Bagi kebanyakan orang mimpi mungkin hanya bunga tidur atau jelmaan perasaan yang terpendam hingga akhirnya terbawa dalam mimpi.
Tetapi ini tidak untuk mimpi yang aku alami, mimpi yang masih terus terbayang hingga aku terbangun di pagi hari.
Masih kuingat saat itu, sedari sore aku sudah gelisah, tubuhku getah dan hatiku terus berdebar, emosi yang tiba-tiba mudah tersulut.
"Arti, ambilah air wudhu dan lekas kau shalat," ucap Ibu menegur karena melihat tingkahku yang serba salah.
"Tapi, Bu. Arti sudah shalat Isya," tolak Arti dengan bibir cemberut.
Mendengar jawaban dari bibirku Ibu seketika menatapku dengan tajam seakan tak terima ketika aku membantah.
"Jika kau sudah shalat kenapa kau uring-uringan dan serba salah. Ibu jadi heran melihat tingkahmu," tutur Ibu geram.
"Sana! Lekas ambil air wudhu dan tidur, ingat lekas tidur!" ujar Ibu marah.
Arti langsung beringsut pergi menuju kamar mandi dan tak lama sudah kembali, Arti masuk dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.
"Bruuk .... "
"Arti, kenapa kau marah dan apa salah daun pintu itu hingga kau lampiaskan marahmu pada daun pintu!" teriak Ibu dari luar kamar dan keras.
Di dalam kamar Arti masih belum bisa terlelap, suasana kamar yang tiba-tiba menghangat dan itu membuat Arti semakin gerah.
"Huff ... "kenapa panas sekali, jika begini mana mungkin aku bisa tidur," guman Arti sembari membolak balik tubuhnya di atas ranjang mencari posisi ternyaman untuk berbaring.
Hingga pukul sebelas malam, suhu di dalam kamar mulai berubah. Udara tadi yang terasa panas kini berubah menjadi sejuk, udara dingin yang bercampur air, meniup sepoi seakan Arti berada di hamparan tanah lapang yang luas.
"Hm ... segarnya, tubuhku rasanya nyaman dan ... "huam ... Arti menguap.
Semakin lama Arti merasakan hembusan angin yang semakin membuatnya nyaman, tubuhnya kini berbaring sempurna dengan posisi tidur ternyaman yang baru Arti rasakan.
Netra Arti perlahan terpejam, Arti kini tekah terbang ke bawah alam sadar yang tak pernah Arti jumpai. Sukma Arti kini sudah berjalan di gang kecil yang di apit beberapa rumah yang berjajar berdampingan kanan dan kiri.
Di alam mimpi, sukma Arti berdiri mematung menatap empat rumah lama, rumah yang tak pernah Arti jumpai tetapi Arti mengenal sosok-sosok yang berlalu lalang di gang tersebut.
Terlihat jelas jika rumah yang Arti tatap itu adalah rumah milik paman dan bibinya, serta kerabat yang lainnya. Tetapi di sini yang terlihat nyata adalah rumah Paman dan Bibinya yang sedang mengadakan hajatan. Arti masih berdiri di antara hiruk pikuk orang yang berlalu lalang sibuk mengerjakan ini dan itu tetapi tidak saling menyapa.
Hembusan angin dingin kembali membuat tubuh Arti meremang, ini bukan hawa dingin yang sejuk dan menenangkan tetapi ini adalah hawa dingin yang menusuk tulang.
Sejenak Arti menatap sekitar tempatnya berdiri bersamaan terciumnya bau anyir yang terbawa angin yang berhembus.
Sesaat dada Arti tiba-tiba sesak, Arti berusaha menolak bau anyir yang menusuk hidungnya tajam.
Seakan mendapat perintah, tubuh Arti langsung beringsut menepi berdiri merapat di dinding. Arti terkejut saat tiba-tiba sudah berdiri sosok di depan Arti, wanita cantik, memakai mahkota dan berkemben berwarna hijau, tak ada percakapan antara Arti dengan sosok di depannya, hanya tatapan tajam dari netra sosok ini yang seakan menembus jantung Arti dengan senyum sinis.
Arti masih berdiri, hingga Arti sadar jika wanita cantik ini bertubuh manusi tetapi, "astafirullah," ternyata wanita cantik ini tak sempurna beringsut pergi dengan cepat menggunakan ekornya dan masuk di salah satu sudut rumah Paman.
Arti seketika terbangun dengan tubuh penuh keringat. Terbangun dari tidurnya pun Arti masih mengingat dengan jelas mimpi yang baru di alaminya. Berkali-kali Arti beristifar hungga hatinya merasa tenang . "Masih pukul tiga pagi," guman Arti sembari keluar dari kamar untuk mengambil air putih dan meminumnya hingga tandas.
pagi, hari. Arti memilih untuk tidak menceritakan mimpi yang di alaminya karena Arti takut jika Ibunya marah. Hingga satu minggu lamanya Arti baru menceritakan mimpi yang di alaminya pada Ibunya setelah cukup lama Arti menimbang dengan pilihan antara ya dan tidak.
"Astafirullah!" ucap Ibu setelah mendengar ceritaku.
"Kenapa kau baru cerita Arti, ini bisa jadi pertanda buruk," ucap Ibu sembari berdiri dan berjalan tergopoh menghampiri rumah Paman.
Namun, belum juga langkah Ibu sampai di teras, dari arah belakang terdengar teriakan histeris.
Sangat jelas jika itu suara Paman dan Bibi.
Ibu yang mendengar ini langsung berlari berhambur menuju rumah Paman. Kembali terdengar teriakan dari rumah Paman dan ini juga jelas terdengar jika itu suara Ibu.
Rasa penasaran yang tiba-tiba menganggu pikiran dan hatiku, membuat Arti langsung berlari ke belakang rumah. Arti seketika berdiri terdiam menatap ke arah rumah Paman. Ibu, Paman dan Bibi menangis tergugu dengan saling berpelukan.
Perlahan Arti melangkah masuk dalam rumah. Ibu yang melihatku langsung memeluk erat, menatap netraku lekat.
"Arti. Mas Bagas, Arti! Mas Bagas," ucap Ibu pelan di sela-sela isaknya.
"Kenapa Mas Bagas Bu?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
"Mas Bagas, meninggal Arti, Mas Bagas mengalami kecelakaan dan nyawanya tak tertolong."
Hanya ini kata-kata yang terakhir kudengar karena selebihnya, aku hanya mendengar suara bising dan netraku juga gelap dan terakhir kurasakan tubuhku limbung di pangkuan Ibu.