Levin gartana lelaki berusia dua puluh lima tahun, ia bekerja sebagai reporter pembawa berita di salah satu stasiun televisi ternama di kota.
Levin anak tertua dari dua bersaudara, ia memiliki adik perempuan yang baru lulus sekolah dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia sangat menyayangi keluarganya, ia memanjakan adik satu-satunya.
"Kamu mau lanjut kuliah dimana, dek?" Tanya Levin saat selesai makan malam.
Mereka mengobrol setelah makan di ruang keluarga. Sudah rutinitas setiap malam, kalau Levin tidak sedang bekerja mereka akan kumpul bersama.
"Iya dek, kamu mau nerusin kuliah dimana?"
"Sebelum kuliah, harus siapkan mental kamu dek. Jangan manja terus sama kak Levin yah, kamu kan sudah besar dan sudah mau kuliah."
"Tenang aja pa, Cia kan sudah gede." Ucapnya tersenyum.
"Yakin? Jangan minta antar jemput kakak ya, pakai kendaraan sendiri atau naik angkutan umum."
"Mama juga gak yakin."
"Malah gak percaya. Walaupun tidak sepenuhnya sikap cia berubah, yang terpenting kan cia mau belajar bersikap dewasa."
"Good girl." Ucap semua nya bersamaan.
Pagi sudah tiba, saat Levin mandi tiba-tiba air mati saat dirinya sedang keramas. Padahal tidak ada sama sekali gangguan listrik. Kemudian saat ia akan keluar air yang tadi mati, nyala kembali. Levin bingung namun tetap melanjutkan mandinya. Saat menyikat gigi juga tangannya seperti tidak mampu untuk menggosok nya, terasa berat dan terjatuh.
Mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi, dan memulai aktivitas yang seperti biasanya. Mama mereka mengambilkan roti dan selainya, untuk di berikan kepada anak dan suaminya. Sendok yang Levin pakai terjatuh.
"Kamu kenapa vin?" Tanya mama menatap Levin.
"Levin gak pa-pa kok ma, tangan Levin hanya sedikit bermasalah."
"Hari ini kamu tidak usah berangkat kerja ya nak, mama lihat wajah kamu kurang sehat, mungkin itu berpengaruh pada tenaga kamu saat memegang sendok."
"Levin hari ini kerja ma, dan itu tugas Levin saat menjadi reporter. Cita-cita Levin membawakan berita dan bisa masuk tv."
"Tapi firasat mama gak enak, kamu istirahat aja yah?"
"Iya Vin, bahaya saat kamu kurang fit."
"Mending kak Levin gak usah kerja dulu, lagian hari ini cia mau berangkat sama papa aja lihat kampus."
"Yakin gak mau kakak aja yang antar?" Tanya nya
"Tidak, hari ini cia ikut papa, hari ini cia mau ikut papa ke kantor sampai jam makan siang. Jangan paksa cia untuk ikut kak Levin."
"Siapa juga yang maksa yeee."
"Kamu jaga diri yah, udah besar gini jangan manja. Kakak juga tidak selamanya bisa jaga kamu." Ucap Levin mengacak rambut adiknya.
"Kak Levin harus selalu jaga cia, sampai cia menemukan laki-laki yang mampu menggantikan posisi kak Levin." Levin tersenyum menatap adiknya.
Saat akan berangkat Levin bersujud pada mama nya, ia meminta maaf jika tidak menurutinya.
"Maafin Levin ma, hari ini Levin harus kerja. Nanti setelah selesai kerja, Levin langsung pulang dan istirahat."
"Hari ini aja sayang, mama khawatir terjadi sesuatu yang buruk."
"Mama tenang aja, oke?"
Mama nya hanya mengangguk, padahal dirinya tidak mengizinkan anaknya itu pergi.
"Papa, Levin minta maaf kalau Levin ada salah. Kamu juga dek, jaga diri baik-baik."
"Mama, Levin minta maaf ya." Ucapnya meminta maaf berulang kali kepada kedua orang tuanya dan mengatakan pada cia bahwa dia harus baik-baik saja. Levin takut terjadi apa-apa terhadap adiknya, karena tanpa pengawasan nya.
Tepat jam sembilan, mama menonton televisi untuk mencari anaknya yang sedang membawakan berita.
Namun bukan anaknya yang membawakan berita, tapi anaknya yang di beritakan. Bahwa terjadi kecelakaan tunggal, pengemudi menabrak trotoar.
Mama nya yang sedang menonton langsung syok, ia mengambil ponselnya cepat untuk menghubungi sang suami. Agar melihat lokasi kejadian, apakah benar yang di beritakan di televisi jika anaknya yang kecelakaan.
Tak berapa lama ambulans tiba di rumah nya, buru-buru mama Levin keluar untuk memastikan.
Mama hanya mematung saat orang membawanya masuk ke dalam rumah, di susul oleh papa dan cia yang sudah menangis.
"Mama," panggil cia.
"Katakan sama mama, kalau ini hanya bercanda. Iya kan? Kalian mau kasih surprise mama."
"Ini asli ma hiks, kalau gak percaya ayo kita lihat jasad kak Levin di dalam." Mama langsung masuk menyusul suami dan orang-orang.
Dengan cepat ia membuka kain yang menutupi wajah anaknya. Dengan tangan gemetar, ia menariknya pelan.
Mama memejamkan matanya, berdoa supaya bukan anaknya yang di balik kain itu.
Namun nyatanya, firasat nya benar. Anaknya yang ia larang berangkat bekerja lah yang saat ini berbaring di hadapannya.
Tangisnya pecah, anaknya sudah tidak bernyawa. Wajah dan bibir yang pucat, dengan deru nafas yang sudah tidak lagi ia rasakan di hidung Levin saat ia memeriksa nya.
Papa memeluk istrinya yang sedang menangis, ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Anak tertuanya sudah tidak ada, hanya tersisa cia.
"Bangun kak, Hiks. Cia sudah bisa berangkat sendiri, Cia sudah tidak perlu diantar kak Levin atau papa. Cia sudah besar dan mandiri. Bangun kak! Cia tidak akan lagi merepotkan kak Levin." Tangisnya begitu histeris, cia yang terus bersama Levin sejak dulu. Sampai dirinya akan memasuki perguruan tinggi.
Saat Levin akan berangkat kerja, itu adalah permintaan maaf terakhir nya. Menyuruh adiknya untuk menjaga diri dan tidak manja lagi.
Firasat ibunya yang merasa tidak enak, membuat nya menentang dan tetap pergi.
Kita tidak akan jauh dan menghindari maut, mau bersembunyi di manapun tetap saja akan datang.
Karena itu sudah janji nya sebelum kita di lahirkan.
Maka dari itu teruslah berbuat baik, perbanyak amal ibadah untuk bekal kita di akhirat. Karena maut tidak memberi kabar saat akan bertamu.
End