"Nur, ayo, pulang! Udah mau Magrib." Seorang perempuan tua menghentikan aktivitas dua gadis kecil yang tengah berlarian di pasar malam dadakan.
"Iya, Mak," sahut salah satu anak itu. Ia lalu pamit pada temannya. "Nit, aku pulang dulu, ya. Nanti abis Isya ke sini lagi. Kita naik kincir itu." Nur menunjuk sebuah permainan kincir yang ada di sana.
Nita mengangguk, "Oke," jawabnya.
"Nita, kamu juga langsung pulang! Nanti mama kamu nyariin." Ijah–neneknya Nur, menyuruh kepada Nita.
"Biarin aja, Mak. Nita mau nunggu mama nyari," celetuk Nita membuat Ijah mengernyitkan kening.
"Tapi bentar lagi Magrib. Pamali anak kecil masih main di luar. Nanti ditangkep wewe gombel baru tahu, kamu." Ijah menakut-nakuti Nita. Namun, bukannya takut, gadis kecil berusia delapan tahun itu malah tertawa.
"Itu cuma ada di TV, Mak Ijah. Kata mama hantu itu nggak ada."
Ijah berdecak. Anak kecil zaman sekarang memang pandai membantah omongan orang tua.
"Ya, udah. Ayo, pulang, Nur! Biarin aja temen kamu ini di sini. Nanti mamanya juga nyari."
Nur dan Ijah pun pergi meninggalkan Nita. Suasana pasar malam itu masih sepi. Apalagi waktu petang baru mulai menghampiri. Biasanya pasar malam itu akan ramai sehabis Isya nanti. Sayup-sayup suara burung kowak malam terdengar dari kejauhan. Pertanda waktu malam akan segera datang.
Nita yang masih asyik melihat-lihat wahana permainan di pasar malam tidak memedulikan hal tersebut. Sesekali ia mencoba menaiki beberapa permainan yang belum beroperasi tanpa rasa takut.
Namun, tak lama ia merasa bosan. Setelah beberapa menit yang lalu azan Magrib berkumandang, Nita memutuskan untuk pulang. Di depan rumahnya, ia bertemu dengan kakaknya.
"Kamu baru pulang, Dek?" tanya Dedi–kakak kandung Nita yang hendak pergi ke masjid untuk menunaikan salat Magrib.
Nita hanya mengangguk, lalu melepaskan sandalnya sebelum masuk ke dalam rumah. Dedi pun pergi tanpa bertanya lagi.
Selepas pulang dari masjid. Dedi yang hendak masuk ke dalam rumah berpapasan dengan mamanya di depan pintu. "Mau ke mana, Ma?" tanya Dedi.
"Cari adikmu. Jam segini masih belum pulang juga main di pasar malam," jawab Lia—mamanya.
"Loh, bukannya Nita udah pulang? Tadi Dedi ketemu dia di sini sebelum pergi ke masjid." Keterangan Dedi membuat Lia mengernyit bingung.
"Dari tadi mama nggak lihat Nita," tutur Lia.
"Beneran, Ma. Tadi aku lihat dia masuk." Dedi mengalihkan pandangannya ke lantai. "Nah, tuh. Sandalnya aja masih ada." Lia mengikuti arah telunjuk Dedi. Ternyata benar, itu memang sandal anak bungsunya.
"Tapi mama nggak lihat dia ada di rumah. Di kamarnya juga nggak ada. Mungkin dia pergi lagi dengan sandal lain. Mama mau cari dulu, deh."
Lia benar-benar yakin, jika Nita tidak ada di dalam rumahnya. Akhirnya dia pun pergi ke lokasi pasar malam dadakan yang berada di kampungnya itu. Ia bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya. Ada yang bilang tidak tahu, dan ada juga yang bilang melihat Nita sudah pulang sejak Magrib tadi. Lia juga ke rumahnya Nur, tetapi Nita tetap tidak ada. Akhirnya Lia pulang dengan tangan hampa.
Hatinya mendadak tidak tenang dan gelisah. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk dengan anaknya. Apalagi tadi neneknya Nur berkata, jika Nita bisa saja diculik wewe gombel seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Di kampung itu, pernah beberapa kali terjadi anak kecil hilang, yang katanya diculik makhluk itu.
***
Ramai suara tetabuhan mengitari rumah Nita. Menurut orang pintar yang dipercayai di kampung itu, Nita memang diculik oleh wewe gombel. Menurut kepercayaan di sana, dengan menabuh tampah atau alat penampi sambil memanggil nama anak itu, bisa membatasi ruang gerak wewe gombel dan membuat anak yang diculik wewe gombel bisa mendengar teriakan mereka.
Proses pencarian Nita berlangsung sangat menegangkan. Mbah Dayat bilang, wewe gombel itu masih berada di dalam rumah sambil membawa Nita.
"Dia ada di lemari," seru Mbah Dayat setelah membacakan jampi-jampi. Mereka membuka lemari pakaian Nita. Nyatanya, Nita tidak ada di sana.
Hingga sepuluh menit kemudian, Mbah Dayat berlari ke kamar Lia, dan diikuti oleh beberapa orang yang menyaksikan langsung ritual pencarian anak tersebut. Mbah Dayat menyibak kelambu yang menggantung di atas kasur. Semua orang yang berada di sana langsung menjerit histeris ketakutan.
Di besi penyangga kelambu tersebut, terlihat makhluk menyeramkan yang tengah duduk dan membekap Nita di pangkuannya. Mahluk itu berambut putih panjang terurai, payudaranya besar menutupi wajah Nita. Di antara mereka ada yang bergumam, "Wewe gombel!"
Hantu perempuan itu menyengir. Terlihat begitu menyeramkan, hingga seisi ruangan kecuali Mbah Dayat histeris ketakutan.
"Ma, tolongin Nita!" Suara Nita membuat Lia hendak maju jika saja sang suami tidak menahannya.
"Kamu jangan gegabah! Biarin Mbah Dayat yang bertindak," seru Darman—suaminya Lia. Deraian air mata tak henti mengalir di pipi Lia. Perempuan itu ketakutan jika anaknya kenapa-kenapa.
Suasana rumah itu pun semakin mencekam. Mbah Dayat pun beradu kekuatan goib dengan makhluk tersebut. Mbah Dayat berebut Nita dengan sekuat tenaga. Orang yang menyaksikan ingin membantu, tetapi tidak berani. Mbak Dayat terlihat kesulitan karena tubuh Nita begitu licin sekali. Hingga akhirnya Mbah Dayat menang, dan Nita bisa selamat dari genggaman wewe gombel tersebut.
Makhluk itu terbang dan menembus atap disaksikan oleh warga yang berada di luar rumah tersebut. Semua orang tampak tercengang. Tidak sedikit juga yang langsung menjerit ketakutan.
***
"Ma, padahal tadi Nita ada di lemari, tapi Mama nggak nolongin aku." Nita berujar setelah situasinya sedikit tenang.
"Kenapa Nita nggak teriak, Sayang?" Lia memeluk tubuh putri bungsunya sambil mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
"Mulut Nita tadi dibekap, jadi Nita nggak bisa bersuara." Dengan polos Nita menjawabnya.
Lia semakin menguatkan pelukannya. Tangisannya semakin pilu terdengar.
"Lain kali kamu harus hati-hati, Nak. Kalau main harus ingat waktu pulang!"
Kepala Nita mengangguk cepat saat Mbah Dayat memberikan nasihat.
Semua orang di sana bisa bernapas lega sekarang, tetapi Mbah Dayat kembali mengingatkan, "cepat bakar baju yang dia pakai sekarang, lalu ganti nama anak ini secepatnya. Saya takut makhluk itu masih mengincar dia."
....