Anevay duduk termenung di kursi memegang selembar kertas dengan judul yang tertulis paling atas dari kertas itu ‘Akta Cerai’ dan bagian jari tangannya yang memegang kertas itu kelihatan sudah ditandatangani dan disahkan oleh Panitera.
Anevay adalah seorang mantan istri dari Sigra yang punya usia sama dengannya yakni 44 tahun. Tapi dari gelar Seorang Istri menjadi Mantan Istri kelihatannya begitu mudah terganti hanya dengan selembar kertas. Hanya saja gelar seorang Ibu tidak bisa ia ganti dengan mudahnya begitu saja. Bahkan jika dengan pernyataan dari selembar kertas tidak bisa membuat gelar itu hilang begitu saja. Ibu tetaplah seorang ibu dan menurut Anevay, dirinya adalah ibu terburuk yang ada di dunia ini.
Di depan kursi yang ditempati duduk oleh Anevay, ada Sigra yakni Mantan Suaminya. Memiliki ekspresi yang sama dan memegang lembaran kertas yang sama persis. Keduanya masih memakai cincin emas di jari yang sama. Entahlah karena masih memiliki perasaan yang tersisa atau hanya karena terlalu sibuk dengan masalah sehingga lupa melepas benda yang penuh kenangan itu atau karena sudah menjadi kebiasaan sehingga rasanya aneh jika dilepaskan. Bagaimana tidak, cincin itu sudah terpakai selama 18 tahun pernikahan mereka. Kebiasaan yang dilakukan selama 1 tahun saja sulit untuk dilepaskan apalagi untuk waktu yang sudah lama itu.
Tidak ada yang pernah membayangkan pemandangan mereka berdua berada di lorong Pengadilan yang baru saja memutuskan hubungan pernikahan mereka yang berusia 18 tahun itu. Hakim yang tadi memutuskan perceraian mereka masih berada di dalam ruangan itu dan tentunya sudah menangani kasus baru lainnya, melupakan kasus yang baru saja mereka putuskan.
Bagi Sigra memenangkan hati Anevay butuh 11 tahun lamanya untuk sampai ke jenjang pernikahan, saat itu dirinya masih dibangku SMA kelas 2 dan sama-sama masih berusia 16 tahun. Kenangan saat itu baik suka dan duka begitu dinikmati oleh Sigra. Penolakan tak terhingga dari Anevay, tapi beberapa saat kemudian melihat senyum dan tawanya membuat kembali bersemangat untuk memenangkan hati Anevay.
Tidak terbayangkan kini mereka berdua tidak lagi duduk berseblahan saling menyemangati dan menghibur dikala sedih sedang melanda melainkan saling acuh dan tidak mau lagi bertatapan satu sama lain walau itu hanya sebentar.
Itulah akhir kisah dari dua sahabat yang menyatakan janji 18 tahun yang lalu untuk menikah dan menjadi sahabat selamanya. Bagaimana kisah itu berakhir, mungkin perlu dijelaskan. Kisah ini dimulai saat mereka bukan lagi hanya sekedar sahabat saja tapi setelah menjadi orangtua. Tidak ada yang menyangka bahwa gelar Ayah dan Ibu begitu sangat membahagiakan untuk didengar untuk pertama kalinya tapi seiring waktu berjalan gelar itu menjadi beban dan tanggung jawab yang berat. Bahkan mungkin untuk atlit angkat besipun sulit untuk tangani, bercanda! Kita kembali ke inti ... Anevay dan Sigra memutuskan untuk menikah diusia 26 tahun, sudah sama-sama selesai kuliah dan memiliki pekerjaan tetap yang membuat mereka yakin bahwa sudah tidak akan membebani orangtua lagi dan meminta biaya hidup lagi. Melainkan sudah bisa mandiri dan membuat keluarga sendiri yang tidak akan merasakan kekurangan setidaknya untuk memikirkan besok makan apa sudah tidak terjadi lagi. Maklum anak rantauan yang hanya kos-kosan dari kuliah yang hanya makan mie instant katanya untuk hemat karena biaya untuk keperluan kuliah lebih utama dan terus diburu waktu maka makanan yang cepat dan murah hanya itu yang paling cocok.
Hubungan Anevay dan Sigra putus nyambung saat masa kuliah karena kesibukan masing-masing. Kampus yang tidak sama membuat mereka saling curiga dan cemburu. Tapi disaat masa sulit, orang pertama yang dihubungi adalah cinta pertama dari SMA itu juga. Mereka berdua memang memiliki tempramen emosi yang sama sehingga saat bertengkar tidak ada yang ingin mengalah. Tapi saat saling membutuhkan mereka tahu harus menghubungi siapa dan tahu bahwa harus mengandalkan siapa.
Kadang tidak ada yang saling bicara satu sama lain saat bertemu karena baru saja bertengkar hebat tapi tetap membantu apa yang diperlukan masing-masing. Hanya saling kirim pesan untuk mengobrol. Keduanya sudah tahu bahwa saling membutuhkan satu sama lain semenjak pergi ke kota besar untuk kuliah bersama-sama meninggalkan kampung halaman. Keadaan perkuliahan dan takdir mereka diterima di kampus yang berbeda membuat hubungan mereka renggang. Tapi kerasnya hidup di perkotaan menyatukan mereka kembali hingga akhirnya lulus kuliah yang dikiranya itu hanyalah mimpi belaka mengingat bagaimana sulitnya mereka menjalani kehidupan sebagai mahasiswa dan mahsiswi di kota yang asing.
Setelah lulus mereka mendapat pekerjaan dari tawaran senior kampus masing-masing hingga menjadi pegawai tetap dan bisa menabung untuk persiapan memulai hidup baru bersama-sama. Mendapat restu dari orangtua adalah masalah lain lagi tapi setelah menjalani masa perkuliahan dan terjung di dunia pekerjaan. Masalah itu bagi mereka sudah bukan lagi perkara besar. Mereka sudah terbiasa dengan tatapan menakutkan dari dosen dan bos di tempat kerja. Tatapan calon mertua bagi mereka terlihat begitu hangat atau begitulah yang terlihat oleh mereka berdua karena saling berpegangan tangan datang ke orangtua masing-masing. Merasa jika bersama-sama menjalani dan melewati masalah itu, semuanya kelihatan begitu mudah dan hanya menjadi kenangan yang indah saja untuk diingat dikemudian hari.
Tahun pertama pernikahan adalah yang paling berat bagi mereka untuk jalani. Rasanya seperti siksaan yang tiada henti dan terus berkelanjutan. Saat pacaran mereka memang sudah punya banyak hal yang tidak disukai masing-masing dan setelah menikah bertambah 100x lipat atau begitulah mereka terlalu melebih-lebihkan kalau sedang emosi. Terkadang muncul rasa penyesalan kenapa mereka menikah jika begitu banyak perbedaan dan hanya terus bertengkar. Tapi semuanya menjadi berbeda saat memasuki tahun kedua pernikahan mereka.
Keduanya sudah mulai terbiasa masing-masing dengan kebiasaan pasangan. Sudah tahu apa yang dibenci dan apa yang harus dilakukan agar tidak memulai pertengkaran. Semuanya sudah mulai terorganisir dan hubungan mereka kembali harmonis. Memang butuh waktu untuk beradaptasi dengan tingkah laku dan kebiasaan pasangan yang tidak diketahui saat pacaran dan baru tahu saat sudah menikah. Tapi mereka terus mempertahankan hubungan dengan bantuan dari orangtua kedua belah pihak. Karena saran dari sahabat hanya menyuruh mereka untuk cerai saja, maklum sahabat mereka masih belum ada yang menikah dan terkesan tidak terlalu serius jika diajak untuk curhat. Tapi begitu jugalah Anevay dan Sigra bisa saling bertemu karena hanya mereka yang saling memahami karena sudah kenal sejak lama, “Inilah kenapa tidak boleh menikah dengan sahabat sendiri! Ingat baik-baik itu anak-anak! Kalau perlu catat dan beri garis merah!” begitulah teriakan dari sahabat Anevay saat datang ke tempat kerja sahabatnya meminta pendapat tapi hanya ditanggapi seperti itu. Anak TK yang mendengar hanya terdiam mendengar itu tidak tahu harus merespon seperti apa. Anevay buru-buru pamit, menurutnya keputusan buruk untuk mendatangi sahabatnya yang seorang Guru TK itu.
Setelah sudah mulai terbiasa dan beradaptasi dengan baik sebagai sahabat yang berada dibawah atap yang sama. Mereka dikejutkan oleh hadirnya anggota baru, tidak mengerti karena ini merupakan pengalaman pertama. Kebahagiaan hanya berlangsung sesaat karena setelah itu mereka dipusingkan oleh rincian biaya sebelum dan setelah memiliki anak. Keduanya menyatakan belum siap untuk itu, karena mereka memang hanya memutuskan menikah untuk bisa hidup bersama saja. Tidak perlu memikirkan harus memakai pakaian seperti apa saat bertemu dan saling merindukan saat berpamitan ke rumah masing-masing karena bisa hidup bersama di rumah yang sama. Saat pagi membuka mata sudah bertemu dan tidak ada lagi drama perpisahan.
Tapi mereka berpikiran positif saja, tidak ada yang pernah siap untuk menjadi orangtua. Semuanya pasti mengalami situasi baru dan pertama kalinya dalam hidup mereka itu. Keduanya punya saudara dan saudari tapi lebih banyak kenangan bertengkar daripada akurnya. Kalau ada tugas kelompok dan anggota yang tidak ikut andil dalam bekerja maka nama tidak akan ditulis. Rekan kerja yang meminta untuk digantikan waktu kerjanya karena ada keperluan selalu ditolak. Seperti itulah mereka tidak pernah menjaga dan merawat dengan baik seseorang. Untuk menjadi orangtua mereka cukup stres apa benar sudah siap untuk itu dan mampu mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai orangtua yang baik.
Anevay dan Sigra tumbuh dari keluarga yang terbilang harmonis karena tetap bertahan sampai sekarang meski sudah pernah melihat banyaknya pertengkaran kedua orangtua mereka. Hanya terus bersabar, bahkan melewati masalah besar sekalipun mereka tetap bertahan. Bagi Anevay dan Sigra itu adalah kenangan buruk di masa kecilnya tapi saat tumbuh besar dan mengalami hal yang sama akhirnya mereka mengerti bahwa apa yang orangtua mereka lakukan semuanya memiliki alasan dibaliknya dan wajar saja itu terjadi. Tidak ada memang yang benar-benar mengerti selain setelah menjalani dan merasakannya sendiri.
Masalah pertama yang datang adalah soal pekerjaan, Anevay memaksa untuk tetap bekerja meski terus muntah di pagi hari dan setelah mencium bau yang tidak disukainya. Anevay yang menjadi sangat sensitif dengan hal-hal kecil membuat Sigra merasa aneh. Merasa kalau baru mengenal lagi sisi baru dari Anevay itu, dikiranya selama ini sisi buruk Anevay sudah dilihat semuanya oleh Sigra tapi saat Anevay hamil, tumbuh tanduk diatas kepala Anevay atau begitulah apa yang dilihat oleh Sigra.
Bahkan sudah memasuki bulan untuk Anevay akan melahirkan belum menjadwalkan cuti dan masih aktif bekerja. Sigra mengancam akan mengetik dan mengirim surat pengunduran diri ke tempat kerja Anevay kalau tetap bersikeras tapi pertengkaran dimulai lagi. Anevay yang tidak ingin kehilangan jati dirinya sebagai wanita karir, belum siap kalau Sigra akan membuatnya melepas pekerjaan yang dicintainya itu. Tapi Sigra sendiri hanya ingin agar Anevay beristirahat dan takut jika saja Anevay tiba-tiba kontraksi di tempat kerja dan untuk cuti melahirkan, bagi Anevay itu terdengar sangat menakutkan karena banyak yang berhenti bekerja setelah cuti melahirkan dan tidak pernah lagi kembali bekerja setelah itu.
Jika memungkinkan Anevay ingin segera kembali bekerja setelah melahirkan, Sigra tidak bisa diam dan menertawakan rencana tidak masuk akal Anevay itu. Anevay tersinggung dan menangis terisak, merasa bahwa kehidupannya akan berakhir setelah menjadi seorang ibu. Sigra ingin menghibur tapi terlambat karena yang ditakutkannya itu terjadi, Anevay mengeluh kesakitan dan air ketubannya pecah. Sigra panik dan Anevay tidak bisa diajak bekerjasama apalagi diajak berbicara. Tidak ada yang berjalan lancar kalau saja tidak ada tetangga apartemen yang membantu memanggilkan taksi.
Katanya tetangga tidak lagi saling memperdulikan kalau tinggal di daerah perkotaan tapi ternyata pernyataan itu langsung disanggah oleh Anevay dan Sigra. Tanpa tetangga yang bahkan tidak dikenal namanya itu tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, untungnya ada mereka yang langsung membantu saat melihat keadaan kacau Anevay keluar dari apartemen bersama Sigra. Anevay seperti akan mencabut habis semua rambut di kepala Sigra dan Sigra sendiri yang biasanya mengangkat karung beras naik tangga kalau lift sedang diperbaiki biasa saja tapi membimbing Anevay untuk berjalan dia kesusahan. Sigra merasa lantai yang diinjaknya tidak rata dan seperti sedang terjadi gempa. Memang melahirkan tidak beda jauh dengan bencana alam, tidak diketahui pasti akan terjadi kapan dan saat terjadi tidak ada yang benar dalam keadaan siap.
Setelah melihat tulisan UGD, wajah Sigra seperti sedang melihat tambahan nol dibelakang notifikasi gajinya yang masuk. Setelah masuk rumah sakit, Sigra mengira sudah bisa bernapas lega ternyata hanya lembaran baru dari episode penyiksaan tiada akhir untuknya. Sigra menyukai kuku Anevay yang dirawat dan dibuat panjang tapi saat itu Sigra menjadi benci dengan dirinya sendiri kenapa mengatakan hal seperti itu. Sudah tidak terbilang cakaran kuku yang diterima oleh Sigra.
Melihat proses melahirkan Anevay itu, Sigra langsung menyatakan bahwa ini pertama dan terakhir kalinya untuk memasuki ruangan persalinan. Bukan hanya karena dirinya yang tersiksa tapi Anevay yang sempat pingsan membuat Sigra hampir terkena serangan jantung. Sayangnya dokter kandungan menyanggah, “Semuanya juga mengatakan hal yang sama dan kembali datang sampai enam kali juga diruangan ini.” Dalam hati Sigra memaki mendengar itu tapi hanya diam saja dan tersenyum. Tapi Anevay mengatakan hal mengejutkan, “Enam kali? Memangnya mau membentuk tim volli atau apa?!” semua yang ada diruangan itu tertawa keras. Saat ditanya beberapa hari kemudian, Anevay tidak ingat pernah mengatakan itu.
Setelah melahirkan dan merawat bayi, dikiranya bagi Anevay itu adalah penderitaan neraka dunia. Kurang tidur saat malam dan besok hari berangkat bekerja membuat Sigra lelah secara mental dan fisik. Ditambah lagi Anevay yang sibuk mengurus bayi mereka tidak bisa lagi menyiapkan pakaian Sigra seperti biasanya dan menyiapkan sarapan yang layak. Saat pulang kerja Sigra ingin disambut hangat tapi yang didengarnya saat membuka pintu hanyalah suara tangisan dan makan malam Sigra kembali seperti masa kuliah dulu yakni mie instant.
Penderitaan yang dikira tidak akan pernah berakhir itu, akhirnya menjadi kenangan indah juga untuk dikenang dikala sedih. Putra Anevay dan Sigra sudah tumbuh besar dan menginjak usia 4 tahun sudah mulai memasuki TK. Anevay dan Sigra hanya tertawa bagaimana mengingat kenangan saat Arsa masih belum bisa diajak berkomunikasi dan hanya dibalas dengan teriakan tangisan. Kini sudah berjalan masuk sendiri ke dalam TK.
Anevay dan Sigra tidak bisa membebani orangtuanya untuk datang kekota membantunya merawat Arsa. Anevay juga tidak bisa meninggalkan Sigra sendirian di kota dan pulang ke kampung. Padahal Sigra baik-baik saja dengan itu dan malah akan berterima kasih tapi semuanya tidak diucapkan karena Sigra tahu itu hanyalah perasaan sementara yang dirasakannya karena terlalu lelah dan kurang tidur. Untuk menyewa pembantu rumah tangga dan mengurus anak butuh biaya lebih lagi untuk itu. Memang sudah direncanakan biaya untuk itu juga tapi karena Anevay harus berhenti bekerja untuk membesarkan anak maka pemasukan juga berkurang dan rincian dana persiapan mereka juga menjadi kacau.
Hal yang ditakutkan oleh Anevay terjadi juga tapi ternyata bisa diterima dengan biasa saja oleh Anevay. Tanpa adanya drama dan air mata yang masih teringat jelas diingatan Sigra. Kembali Sigra seperti berkenalan dengan sisi Anevay yang baru. Sisi yang tidak pernah dilihatnya selama ini, dari kuliah sampai sebelum melahirkan. Sisi lembut keibuan yang membuat Sigra pangling seperti sedang kembali masa SMA mengingat bagaimana perasaannya saat sedang jatuh cinta pada Anevay.
Anevay yang mencintai pekerjaan dan hidup hanya untuk dirinya sendiri kini melepas semua obsesinya itu untuk menjadi Ibu dari Arsa. Walau setelah masuk TK, Anevay sudah kembali mengambil pekerjaan lagi tapi masih pekerjaan paruh waktu di dekat TK Arsa. Pekerjaan yang diambil oleh Anevay adalah penjaga toko buku, itupun hanya dua jam lebih saja. Mengikut dengan waktu belajar Arsa di TK hanya sekitaran itu. Maka Anevay juga baru bisa bekerja setelah mengantar Arsa untuk ke TK dan berhenti setelah Arsa sudah pulang. Setidaknya Anevay bisa mendapat uang jajan tambahan, bukan untuknya tapi untuk Arsa. Pemilik toko buku juga sangat memaklumi dan merasa terbantu karena bisa datang telat ke toko buku. Dengan adanya Anevay bekerja disana, pemilik toko tidak perlu terburu-buru bangun pagi untuk membuka toko. Karena sudah ada Anevay yang membuka toko buku untuknya. Sehingga saat jam 10.30 pagi baru datang untuk menggantikan Anevay.
Masa saat Arsa memasuki TK bagi Anevay dan Sigra merupakan masa yang paling membahagiakan. Setelah memasuki SD, Arsa menjadi sangat berbeda. Dikiranya masa saat tidak bisa berkomunikasi dahulu itu yang paling menyusahkan tapi ternyata setelah bisa berkomunikasi lebih menyusahkan lagi. Arsa sudah susah untuk diberitahu dan memilih untuk memegang teguh apa yang dipilihnya tanpa mempertimbangkan apa yang Anevay dan Sigra sarankan, “Apa anak seumurannya memang sepert itu? Atau hanya Arsa saja?” tanya Sigra tapi Anevay hanya menjawab, “Mana aku tahu? Ini juga pertama kalinya untukku punya anak.” Sigra hanya bisa menahan tawa karena Arsa sedang ada di dalam kamarnya dalam keadaan marah dan membanting pintu keras tidak mau diganggu. Mereka menjaga perasaan Arsa agar tidak tersinggung padahal tidak ada niat sama sekali untuk menyinggung.
Anevay mencoba segala cara untuk membangun kepribadian Arsa agar bisa menjadi lebih baik. Walau dia adalah anak tunggal tapi tidaklah dimanjakan berlebihan atau kekurangan kasih sayang. Secukupnya Anevay dan Sigra tidak melebih-lebihkan bagaimana membesarkan Arsa.
Arsa yang sudah SD membuat Anevay bisa kembali bekerja normal seperti saat sebelum Arsa lahir. Dengan waktu belajar Arsa yang sudah lama dan saat pulang sekolah pun lebih memilih bermain. Akhirnya Anevay merasa bisa membantu lagi menambah biaya hidup dan untuk masa depan Arsa. Meski saat kembali dari bekerja, Arsa sudah terlelap tidur. Saat pagi hari, mereka tidak terlalu berkomunikasi karena sibuk dengan aktivitas masing-masing. Anevay sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan pakaian untuk Arsa dan Sigra serta untuk dirinya sendiri juga. Sementara Arsa sibuk menata buku pelajarannya, Sigra tidak sengaja melihat sesuatu yang tidak asing di dalam tas Arsa itu saat lewat di depan kamar Arsa.
Teriakan Sigra yang sedang marah membuat Anevay kaget yang sedang menyiapkan sarapan di dapur. Anevay segera berlari meninggalkan pekerjaannya yang tidak selesai karena mendengar suara dari Sigra yang sudah lama tidak pernah didengarnya itu, suara yang ditinggikan jika benar-benar sedang marah. Ternyata memang wajar jika Sigra sampai semarah itu, setelah Anevay sampai dan melihat bungkus rokok yang sudah tidak terisi penuh. Semua aktivitas dihentikan, Sigra meminta cuti dadakan hari itu. Karena tidak pernah membuat masalah dan tidak pernah terlambat atau absen bahkan disaat Arsa baru saja lahir. Maka dari itu, mudah saja bagi Sigra mendapatkan cuti hari itu. Sementara Anevay tidak tahu harus mulai darimana, mungkin harus dimulai dari dapur karena sup sayur buatannya lebih cocok kalau disebut tumisan karena airnya sudah kering.
Arsa duduk di depan Anevay dan Sigra di ruang keluarga mendengarkan orangtuanya bergantian memberikan sepatah kata, “Apa aku tersangka? Penjahat? Kenapa merokok adalah hal yang buruk?” tanya Arsa dengan wajah polos membuat Anevay dan Sigra tercengang.
Akhirnya Anevay dan Sigra merubah strategi mereka untuk menjadi pengintrogasi, mengikuti apa yang sepertinya dibutuhkan oleh Arsa. Anevay sebagai polisi baik dan Sigra sebagai polisi jahat. Keduanya tidak bisa menjadi polisi baik atau menjadi polisi jahat. Harus berbeda, ada yang memihak pada Arsa dan ada yang bisa ditakuti Arsa. Tapi ternyata itu tidaklah bekerja dengan baik atau hanya untuk Arsa saja. Bagi Arsa, setelah kejadian itu ayahnya adalah sosok yang ingin dikalahkan dan ibunya adalah sosok yang mudah untuk dikalahkan.
Anevay kembali mengorbankan dirinya untuk berhenti bekerja dan fokus pada Arsa saja. Sigra juga sudah mendapatkan promosi dan naik jabatan makanya bisa menutupi Anevay yang menjadi pengangguran lagi. Anevay mulai mengawasi gerak-gerik Arsa mulai dari bangun tidur hingga terlelap tidur. Arsa merasa risih dengan ibunya yang bertindak berlebihan itu untuk anak seumuran dirinya seharusnya tidak lagi diantar dan dijemput di sekolah. Sehingga Anevay mengalah tapi tidak sepenuhnya menyerah. Anevay tetap mengawasi dari jauh, ingin tahu bagaimana pergaulan Arsa saat berada di sekolah dan saat bermain dengan temannya. Kemampuan detektif Anevay juga meningkat pesat dengan mencari tahu dari ibu orangtua teman sekelas Arsa dan melakukan penyelidikan lainnya. Mengikuti Arsa secara diam-diam menjadi tantangan sendiri bagi Anevay, merasakan sensasi baru yang tidak bisa dirasakan saat bekerja. Melihat bagaimana Arsa berkomunikasi dengan teman sebayanya sangat berbeda saat berkomunikasi dengannya dan Sigra saat di rumah.
Setelah menyelidiki selama beberapa hari, Anevay menemukan pola yang menurutnya hal itulah penyebab Arsa bisa merokok. Tapi membuat Anevay heran karena itu bukanlah teman sekelas atau teman satu sekolah Arsa. Melainkan anak yang lebih tua darinya yang bekerja paruh waktu di warnet tempat Arsa sering bermain game kalau pulang sekolah. Awalnya Anevay melihatnya biasa saja bagaimana mereka hanya seperti teman biasa pada umunya walau berbeda umur cukup jauh tapi kelihatan sangat nyaman untuk Arsa ajak bicara.
Hingga Anevay melihat pekerja paruh waktu itu terlihat hanya akrab pada Arsa saja, tidak dengan teman Arsa yang lainnya. Anevay mulai curiga dan mendapati pekerja paruh waktu itu memanggil Arsa saat akan pulang ke rumah setelah bermain game. Mereka bertemu di lorong dan kelihatan mulai mengeluarkan rokok setelah asyik mengobrol dan tertawa bersama. Anevay mengira itu hanyalah sebatas perasaan tidak enaknya saja tapi ternyata perasaannya itu tidak salah. Pekerja paruh waktu itulah yang mengajarkan Arsa untuk merokok.
Anevay tanpa pikir panjang langsung berjalan ke arah mereka berdua. Mengambil puntung rokok yang ada ditangan Arsa dan membuangnya, “Apa yang ibu lakukan disini?” itulah kalimat yang keluar dari mulut Arsa. Bukannya permintaan maaf telah melakukan kesalahan tapi menanyakan kenapa Anevay bisa ada disana. Arsa merasa privacy nya terganggu dibanding perasaan bersalah karena tertangkap oleh ibunya yang sedang merokok.
Anevay merasa tidak perlu meneriaki Pekerja paruh waktu itu dan melarangnya untuk bergaul dengan Arsa lagi. Karena pasti anak itu juga punya orangtua yang tidak suka kalau anaknya diomeli oleh ibu anak lain. Bagaimanapun juga, anak adalah hal berharga bagi semua orangtua. Mau seburuk apapun itu, senakal apapun itu tetap saja tidak ada yang berubah. Anevay berpikir hanya perlu menertibkan anaknya saja dibanding menasehati anak orang lain. Arsa saja yang sudah menjadi tanggung jawabnya tidak bisa diatur apalagi anak orang lain. Anevay merasa itu adalah tindakan yang tidak perlu.
“Lepaskan bu! Ibu bikin malu Arsa saja!” teriak Arsa sambil menghempaskan tangan ibunya yang sedang menariknya untuk kembali ke rumah.
“Malu? Kalau ada yang malu harusnya itu adalah ibu dan jika ada yang merasa bersalah bukannya ibu melainkan itu kau Arsa.” Anevay untuk pertama kalinya meninggikan suaranya pada Arsa. Arsa pun cukup terkejut baru pertama kalinya melihat sosok ibunya yang seperti itu. Selama ini hanya terus bersikap baik padanya dan memberikan apapun yang dimintanya walau itu tidak diizinkan oleh Sigra sekalipun.
Arsa menurut berjalan dibelakang ibunya menuju rumah. Sesampainya mereka berdua di rumah, Anevay membuatkan teh hangat untuk Arsa dan mengajaknya untuk mengobrol di meja makan. Anevay yang biasanya lama kalau marah tapi tidak bisa berlama-lama jika itu adalah Arsa. Bahkan Sigra terkadang cemburu dan merasa Anevay berubah terlalu memihak Arsa. Tapi memang seperti itu. Setelah Arsa lahir, bagi Anevay yang utama berubah menjadi Arsa dari yang dulunya Sigra. Anevay yang merasa sudah mengorbankan masa mudanya untuk membesarkan Arsa merasa terkhianati karena kelakuan Arsa itu.
Lama Anevay hanya terus berbicara sendiri seperti sedang berbicara dengan tembok. Arsa menghabiskan tehnya untuk menghentikan omelan ibunya itu dan membiarkannya untuk tidur, “Kalau kau tidak mau berbicara? Apa ibu perlu berbicara dengan orangtua anak tadi?” Anevay merasa salah jika mengomeli anak orang lain tapi untuk berbicara dengan sesama orangtua, Anevay rasa itu lebih baik. Sesama orang dewasa dan sesama orangtua pasti akan saling mengerti.
“Dia tidak punya orangtua ....” lama Arsa baru kembali melanjutkan karena Anevay jadi mematung seperti kehilangan motivasi untuk bertarung, “Dia anak panti asuhan,” Arsa melanjutkan.
Anevay seperti berada di jalan buntu, apa harus menyalahkan anak yatim piatu yang mengajarkan putranya hal buruk itu padahal memang tidak punya seseorang untuk mengajarkan dengan baik anak itu. Tapi apakah itu adalah sebuah kebiasaan? Bagaimana menilai seorang anak yatim piatu? Anevay merasa, walaupun anak yatim piatu tapi tetap bisa menjadi anak yang baik tanpa didikan yang benar dari orangtua. Bahkan mereka lebih cepat dewasa dibanding anak lainnya. Tidak semuanya memerlukan orangtua untuk membangun keperibadian yang baik tapi Anevay merasa dirinya dan Sigra sudah melakukan yang benar, “Darimana letak kesalahanku?” tanya Anevay dalam hati menatap putranya yang kelihatan sudah sangat mengantuk.
Sigra yang jarang menghabiskan waktu dengan Arsa, hanya bisa membawa Arsa da Anevay untuk menikmati akhir pekan di tempat wisata atau kemping sehari semalam. Arsa kelihatan seperti anak normal pada umumnya, bagaimana menikmati liburan akhir pekan bersama orangtuanya. Anevay dan Sigra juga tidak bisa melarang untuk Arsa bermain bersama teman-temannya karena takutnya kalau dibatasi akan semakin menjadi-jadi pemberontakan Arsa. Arsa pun sudah berjanji tidak akan akrab lagi dengan Pekerja paruh waktu itu. Anaevy dan Sigra mengira itu adalah akhir dari masa pubertas Arsa ternyata salah besar.
Masa SMP Arsa memang bukan lagi masalah merokok tapi masalah baru lagi yakni berkelahi. Untuk yang pertama kalinya, hanya Anevay yang datang ke sekolah Arsa untuk menerima panggilan guru wali kelas Arsa. Arsa berjanji kalau itu adalah yang pertama dan terakhir kalinya. Tapi bohong, karena Arsa berkelahi lagi. Kali ini Sigra yang datang memenuhi panggilan guru di sekolah Arsa.
“Kekerasan bukanlah solusi dari sebuah permasalahan. Coba jelaskan apa alasannya hingga kau melakukan ini? Pasti ada alasan besar kan dibaliknya? Mengingat bagaimana kau memukuli temanmu separah itu ....” Sigra memilih untuk mendengar alasan Arsa terlebih dahulu sebelum memarahinya.
“Dia mengataiku karena tidak merokok, katanya hanya yang bukan laki-laki yang tidak merokok.” Arsa menjawab dengan percaya diri dihadapan ayahnya.
Sigra tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, dia sendiri semasa sekolah tidak pernah merokok apalagi berkelahi. Bagaimana bisa putranya menjadi seperti ini, “Jangan mengira alasanmu itu cukup untuk meyakinkanku! Apapun masalahnya ... apapun alasannya kekerasan tidak diperbolehkan!”
“Kekerasan diperbolehkan untuk melindungi diri.” Kata Arsa tanpa keraguan sama sekali.
Jujur saja Sigra sudah ingin sekali memukul Arsa, tapi menurutnya itu adalah ide yang buruk. Melawan dengan kekerasan sama saja membenarkan ucapan Arsa barusan. Jadi, Sigra menenangkan dirinya dan mencoba bicara baik- baik. Arsa yang sedang dalam masa pencarian jati diri dari anak-anak menjadi laki-laki wajar saja jika merasa harga dirinya terusik dikatai seperti itu, “Kau tahu Arsa, yang kau lakukan setengah salah!”
“Setengah benar?” tanya Arsa.
“Tidak, hampir benar. Bukan begitu caranya membalas seseorang yang salah tapi dengan cara diacuhkan. Karena balas dendam terbaik bukan dengan pukulan tapi dengan diabaikan. Orang seperti itu hanya perlu kau abaikan, karena reaksi yang berlebihanmu itulah yang membuatnya termotivasi terus mengusikmu. Tapi kalau kau tidak peduli, dia tidak akan tertarik lagi melakukan itu padamu.” Jawab Sigra.
Masalah perkelahian di masa SMP Arsa terselesaikan, tidak pernah lagi Arsa terdengar berkelahi lagi. Tapi saat memasuki SMA, masalah Arsa berbeda lagi. Arsa sering bermalam di rumah teman sekelasnya. Anevay dan Sigra merasa itu wajar saja karena mereka membesarkan anak laki-laki yang tidak harus terlalu ditekan seperti anak perempuan pada umumnya. Karena Sigra sendiri pun sering melakukan hal yang sama dulu. Menginap di rumah teman, bermain game hingga subuh, bermain gitar tanpa melihat jam yang sudah waktu tidur mengganggu tetangga. Tapi itu semua bagi Sigra adalah kenangan masa mudanya yang indah.
Hingga suatu hari Anevay melihat ada perubahan pada tubuh Arsa yang menjadi sangat kurus dan pucat. Anevay mengira itu karena Arsa jarang pulang untuk makan makanan yang layak. Beberapa hari kemudian, Anevay dan Arsa mendapat telepon dari polisi. Memberitahukan bahwa Arsa dan teman-temannya tertangkap sedang berpesta narkoba. Anevay pingsan di tempat kerjanya mendengar berita itu. Sigra sendiri harus menemui Anevay dulu di UGD Rumah sakit sehingga baru akan menjenguk Arsa setelah Anevay sudah baikan. Tapi saat sampai di kantor polisi, tinggal Arsa sendiri yang belum ada wali. Arsa tidak mengucapkan sepatah katapun saat ditanyai polisi hingga dibawa ke tempat rehabilitasi karena Arsa tergolong masih belum lama menggunakan narkoba dibanding teman-teman lainnya dan Arsa juga bukan pengedar narkoba serta tergolong berprestasi di sekolah.
Anevay selalu datang tanpa terlambat sedikitpun menjenguk jika waktunya kunjungan keluarga pasien rehabilitasi selalu dengan mata bengkak. Sementara Sigra hanya menunggu di luar mobil. Tidak ikut masuk bersama Anevay melihat keadaan Arsa. Arsa seperti biasa hanya diam tanpa mengeluarkan satu katapun. Hingga saat hari ulang tahun Arsa, akhirnya Sigra memberanikan dirinya untuk menemui Arsa. Selama ini hanya terus mendengar cerita tentang keadaan Arsa lewat Anevay yang tidak terlalu jelas karena selalu dijelaskan sambil menangis.
“Selam ....” ucapan yang kompak dari Anevay dan Sigra terhenti karena Arsa menyela. Untuk pertama kalinya Arsa kelihatan akan berbicara membuat Anevay sangat senang.
“Kukira kalian sudah cerai?! Karena tidak pernah datang bersama menjengukku. Kebanyakan orangtua teman-temanku juga sudah bercerai ataukah kalian berdua itu berbeda dengan orangtua lainnya? Bukannya hanya mengkhawatirkanku saja tapi hanya saling menjaga satu sama lain! Senang kalian sekarang tanpaku?!” rupanya Arsa menyimpan perasaan dendam, terluka saat Anevay dan Sigra datang terlambat ke kantor polisi.
Sigra melayangkan pukulannya pada Arsa untuk pertama kalinya. Anevay hanya bisa menangis, tidak tahu harus melakukan apa lagi. Arsa kembali di dalam kamarnya dan Anevay serta Sigra merenungkan apa yang barusaja dikatakan oleh Arsa. Sigra yang merasa sudah gagal menjadi ayah bagi putranya tidak bisa masuk menjenguk bersama Anevay selama ini karena tidak sanggup melihat keadaan Arsa yang menurut Sigra itu semua karena dirinya sehingga Arsa berada di dalam sana.
“Sigra ... aku ingin cerai!” ucapan itu memecah keheningan di dalam mobil. Sigra sendiri tidak bisa menjawab ataupun menolak, hanya bisa diam. Mempertahankan hubungan setelah menjadi orangtua gagal membuat Anevay menderita. Begitupun Sigra, walau tidak dikatakan dan diekspresikan seperti Anevay tapi apa yang dirasakan Anevay juga dirasakan oleh Sigra. Hanya saja cara mereka berbeda-beda dalam merespon.
Keluar berjalan dan menuruni tangga pengadilan, Sigra dan Anevay tidak lagi menaiki mobil yang sama tapi dengan mobil masing-masing. Mereka berdua sama-sama ingin menjenguk Arsa yang berada di tempat rehabilitasi dengan akta cerai di kursi penumpang yang biasanya selalu terisi itu. Kali ini bukan diduduki oleh Anevay tapi oleh selembar kertas yang memisahkannya dengan Anevay.
Sementara dalam perjalanan mereka merenungi kesalahan mereka selama menjadi orangtua. Pertanyaan terus terlintas dalam pikiran mereka berdua, “Salahkah kami?”
Tapi mau sebaik apapun orangtua dalam membangun kepribadian dan mendidik anak, itu saja tidaklah cukup. Karena terkadang lingkungan lebih berperan penting pada kedua hal itu. Tidaklah selamanya juga lingkungan menjadi pemeran penting dalam mempengaruhi kepribadian anak, karena anak yang cerdas, berprestasi dan meraih kesuksesan tidak juga semuanya dari lingkungan yang baik. Pertanyaannya salahkah mereka? Apakah mereka memang tidak pantas menjadi orangtua? Apa ada yang salah dari cara mereka mendidik putra mereka? Jawabannya pasti bermacam-macam yang muncul. Dari masing-masing sudut pandang yang berbeda-beda tentunya akan berbeda juga cara kita menilai Anevay dan Sigra. Jika ada yang memihak Sigra dan Anevay, “Benarkah itu jawaban yang tepat?” jika ada yang menyalahkan Sigra dan Anevay, “Apa anda yakin bisa menjadi orangtua yang lebih baik untuk
membesarkan Sigra?” tidak ada jawaban yang tepat dari kedua hal itu. Kita tidak bisa memihak ataupun menyalahkan karena bukan kita yang membesarkan Asra.
-TAMAT-
Ini adalah cerpen yang saya buat khusus untuk ikut lomba cerpen yang diadakan oleh tulis.me tapi berhubung tidak menang jadi saya posting disini untuk bisa dibaca. Karena saya tidak punya tempat lainnya untuk menulis, hanya di NT dan MT saja. Karya saya juga tidak akan masuk di ebook pemenang jadi ... daripada sedih saya posting disini saja untuk bisa dibaca.
Memang masih banyak kekurangan, tapi saya bangga sama diri sendiri karena memberanikan diri ikut lomba cerpen tingkat nasional itu. Semoga kedepannya saya bisa lebih baik lagi dalam menulis dan suatu saat bisa menjadi pemenang🙏
Saya adalah penulis genre horor fantasy tapi menantang diri untuk membuat genre inspiratif dengan cerita perjalanan hidup rumah tangga dan mendidik anak. Sementara saya sendiri masih single. Tapi sepertinya saya memang tidak berbakat di genre ini🙃👌