.
.
.
Aku sedang mengelap meja ketika pria itu membuka pintu. Gemerincing suara lonceng refleks membuatku mendongak. Begitu netra kami saling bertemu, seketika itu juga tubuhku terpaku di tempat. Sensasi aneh mulai kurasakan tat kala melihatnya tersenyum. Membuatku hanya bisa terdiam saat dirinya berjalan mendekat.
"Apa kafe ini masih buka?" tanyanya.
Satu hal yang terlintas dipikiranku, apakah pria ini seorang aktor? Atau model? Rasanya aku belum pernah melihat wajahnya muncul di TV.
Aku masih belum membalas, lebih tepatnya tidak bisa. Entah bagaimana lidahku terasa kelu, pun suaraku tercekat di tenggorokan.
Hei, yang benar saja! Tidak mungkin seulas senyuman dapat menghentikan sistem kerja otak seseorang, bukan?
"Halo ...!"
"Ya?"
Aku mengerjap saat kusadari pria itu melambaikan tangannya tepat di depan wajahku. Ya, setidaknya hal itu berhasil mengembalikan waktu yang sempat terhenti selama beberapa saat, kurasa.
"Ada yang bisa kubantu, Tuan?" tanyaku kemudian.
Sekuat tenaga aku mempertahankan ekspresi wajahku disertai debaran jantung yang kian menggila setiap detiknya. Jangan tanya alasannya, karena aku sendiri juga tidak tahu kenapa.
"Syukurlah, ternyata masih sempat."
Pria itu kembali tersenyum, otomatis membuat sudut bibirku ikut tertarik ke atas.
"One cappucino, please. Take away."
Aku mengangguk sebelum akhirnya beranjak ke bar. Kulihat pria itu duduk di salah satu kursi yang ada di dekat jendela. Tak lama ia mengeluarkan gawainya, kemudian memasang airpod dikedua telinganya.
Dilihat dari wajahnnya, sepertinya usia kami tidak jauh berbeda. Penampilannya lumayan rapi meski casual, dengan model ala-ala vintage yang justru sesuai dengan surai hazelnya. Sebuah kamera yang menggantung di lehernya membuatku berasumsi jikalau pria itu merupakan seorang fotografer.
Ngomong-ngomong, ini hanya perasaanku saja atau pria itu memang sedang menatap ke arahku?
"Nona, kau baik-baik saja? Kuperhatikan daritadi kau melamun."
Seketika aku tersentak. "T–tidak apa-apa, Tuan. Mohon tunggu sebentar. Pesanan anda akan segera siap!"
"Santai saja. Aku juga tidak sedang terburu-buru."
Sontak aku berdecak, kemudian menepuk pelan keningku. Sudah berapa lama aku memandanginya? Aku bahkan sampai lupa menyiapkan pesanannya.
Oh, bodohnya aku!
Lantas aku segera melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Begitu selesai membuatkan pesanannya, aku langsung mengantarkannya.
"Ini dia pesanan anda, Tuan," ujarku sembari meletakkan cappucinonya di atas meja.
Dapat kulihat ia tersentak, membuatku sedikit merasa bersalah lantaran tidak bermaksud mengejutkannya.
"Ah, terima kasih. Berapa yang harus kubayar?"
"Tidak perlu!"
Spontan aku berseru hingga menghentikan kegiatannya yang sedang menggeledah tas ranselnya. Pria itu mengerjap bingung, membuatku seketika tersadar akan sebuah kebodohan.
"Ah, maksudku ... sebenarnya kami sudah tutup sejak 15 menit yang lalu," jelasku sembari menunjuk papan penanda bertuliskan 'Closed' yang tergantung di pintu.
"Astaga, maafkan aku. Aku benar-benar tidak memperhatikan tandanya." Pria itu membekap mulutnya sendiri menggunakan kedua tangan dengan mata yang membulat lucu.
Sontak aku tertawa melihatnya. "Tidak apa-apa. Kebetulan aku juga belum membersihkan mesin kopinya. Jadi, anggap saja sebagai hadiah."
"Terima kasih banyak. Kau baik sekali."
Lagi-lagi ia tersenyum.
Senyum termanis yang pernah aku lihat. Ditambah dengan dimple yang—baru saja kusadari—ada di pipi kirinya.
Ia lalu beranjak sembari membenahi posisi tasnya. Kemudian mengambil hot cappucinonya sebelum akhirnya melenggang meninggalkan area kafe.
Selepas kepergiannya, aku langsung mendudukkan diriku pada kursi terdekat. Helaan napas panjang keluar dari mulutku setelah jutaan kupu-kupu berterbangan di ladang penuh bunga yang tumbuh di perutku secara tiba-tiba, sekaligus menjadi pengalaman baru untukku.
Jika biasanya aku selalu mengumpat setiap kali mendapat bagian shift malam, maka, untuk pertama kalinya aku bersyukur Tuhan telah mempertemukanku dengan sesosok malaikat tak bersayap yang mampir untuk membeli hot capuccino. Bahkan aku rela mendapat shift malam selamanya jika hal itu dapat membuatku bertemu kembali dengannya.
Meski hal itu terdengar sangat mustahil, namun, tak ada salahnya untuk berharap, bukan?
***
Sebulan berlalu.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sejak kejadian malam itu, aku kembali menjalani rutinitasku sebagai seorang barista. Dan selama itu pula, pria asing yang kini kuketahui bernama Arthur itu menjadi cukup rutin mengunjungi kafe. Salah satu alasan yang membuatku—tanpa sadar—menjadi lebih semangat dalam bekerja.
Sebagai seorang pegawai, tentunya aku senang jika memiliki seorang pelanggan tetap, bukan? Mungkin aku memang mengaguminya, namun rasanya terlalu cepat untuk menyimpulkannya sebagai cinta.
Hot cappucino menjadi pesanan favoritnya. Bahkan saat aku mencoba merekomendasikan varian kopi yang lain, pria itu hanya akan balas tersenyum dan menolak dengan ramah.
Selain itu, ada satu hal yang membuatku cukup penasaran.
Entah hanya perasaanku saja, atau pria itu memang hafal dengan shift kerjaku? Aku tidak ingin cepat mengambil kesimpulan, mengingat siapa tahu saja hal itu memang sebuah kebetulan. Namun, setelah mendengar pengakuan dari rekan-rekanku, aku jadi ragu. Mereka bilang pria itu tidak pernah datang jika aku sedang libur—Oh, baiklah.
Kurasa sudah cukup.
Aku benar-benar tidak ingin mengharapkan sesuatu hal yang tidak pasti.
Hari ini aku kembali mendapat bagian shift malam. Entah apa yang terjadi, tapi pria itu tidak datang. Jika boleh jujur, rasanya aneh ketika melihat pria itu tidak muncul untuk menikmati Hot Cappucinonya. Diam-diam, aku jadi sedikit merindukannya—maksudku, karena kami sudah biasa bertemu.
Malam ini aku tidak sendirian. Ada Jessica, Tiffany dan juga Margaret bersamaku.
Jessica yang merupakan rekan terdekatku sedang membuang sampah di luar. Sementara aku membantu Margaret merapikan meja dan kursi. Di meja kasir, terlihat Tiffany sedang menghitung uang. Aku terkekeh setiap kali mendengarnya mengomentari beberapa pelanggan yang—menurutnya—menyebalkan hari ini. Tak jarang Margaret ikut menimpali, diiringi dengan candaan ringan yang mana kian meramaikan suasana.
Setidaknya sebelum Jessica kembali dengan tingkah hebohnya.
"Alice! Ada surat untukmu!" Teriakannya menggelegar memenuhi seluruh penjuru kafe.
Aku hanya menggeleng pelan melihatnya—sudah terbiasa omong-omong. Lain halnya dengan gadis itu yang mendadak bungkam setelah mendapat semprotan dari Margaret.
"Siapa pengirimnya?" tanyaku seraya membolak-balikkan amplop coklat di tanganku.
"Entahlah. Dia bilang pengagum rahasiamu."
Sebelah alisku terangkat.
Pengagum rahasia?
Dengan segera aku membuka surat itu. Namun, saat hendak membacanya tiba-tiba saja aku terbatuk akibat tersedak air ludahku sendiri.
How beautiful it is!
Netraku membulat takjub, diiringi ujaran penuh kekaguman yang tak berhenti keluar dari mulutku begitu melihat foto diriku sendiri yang sedang membuat latte-art. Aku yakin benar orang yang mengambil foto ini pasti seorang fotografer profesional, karena sungguh ... hasilnya benar-benar luar biasa!
Aku kembali dibuat terbelalak oleh foto-foto lainnya yang diambil dengan berbagai angle. Astaga! Sepertinya orang ini telah memperhatikanku dalam waktu yang cukup lama. Aku mencoba mencari identitasnya, namun sayang tidak berhasil kutemukan. Baru setelah sampai di foto terakhir, aku menemukan sederet tulisan yang berbunyi ...,
"Seseorang yang terlihat sangat keren di balik mesin kopi. Hot cappucinonya adalah yang terbaik. Aku bertanya-tanya, apakah ada ramuan cinta di dalamnya? Karena sepertinya, aku telah jatuh hati sejak pertemuan pertama ....
From : A.H"
A.H?
Siapa kiranya pemilik dari inisial nama ini?
Aku tidak tahu pasti siapa orang yang telah mengaku-ngaku sebagai pengagum rahasiaku. Namun, setelah membaca tulisan itu, ditambah dengan adanya kata-kata 'Hot Cappucino', pikiranku langsung tertuju pada satu orang.
Mungkinkah, pria itu ...?
"Maaf Tuan, tapi kami sudah tutup."
Kepalaku refleks mendongak begitu mendengar suara Tiffany barusan.
Detik itu juga, mataku membulat sempurna. Mulutku menganga tak percaya. Sementara tubuhku membeku bak sebuah patung medusa. Lengkap sudah keterkejutanku usai mendapati Arthur telah berdiri di hadapanku dengan penampilan yang jauh berbeda dari biasanya.
Tubuh jangkung itu terbalut setelan jas navy, dengan tatanan rambut yang memperlihatkan keningnya, serta kacamata yang bertengger di hidungnya.
Satu kata yang dapat menggambarkan penampilannya...
Sempurna!
"Aku kemari untuk bertemu dengan Nona Alice."
Aku terkesiap tat kala mendengar pria itu menyebut namaku.
Tubuhku beringsut mundur begitu melihatnya mulai berjalan mendekat. Rasa panas mulai menjalar di kedua pipiku tat kala melihat senyumnya yang mematikan.
Oh, dear ....
Ini sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku!
"Maaf telah memperhatikanmu secara diam-diam."
Aku mengerjapkan mataku berulang kali. Terlebih setelah pria itu menyodorkan seikat bunga mawar ke arahku.
"Aku tidak suka berbasa-basi. Jadi langsung saja ...," Bisa kudengar suara rekan-rekanku yang terkesiap. "Apa kau bersedia menerima tawaran kencanku, Nona?"
Siapapun ... tolong bangunkan aku sekarang juga, karena aku pasti sedang bermimpi.
.
.
.
—The End.