.
.
.
Jatuh cinta merupakan sesuatu hal yang sangat menyenangkan, sekaligus menakutkan di saat yang bersamaan. Bukan secara harfiah, melainkan sensasi yang kalian rasakan setiap kali melihat orang yang kalian cintai, yang mana bisa membuat kalian mendadak berubah menjadi sosok yang berbeda.
Itulah yang sedang dialami oleh Rion. Laki-laki tampan itu selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke sebuah toko bunga setiap minggunya demi melihat seorang florist yang berhasil menyita perhatiannya. Namanya Naya, gadis ramah yang berhasil menjadi tempat berlabuhnya hati Rion. Entah mengapa, senyum manis milik gadis itu selalu berhasil membuat dirinya tak berkutik.
Sejak pertemuan pertama mereka beberapa minggu yang lalu, Rion telah bertekad untuk mendekati gadis itu. Ya, meskipun nyalinya langsung menciut setiap kali mereka bertemu pandang. Sosoknya yang dikenal ramah nan ceria seketika berubah menjadi pendiam jika sudah berada di hadapan Naya. Tak heran jika Hisyam, sahabat karibnya, selalu menyebutnya sebagai seorang tsundere.
"Kali ini apalagi?"
Hisyam menatap Rion datar tat kala mendengar dengusan keras dari sang sahabat. Laki-laki itu menyeruput Hot Caramel Latte miliknya sembari memperhatikan raut wajah Rion yang terlihat masam. Bisa dipastikan laki-laki tampan namun nol dalam hal percintaan itu memiliki masalah yang cukup serius, mungkin.
"Dia udah tunangan."
"Siapa?"
Rion menggeleng seraya mengusap wajahnya kasar, kemudian menatap sendu sketchbook miliknya dimana terdapat gambar seorang gadis bersurai panjang. Ngomong-ngomong, ia adalah seorang komikus yang cukup terkenal. Karya-karyanya sering menjadi best seller, bahkan beberapa diantaranya sudah diadaptasi menjadi film layar lebar.
Hisyam lalu menghela napas. "Emangnya kamu tahu darimana?"
"Aku lihat sendiri!" balas Rion cepat, tanpa menyadari nada bicaranya yang meninggi.
Sekaligus sukses membuat keduanya menjadi pusat perhatian para pengunjung kafe. Menyadari hal tersebut, Hisyam langsung mengedarkan pandangannya diiringi senyuman yang ia tujukan pada setiap pengunjung sebagai permintaan maaf.
Laki-laki itu lantas menatap Rion nyalang. "Kamu gila, ya?! Kalo mau mempermalukan diri, jangan ajak-ajak aku dong!" sungutnya kesal.
Sayang, Rion sama sekali tidak menggubris perkataannya.
"Aku ketemu sama tunangannya kemarin. Terus dia bilang mereka lagi nyiapin acara pernikahan mereka dalam waktu dekat," ujar laki-laki itu.
Raut wajahnya yang semakin kusut tak ayal membuat Hisyam meringis. Siapa yang menyangka jika laki-laki yang ia kenal sebagai sosok gila kerja itu kini tengah uring-uringan hanya karena seorang gadis.
Jujur, ia cukup terkejut saat menerima pesan dari sahabatnya itu yang tiba-tiba saja memintanya—bahkan bisa dibilang memaksa—untuk menemuinya saat istirahat makan siang. Jika bukan karena persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak masih TK, mungkin Hisyam ogah pergi jauh-jauh ke kafe yang notabene cukup jauh dari kantornya.
"Aku ikut sedih dengernya, bro. Kayaknya emang udah waktunya kamu mundur," balas Hisyam kemudian, berusaha menenangkan.
Ya, meskipun ia cukup kesal dengan tindakan sang sahabat yang terbilang sangat lemot. Padahal keduanya sudah sama-sama saling mengenal satu sama lain. Satu bulan adalah waktu yang cukup menurutnya untuk melakukan pendekatan. Bukannya segera tancap gas, laki-laki itu malah senantiasa mengulur waktu.
"Lagian kenapa nggak dari awal aja sih confessnya? Kalo gini kan jadinya kamu malah susah buat move on."
"Justru aku bakalan malu kalo tau ternyata dia udah punya tunangan. Mau ditaruh dimana coba muka ganteng paripurnaku?"
Hisyam sontak mengernyit jijik tat kala mendengar ujaran penuh percaya diri tersebut. Sekalipun itu fakta, tapi apa gunanya jika tidak berhasil menjadikannya sebagai miliknya.
Yhaaa...!
"Senggaknya kamu jadi lega karena udah jujur," lanjutnya kemudian.
Sementara sang sahabat justru mendengus. "Padahal kalo aku perhatiin, nggak ada tuh cincin tunangan di jarinya," balas Rion dengan raut wajah serius.
Hisyam yang saat itu sedang meneguk kopinya seketika tersedak. "Busettt!! Sampek segitunya?! Udah bucin beneran ternyata???" balasnya tak percaya.
Tidak heran sih sebenarnya. Mengingat kebiasaan sang sahabat yang rela menghabiskan uangnya hanya untuk membeli bunga sekali dalam seminggu. Kemudian dibagikan kepada setiap orang yang ia temui dijalan. Bahkan laki-laki itu menjadi orang yang paling rajin mengganti bunga yang dia letakkan sendiri—tanpa ada yang menyuruhnya—di meja kantornya. Hal yang membuat Hisyam sempat berpikir untuk menjadikan sahabatnya itu sebagai sekretarisnya, namun urung lantaran dirinya tidak ingin ketularan gila.
Laki-laki itu mengerjap beberapa kali sebelum menaruh cangkir kopinya kembali ke atas meja.
"Ya, setiap orang kan beda-beda. Siapa tahu dia emang nggak mau nunjukin statusnya. Atau dia emang nggak nyaman pakek cincin. Who knows?"
"Iya juga, sih."
Hisyam menghela napas panjang. "Terus sekarang gimana? Kamu yakin mau nyerah?"
"Ya iyalah! Aku nggak gila buat hancurin hubungan orang lain." Rion lalu menyandarkan punggungnya sembari bersidekap dada. "Sepertinya dia memang tidak ditakdirkan untukku."
"Cih, sok puitis!"
Usai mencibir sang sahabat, Hisyam lantas melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Jam makan siangku udah abis, nih! Aku harus balik lagi ke kantor."
Laki-laki itu kemudian mengambil jasnya yang ia sampirkan pada kursi sebelum mengalihkan atensinya pada Rion. "Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sendirian di sini?"
"Kamu kira aku anak kecil?" balas sang empunya dengan ekspresi wajah—kelewat—datar.
Mendengar itu, Hisyam pun tergelak. "Siapa tahu aja kamu nangis gara-gara ngegalauin si mbak crush yang udah punya tunangan."
Rion tak ayal mendengus pelan.
Tentu saja dirinya tidak akan menangis. Setidaknya untuk saat ini, tidak tahu jika nanti.
***
"Mampir nggak ya...?"
Rion tampak sedang menimbang-nimbang. Hampir 15 menit laki-laki itu berdiri di depan toko bunga tempat dimana Naya bekerja. Ia menggigit bibir bawahnya ragu, memikirkan keputusannya untuk menemui Naya. Lagipula, ia hanya akan membeli bunga seperti biasa. Ya, meski kemungkinan ini akan menjadi kali terakhir dirinya berkunjung ke toko ini, mengingat gadis itu sebentar lagi akan segera menikah.
Memikirkannya saja sudah membuat hatinya tersayat perih. Sepertinya Hisyam benar. Memang sudah sepatutnya ia move on.
"Mampir aja deh!"
Setelah cukup lama berdebat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Rion memutuskan untuk masuk ke dalam toko.
"Selamat dat—eh, Kak Rion!"
Sapaan riang dari Naya sukses mempercepat debaran di jantungnya, otomatis membuat radar tsunderenya menjadi aktif. Dengan segera laki-laki itu bersikap—sok—cool meski jauh di lubuk hatinya ia sedang tertawa kegirangan.
Senyumnya itu lho, bikin hati meleleh.
"Jadi, mau bunga apa kali ini?" tanya Naya seperti biasa.
Laki-laki itu memang gemar membeli bunga dengan jenis yang berbeda-beda setiap minggunya.
"Mau yang ini aja," ujar Rion sembari menunjuk bunga krisan kuning di depannya.
Kalau ia tidak salah ingat, bunga itu melambangkan kesedihan dan juga cinta yang diabaikan. Berhubung dirinya sedang patah hati, maka ia memutuskan untuk membeli bunga tersebut sebagai tanda bela sungkawa atas hubungan percintannya yang berakhir tragis. Setidaknya itu menurutnya.
"Tumben. Biasanya Kakak beli daisy."
"Iya, saya lagi galau soalnya."
Jangan tanya ia tahu darimana. Rion bahkan mencari tahu arti dari setiap bunga, berharap gadis itu akan peka terhadap perasaannya. Oleh karena itu, akhir-akhir ini ia lebih sering membeli bunga daisy merah yang berarti cinta dalam diam.
"Ada lagi?"
Rion menggeleng. Usai membayar, laki-laki itu langsung melenggang pergi. Namun, saat tiba di ambang pintu, ia kembali berbalik.
"O,iya..." Tanpa sadar tatapannya berubah sendu. "...selamat ya buat pernikahan kamu."
"Hah?"
"Kemarin saya nggak sengaja ketemu sama tunangan kamu. Katanya kalian lagi ngerencanain pernikahan kalian bulan ini. Selamat ya," ujarnya sembari memaksakan senyum.
Seketika Naya terdiam.
Jujur, itu merupakan kalimat terpanjang yang pernah keluar dari mulut laki-laki tersebut.
"Tunangan?"
Gadis itu lantas memiringkan kepalanya bingung, membuat Rion refleks meremas bouquet bunga ditangannya karena sungguh! Gadis itu terlihat sangat menggemaskan saat ini.
Tuhan...mengapa bukan diriku yang menjadi jodohnya, batinnya nestapa.
"Maksud Kakak siapa?"
"Cowok yang minggu lalu dateng ke sini."
Rion menghela napas. Ia harus cepat-cepat pergi dari sini atau dirinya benar-benar akan gagal move on.
"Udah kan? Kalo gitu saya permi—"
"Itu bukan cowok aku!"
Langkah Rion seketika terhenti.
Perlahan ia berbalik. Dilihatnya Naya berjalan menghampirinya, membuatnya refleks menahan napas selama beberapa saat. Duh... Kalau begini caranya, bisa-bisa ia pingsan.
"Yang Kakak lihat waktu itu..." Naya mendongak, menatap langsung ke arah manik gelap milik Rion. "...itu bukan cowok aku. Kakak salah paham."
Rion mengerjap cepat, "M–maksudnya?"
"Ya kali aku nikah sama kakak kandung aku sendiri," dengus Naya kemudian.
Jadi, laki-laki yang waktu itu...
"Namanya Novian. Dia emang suka bercanda."
Rion masih belum membalas. Seakan nyawanya masih berkelana entah kemana. Hal ini cukup mengejutkan untuknya. Belum lagi dirinya yang mendapatkan serangan mendadak saat gadis itu tiba-tiba saja menggenggam erat tangannya.
Tunggu—apa?
"Maaf ya, Kak. Kak Pian nggak ngomong yang aneh-aneh kan?"
Gelengan kepala dari Rion sontak membuat Naya tersenyum. "Syukur deh kalo gitu. Soalnya pikiran Kak Pian kadang suka di luar nalar. Padahal dia dokter."
Mendengar peryataan Naya barusan, Rion pun meringis. Pantas saja laki-laki itu berkata akan mengajak Naya honeymoon ke bulan. Ternyata masih ada yang jauh lebih absurd dari Hisyam. Lebih baik dirinya menyembunyikan hal ini dari Naya.
"Ngomong-ngomong. Aku udah baca karya terbaru Kakak," lanjut Naya.
Seketika Rion mengernyit mendengarnya. Perasaan dirinya tidak pernah mengatakan apapun tentang profesinya. Bagaimana gadis itu bisa tahu?
"Ceritanya bagus, Happy Ending lagi." Naya berujar sembari berjalan mendekat, membuat Rion refleks melangkah mundur.
Tunggu sebentar!
Situasi macam apa ini?
Laki-laki itu tersentak dengan mata yang melebar sempurna begitu merasakan punggungnya menabrak sebuah lemari kaca berisi pot mini dan berbagai macam bunga hias. Tanpa sadar, ia menelan ludah susah payah.
"Jadi, gimana...?" Senyum di bibir Naya perlahan mengembang, bersamaan dengan langkahnya yang terhenti. "...hubungan kita nggak mau dibikin Happy Ending juga?"
-------------------------------------------------
*BONUS*
"Makasih ya Bang, udah ditebengin."
"Santuy. Lagian aku juga sekalian mau makan malem sama adek."
Hisyam tersenyum penuh kelegaan.
Sungguh, dirinya sangat bersyukur bertemu dengan seniornya dulu. Meskipun berbeda jurusan, namun keduanya tetap berteman baik mengingat dirinya yang terlampau sering berkunjung ke fakultas kedokteran demi menemui sang kekasih tercinta.
Berawal dari mobilnya yang tiba-tiba saja mogok di tengah jalan padahal dirinya sedang ada janji temu dengan kekasihnya. Ditambah dengan ponselnya yang lowbatt jelas semakin memperparah keadaan. Bayang-bayang sang kekasih yang ngambek senantiasa menghantuinya, membuatnya dilanda kepanikan.
Beruntung Novian muncul bak kesatria. Laki-laki itu kemudian—dengan senang hati—menawarinya tumpangan mengingat tujuan mereka sama. Terima kasih kepada Dewi Fortuna yang masih berkenan berada di pihaknya malam ini. Setidaknya, ia bisa terbebas dari amukan sang kekasih.
"Sekali lagi makasih banyak ya, Bang. Kalo nggak ada Bang Pian, kayaknya hidupku beneran berakhir malem ini," ujar Hisyam, sukses mengundang tawa sang senior.
"Lebay amat. Kamu pikir si Yumna Godzilla apa?"
"Kalo lagi ngambek, malah bisa lebih serem dari itu."
"Ada-ada aja."
Keduanya pun berjalan beriringan memasuki restoran. Hisyam mengedarkan pandangannya untuk mencari kekasihnya, sementara Novian tampak sibuk dengan ponselnya. Kemungkinan besar laki-laki itu sedang menghubungi sang adik.
"Adek Abang udah dateng?" tanya Hisyam.
"Nggak tau. Tadi katanya sih udah di jalan." Novian lalu menoleh menatap Hisyam sembari menyimpan ponselnya ke dalam saku. "Yumna mana?"
"Kayaknya masih di jalan juga."
Mereka memutuskan untuk duduk di salah satu meja yang tersedia. Hisyam iseng melihat daftar menu. Diam-diam ia bersyukur telah tiba lebih dulu.
"Nah, itu dia orangnya!"
Seruan dari seniornya refleks membuatnya mendongak. Detik itu juga, rahangnya jatuh ke bawah. Tunggu! Ia tidak salah lihat, kan?
"Kenalin Bro, ini Adek aku. Namanya Naya."
Hisyam mengerjap, sementara Naya mengernyit.
"Temennya kak Rion?" tanya Naya yang dibalas anggukan pelan oleh Hisyam.
Melihat itu, Novian sontak menatap keduanya secara bergantian. "Kalian saling kenal?" tanya laki-laki itu bingung.
"Dia temen salah satu pelanggan di toko aku, yang sering aku ceritain itu lho, Kak."
"Oalah... Cowok yang kamu taksir itu?"
"Ish! Apaan sih, Kak!"
Hisyam hanya terdiam memperhatikan interaksi kedua kakak beradik di depannya. Sedikit merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami. Dunia ternyata memang sempit. Sesaat kemudian, seringai tipis menghiasi bibirnya tat kala sebuah ide brilian muncul secara tiba-tiba.
"Nay!"
"Iya?"
Seringai Hisyam pun semakin mengembang, "Mau aku bantu buat jadian sama Rion nggak?"
.
.
.
—THE END.