Hujan menemaniku dalam perjalanan pulang, tetesannya kejam dan pilu membuat semangatku meluntur, sesekali petir menyambar aku masih terjaga, menguatkan diriku, walau perjalanan mungkin masih jauh namun aku berusaha untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Handphoneku hampir meninggal dengan damai, lengkap dengan GPS ku, yang bisa dipastikan jika aku tersesat maka akan susah untuk kembali mengingat hari sudah hendak memasuki malam hari. Disekelilingku tidak ada rumah sama sekali, hanya aku, aspal, pembatas jalan dan pepohonan yang rimbun aku setengah was was, takut merinding dan sangat kelelahan.
2 jam yang lalu undangan dari mantan kekasihku, dia menikah, aku pergi sendirian tanpa mengajak pacarku yang kebetulan masih menjadi rahasia Tuhan, dan sangat disayangkan pula otomatis aku pulang sendirian juga.
Hujan masih belum reda, aku semakin memasuki kedalam hutan belantara di daerah Yogyakarta bagian timur, Gunungkidul, aku tak begitu mengingat jalan ketika aku berangkat, apalagi pulang, apalagi hari mulai gelap dan tentu diperparah dengan hujan yang mengguyur bumi tanpa henti, Dalam radius setengah kilo meter kulihat sekilas ada sebuah gapura besar, tinggi, tak begitu aku perhatikan nama gapura itu, aku memasukinya saja, namun tak kusangka, aspal hitam tanpa kusadari tiba tiba lenyap, berganti dengan tanah liat yang begitu licin, aku terperosok jatuh.
Ssrtttt… Srt tt t.. Brukkk… Srut… Aku jatuh agak jauh, beberapa meter di depanku adalah jurang dan keberuntungan masih di pihakku.
Tak ada yang menolong, tak ada yang membantu, hanya aku yang sangat kesusahan mengangkat motorku di tengah hujan, Di sekeliling hanya hutan pepohonan yang rimbun, aku bergidik, bulu kudukku merinding, kutengok ke kiri dan ke kanan tak kutemui satupun rumah ataupun cahaya, hanya saja ada satu cahaya yang agak gelap di arah lurus jalanku tadi, Aku bergegas menuju kesana. Kupacu sepeda motorku.
Sesampai di cahaya yang aku maksud, Seorang wanita tua bersanggul mengenakan kebaya, membawa sebuah lampu petromak, lampu independen jaman dulu, tampak di depan rumahnya, Di tangan kanan wanita itu memegang petromak, tangan kirinya memegang tongkat, Dalam hujan deras aku memperhatikannya, agak samar memang, Wanita tua itu memperhatikanku, hingga waktu beberapa meter ketika aku melewatinya aku melirik wanita tua itu, Wajahnya melotot, nampak tak suka dengan kedatanganku, beberapa kali ia memukul tongkatnya ke tanah,
Akhirnya aku hanya melewatinya saja, sembari berdoa aku selalu diberi keselamatan, Beberapa meter dari wanita itu aku melihat sebuah kampung, kampung itu nampak asri, sangat pedesaan dan aku tak menemukan lampu penerangan modern, mungkin mati lampu pikirku, aku menuju ke salah satu rumah di kampung itu, Motorku aku hentikan, aku melihat seorang bapak bapak, mengenakan sarung, dan dia tak mengenakan baju, padahal ini hujan deras tentu saja udara sangat dingin dan kontras dengan bapak yang tak mengenakan baju tersebut
“Permisi pak” “Mari nak silakan” dengan menggunakan bahasa Jawa halus bapak itu menanggapiku “Mohon maaf, pak, nampang bertannya jalan untuk menuju ke Bantul* dimana ya pak?” Tanyaku (* Bantul adalah kotaku, salah satu kabupaten di daerah provinsi Jogjakarta) “Bantul?” Bapak itu mencoba menerawang “Iya pak” Bapak itu berusaha mengingat ingat sembari Komari Kamit berusaha menemukan daerah yang aku cari, aku mengerti dia tak paham “Atau mungkin Pantai Parangtritis* pak?” Pantai parang Tritis mungkin bapak itu lebih mengerti (* Parangtritis adalah salah satu pantai di daerah Bantul, pantai itu sangat terkenal) “Pantai parangtritis?” Bapak itu mulai berpikir kembali, mencoba mengingat ingat, tak mengatakan apapun kepadaku.
Aku mulai putus asa untuk bertanya, dan mulai berpikiran tidak baik, kepada bapak itu, aku bergegas menyudahi mungkin nanti jika ada orang akan aku tanyakan lagi, aku bertanya pertanyaan terakhir “Atau mungkin arah Timur Utara Selatan?” “Oh, timur sana mas, selatan sana, Utara sana, dan barat sana” Dia berkata sambil menuding-nudingkan tangannya Aku berpikir ada yang tidak beres “Arah selatan sana ya pak?” Tanyaku “Iya mas” “Jika arah pantai selatan kesana ya pak berarti” Parangtritis adalah pantai selatan, otomatis jika aku menuju lurus ke selatan pasti aku akan menuju ke pantai Parangtritis mengingat secara geografis, Gunungkidul di utaranya Parangtritis “Benar mas, pantai selatan ke arah sana” Aku agak bingung, tapi berusaha untuk tetap ramah aku berpikir ada yang tidak beres. “Baiklah pak, terimakasih banyak, saya mohon ijin untuk pulang” “Baik mas, tidak mampir dahulu” “Tidak pak terimakasih” Bapak itu tiba tiba menjulurkan tangannya, aku agak kikuk, dia berusaha menjabat tanganku, dengan agak kikuk aku menjabat tangan bapak itu, namun ketika menggenggam tangan bapak itu, rasanya dingin, tangan bapak itu sangat dingin, bahkan aku yang kehujanan dan tentu tanganku lebih dingin dari biasanya, namun ketika menggenggam tangan bapak itu, tanganku terasa dingin, ada yang tidak beres, pikirku dalam hati
Aku menyalakan sepeda motorku, bergegas menuju ke selatan yang diarahkan bapak itu, beberapa meter di depan ada sebuah warung dengan hanya berpenerangan Dian sentir* (Dian sentir adalah alat penerangan dengan kegunaan seperti lilin di tempatku) Aku berhenti di depan warung itu, banyak sekali makanannya, kutaruh mantel dan sepeda motorku lalu memasuki warung itu
“Kulonuwun*” aku berusaha menyalami penjual warung itu (* Kulonuwun adalah kata permisi dalam bahasa Jawa halus) “Mari mas” Seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam rumah, nampak menjawabku “Buk mau pesan makan” “Silakan mas” perempuan setengah baya itu menyilakan aku untuk menyantap makanan
Ada beberapa makanan, seperti lele, ikan, ayam, pisang, ubi rebus, dan beberapa makanan lainnya, namun tidak aku temui makanan berupa gorengan, ataupun kemasan semuanya di rebus, ataupun beberapa di bakar seperti ayam bakar, Aku mengambil nasi, mengingat aku perjalanan hampir 3 jam dan perutku sangat lapar aku mengambil nasi dan ayam bakar, Diluar dugaanku, ayam bakar itu sangat enak! Bahkan aku berpikir jika suatu saat aku hendak ke tempat ini lagi bersama temanku untuk mencoba warung ini. Seusai makan aku meminum air putih yang disediakan, dahagaku kembali pulih.
“Buk, hujannya dari tadi ya buk?” Aku berusaha untuk berbasa-basi “Iya mas” jawab itu pendek, terasa sekali dia menjawab dengan tidak nyaman, kepalanya menunduk, hampir tak pernah melihatku, entah dia berusaha sopan atau karena tidak nyaman akan keberadaanku, mungkin juga tidak ada pelanggan dan hanya aku satu satunya
“Maaf buk, ini namanya desa apa” “Desa KENDIL” dia masih menjawab singkat, wajahnya tetap menunduk “Desa Kendil?” Aku bertanya memastikan, namun ibu itu tak menjawab, kini aku yang tidak nyaman, mungkin lebih tepatnya tidak enak hati, karena mungkin karena kedatanganku ibu ini menjadi tidak nyaman. Aku membayar, “Buk berapa ini semua?” Ia berdiri, namun tak melihatku hanya melihat makanan yang ia sediakan “Aku tadi makan, nasi, ayam bakar, kacang dua, dan air putih” Ibu itu menghitung “Sembilan ratus mas” “Hah?” Aku shock, kaget, nyaris tak percaya lalu ngilu, mendadak lemas Makanan di tengah kampung seperti ini harganya fantastis sembilan ratus ribu!
“Maaf berapa buk?” Ibu itu menghitung lagi “Maaf, sembilan ratus lima puluh” ibu itu menegaskan kesalahannya dalam menghitung “Hah?” aku tidak percaya “Maaf buk untuk ayam bakar berapa?” Lalu ibu itu menjelaskan, penjelasan ini terpanjang yang pernah ia ucapkan “Nasi tiga ratus, ayam bakar empat ratus, kacang dua ratus, air putih lima puluh” Ibu itu menjelaskan dengan hati hati,
Aku mendorong tubuhku ke belakang, ini semua janggal! Ada yang tidak beres, aku agak lemas, mencubit tanganku namun sakit, ah benar aku tidak bermimpi ini semua nyata, Aku tak tahu harus berbuat apa, Aku memberanikan diriku, lalu aku bertanya lagi, “Maaf sembilan ratus ribu atau sembilan ratus rupiah” Ibu itu tak menjawab, nampak kebingungan, mungkin bingung menjelaskan, raut wajahnya yang selalu disembunyikan nampak jelas ibu itu kebingungan, Aku tak tahu berbuat apa
“Sembilan ratus” “Hah?” Spontan aku tak percaya, 2022 mana ada makanan harganya sembilan ratus perak? Mana ada? Aku berusaha menutupi ketidak percayaanku, kuambil uang dua ribu, aku memberikan kepada ibu itu,
Ibu itu menerima, lalu, menatapku, baru kali ini aku ditatap ibu itu, wajahnya nampak pucat, mukanya kaku, nampak wajahnya bekas dibalut tanah atau apa aku tak mengerti, tulangnya agak terlihat, bibirnya pecah kaku, Kini aku yang gantian menunduk, tak berani menatapnya, perasaanku campur aduk tak karuan, aku tak pernah melihat wanita seperti ini, walaupun aku laki laki namun aku ingin menangis, ataupun meminta tolong kepada ibuku, wanita itu lebih tepatnya seperti mumi yang baru saja dibalsem!
Aku tak menyadarinya dari tadi, wajah itu memang tak pernah diperlihatkan kepadaku, histeris dalam hati aku lemas, terduduk hendak pingsan, namun petir menyadarkanku bahwa aku pria, dan aku harus menyelesaikan semua ini. Aku berusaha baik baik saja, kuambil nafas, ibu itu kembali menunduk, Mengembalikan uang dua ribu kertas kepadaku, aku pegang uang itu aku masukkan ke dompet Aku berpikir keras, apakah aku langsung lari? Tak membayar? Lalu mengendarai sepeda motorku kencang kencang? Dan tak pernah melihat kebelakang, kan masih hujan? Ibu itu tak mungkin menangkapku, bagaimana aku memakai mantel? Mantel aku taruh dimana ya?
Ah pikiranku kemana mana! Aku buka dompetku, ibu itu masih nampak memperhatikan tingkah lakuku, aku berusaha tetap waras dan realistis, tetap tenang dan menutupi kegagapanku, kekagetanku,
Di dalam dompet ada uang 1000 an koin, uang itu uang tahun 80 an, yang 1000 an gambar foto Goro-Goro, yang biasa dipakai untuk kerokan, uang logam besar. Ibu itu menerima uangku mengangkatnya, lalu memperhatikanku, aku kembali menunduk, takut. Ibu itu menerimanya, “Simpan saja kembaliannya buk” dengan mengumpulkan keberanian aku berusaha beritikad baik dengan cara menyogok ibu itu agar semua baik baik saja. “Eh” ibu itu memperhatikanku, kuberanikan melihat wajah ibu itu, Kami nampak canggung, dalam hati memang ibu ini manusia, namun aku perhatikan lagi, Rambutnya putih, memutih, kuperhatikan lagi Astaga! Aku merinding, shock kaget, dan nyaliku jatuh, astaga di ujung kepala ibu itu nampak belatung belatung menggerogoti kepalanya, Aku terduduk kembali, kali ini lebih ketakutan, khawatir pilu dan kini ingin menangis lebih keras, Untuk kedua kalinya petir malam menyadarkanku. “Sebentar” ibu itu membuyarkanku, ingin rasanya aku pingsan saja.
Tiba tiba, Ibu itu kembali, dibelakangnya seorang sosok dalam kegelapan, di remang lampu Dian sentir sosok itu keluar, Astaga! Aku yakin, seorang gadis sangat cantik, berusia 20 an bergaun putih, berkebaya dan tersenyum menatapku, Astaga! Sangat kontras dengan keadaan disekitarnya Ibu dan gadis cantik itu bercakap cakap, Dibawah air hujan dan petir aku tak mendengar, hanya memperhatikan mereka bercakap-cakap
Aku menunggu, sesekali dari tangan ibu itu memberikan kode dengan menunjukku yang menandakan sedang berkata tentang aku, Aku serba salah, ingin aku rasanya pergi, toh aku sudah membayar, toh aku juga tidak salah apa apa, Aku menguatkan tekadku, Kubusungkan dadaku, Kukuat kan kakiku, Aku berdiri Namun,
“Mas?” Gadis itu menyapaku, wajahnya tersenyum malu malu, nampak dari gelagatnya “Eh” “Sebentar mas” gadis itu tahu aku hendak pergi, Gadis itu memasuki rumahnya Beberapa waktu keluar kembali, membawakan sebuah kopi hitam Aku menggaruk kepala, tak mengerti.
Gadis itu duduk tepat di sampingku, ia berusaha tersenyum, senyumannya manis, sangat manis bahkan membuatku lupa akan hidupku, aku jatuh, terjatuh dalam terikat lubang, tak kan keluar lagi, CINTA, jatuh cinta untuk pertama kalinya dalam hidupku, setelah remuk redam melihat mantanku menikahi lelaki idiot yang sok kaya itu.
“Ini aku buatkan kopi” gadis itu tersenyum, malu, kadang menunduk, mukanya merah menyembunyikan sesuatu “Eh” jawabku, aku gelagapan dibuatnya, butuh waktu yang tepat untuk menanggapi kata-katanya “Ini kopinya diminum dulu, keburu dingin” dia tersenyum kembali menatapku, aku tak membalas pandangan itu, pandangannya menikam perasaanku, mencampuradukkan fakta, realita dan khayalan. “Eh iya” jawabku salah tingkah
Kopi hitam itu aku pegang, tanganku agak gemetar, aku tidak takut, hanya sedikit gusar, grogi dan entahlah aku tak mengerti apa ini.
Kopi hitam itu aku pegang, Tiba tiba perasaan aneh melandaku, entah perasaan apa ini, Aku mencoba berpikir waras, Aku memegang kopi itu, namun aku yakin gelas itu tidak panas seperti yang dikatakan gadis itu, gelas itu dingin, bahkan sangat dingin bisa dikatakan tidak ada panas panasnya sedikitpun, Aku minum sedikit, Aku tersedak, hampir kusemburkan kopi itu, rasa kopi itu aneh, berbau menyan, kembang, dan rasanya sangat pahit, bukan pahit kopi, pahit sejenis tanaman, aku tak pernah meminum kopi seperti ini, ini bukan kopi!
Aku perhatikan lagi, aku lihat kopi itu, dalam remang aku rasa ini bukan kopi, aku usah mulutku yang masih ada kopi itu Astaga! Teksturnya aku yakin ini bukan kopi, ini darah!
Cerpen Karangan: Nisca Marsandi Blog / Facebook: @niscamarsandi Seperti yang di kisah kan amiru kepadaku