaanku bernapas, bebas dari tuntutan, bebas dari perbandingan. Perlahan, dari palet-palet warna yang kutata sendiri, aku mulai menemukan arah pulang—bukan pulang pada tempat, melainkan pada diriku yang lama tersesat oleh suara-suara yang terus menyuruhku menjadi orang lain.
Barangkali warna-warna itu tak sanggup mengubah dunia yang terlanjur suram di mataku. Ia tak menghapus luka, tak pula membungkam ingatan yang masih sesekali datang. Namun setidaknya, di antara lapisan cat dan garis yang tak sempurna, aku memiliki ruang kecil untuk bernaung. Sebuah fantasi yang hanya bisa kurasakan sendiri—tempat aku diizinkan menjadi utuh, tanpa perlu diakui, tanpa harus dibandingkan, tanpa takut kehilangan cahaya.
Kadang aku tenggelam dalam imajinasi yang mengalir dari kepalaku, menciptakan bentuk-bentuk yang hanya bisa dikenali oleh mereka yang akrab dengan luka. Cat sering mengering sebelum sempat kuratakan. Objek-objek itu tidak meminta dimengerti; ia hanya ingin ada. Orang-orang kerap bertanya mengapa sebagian besar lukisanku abstrak, mengapa ia tampak seperti menyimpan luka. Aku hanya tersenyum dan menjawab sekenanya, “Ah… ini abstrak.”
Mungkin karena aku sudah tak lagi mampu menggambarkan duniaku dengan garis yang jelas. Sedih, kecewa, marah, atau gembira—semuanya bercampur tanpa nama. Perasaanku kehilangan bentuk, dan kanvas menjadi satu-satunya tempat yang masih mau menampungnya tanpa memaksa.
Ada hari-hari ketika aku memilih diam, bukan karena tak ingin bicara, melainkan karena lelah menjelaskan diriku sendiri. Setiap penjelasan sering berakhir pada kesalahpahaman, dan setiap pembelaan justru menambah jarak. Aku belajar bahwa tidak semua orang ingin mengerti—sebagian hanya ingin memastikan aku tetap berada di posisi yang mereka anggap pantas.
Aku tumbuh dengan kebiasaan menyimpan segalanya sendiri. Menelan kecewa tanpa suara, merapikan luka agar tak mengganggu siapa pun. Aku menjadi ahli dalam berpura-pura baik-baik saja, hingga kadang lupa seperti apa rasanya benar-benar baik. Di hadapan orang lain, aku terlihat utuh. Padahal di dalam, ada bagian-bagian diriku yang retak dan tak pernah sempat dipulihkan.
Malam-malam sering menjadi saksi paling jujur. Saat dunia tertidur, pikiranku justru terjaga. Aku mengulang kembali percakapan, membayangkan versi diriku yang berani berkata jujur, lalu kembali sadar bahwa keberanian pun punya batasnya sendiri. Tidak semua kebenaran aman untuk diucapkan, terutama di tempat yang seharusnya disebut rumah.
Barangkali itulah mengapa aku mencintai kesendirian. Bukan karena aku membenci manusia, tetapi karena sunyi tidak pernah memintaku menjadi orang lain. Dalam diam, aku belajar mengenali diriku sendiri—tanpa perbandingan, tanpa tuntutan, tanpa kalimat yang melukai.
Jika bukan lewat suara, maka lewat warna.Jika bukan lewat kata, maka lewat bentuk yang tak bernama.
Waktu berjalan dengan caranya sendiri. Tidak tergesa, tidak pula menunggu. Tubuhku tumbuh mengikuti iramanya—menyimpan ingatan di bahu yang sering menegang, di napas yang kerap kutahan terlalu lama. Ada hari-hari ketika aku merasa lebih tua dari usiaku, seolah sebagian masa kanak-kanakku tertinggal di ruang-ruang yang tak pernah ramah.
Namun seiring waktu, aku belajar menerima bahwa pulang tidak selalu berarti kembali. Kadang ia hanya berarti berhenti berlari, mengizinkan diri sendiri beristirahat, dan berdamai dengan hal-hal yang tak bisa diubah. Pelan-pelan, aku menyadari bahwa aku tak perlu sepenuhnya sembuh untuk melanjutkan hidup. Cukup sadar bahwa aku masih ada—dan itu, untuk sementara, sudah cukup.
Lewat deru angin malam,kutemukan sahabat yang tak menuntut apa pun.Ia memelukku dengan dinginnya,merengkuh tubuhku tanpa tanya,dan entah bagaimana, mampu meredam kebisingan di kepalaku.Saat kutatap langit malam,ribuan bintang bertabur dalam diam, seakan menyusun jawabannya sendiri.
Mereka tidak menjanjikan bahagia,tidak pula menawarkan kepastian,namun kehadirannya cukup untuk membuatku bertahan sedikit lebih lama.
Dalam cahaya yang jauh dan nyaris pudar itu,aku merasa dilihat tanpa harus menjelaskan apa pun. Seolah semesta berbisik pelan:kau tidak sendirian,
ada kami yang menemani dari kejauhan.
Dan untuk pertama kalinya malam itu,
aku membiarkan napasku jatuh perlahan,
tanpa rasa takut akan esok hari.
* Noted. Ini hanya untuk uji coba *