Hello. Namaku Ara. Aku seorang content writer berusia 25 tahun, single dan luar biasa… suram. Well, can’t say I am proud of it, but somehow… kesuramanku adalah salah satu cara bagiku untuk menghasilkan uang. How you ask? Very simple. Dengan cara menulis tentang kisah-kisah suram seperti kisah yang akan aku ceritakan kali ini, karena ternyata horror dan thriller adalah genre yang sangat populer dalam dunia baca-membaca di Indonesia, selain drama penuh air mata tentu saja. Jadi begitulah; kadang-kadang, menjadi suram itu tidak selalu buruk. Seperti aku! So, sebelum aku menceritakan padamu kisah suram yang lain, aku akan menceritakan tentang kisah suramku terlebih dahulu. Ceritanya begini… well, aku agak berharap akan terdengar suara drum roll, tapi kemudian aku tersadar bahwa kita tidak bisa memasukkan suara musik pada sebuah karya berbentuk tulisan, jadi mari kita mulai saja.
Aku tinggal di sebuah pulau besar yang dikenal sebagai Jambrud Khatulistiwa, yaitu Pulau Kalimantan. Sebagai anggota suku asli pulau Kalimantan, leluhurku dan keluarga besarku lainnya mayoritas masih menempati daerah-daerah terpencil di hulu sungai Kalimantan. Hanya saja beruntung sekali kakek dan nenekku yang merupakan orangtua mama, memilih untuk meninggalkan daerah pedalaman dan pindah ke kota S saat mereka baru menikah, sehingga aku lahir sebagai anak kota. Namun setiap beberapa tahun sekali, biasanya keluargaku akan pulang kampung untuk berlibur. Peristiwa ini terjadi di suatu hari, di bulan Juli, saat aku untuk pertama kalinya sejak berusia 1 tahun, menginjakkan kaki di desa kecil tempat keluargaku berasal. Oh iya, umurku saat itu masih 5 tahun.
Desa itu bernama desa L. Terletak jauh di hulu sungai. Untuk mencapainya kami perlu menaiki kapal komersial bernama klotok, yang bodinya terbuat dari kayu dan melaju dengan bantuan sebuah mesin yang berbunyi sangat berisik. Perjalanan memakan waktu selama 16 jam. Coba saja duduk diam selama 16 jam dalam keberisikan yang memekakkan telinga, kalau kau masih bisa tersenyum ceria, aku akan menghadiahimu sekeranjang durian! Well, di desa L Durian sangat murah. Hanya 1000 perak sebuahnya. Sehingga untuk memberimu sekeranjang Durian sama sekali bukan hal yang berat. Syaratnya, tolong ambil sendiri kemari ya! Haha! Ehem! Maaf karena sudah sedikit melenceng dari bahasan awal. Sekarang, mari kita kembali ke topik pembicaraan.
Rumah orangtua kakekku, atau yang aku panggil Datu, terletak di jantung desa L. Rumahnya adalah sebuah rumah panggung kecil yang berada bersebelahan dengan rumah-rumah panggung lainnya. Umumnya rumah panggung berukuran besar karena digunakan secara komunal oleh beberapa beberapa keluarga sekaligus. Namun Datu laki-lakiku adalah seorang yang introvert dan benci hiruk pikuk, sehingga ia memilih untuk membangun rumah panggungnya sendiri yang hanya ditempati oleh dirinya, istrinya dan anak cucunya yang belum menikah. Sedangkan semua anaknya yang telah menikah memilih merantau ke luar kota. Di rumah panggung kecil inilah aku dan keluargaku menginap setiap kali kami berlibur kemari.
Hari itu adalah hari pertama kami sampai di Desa L. Karena telah bertahun-tahun tidak bertemu, begitu melihatku, Datu perempuan langsung memelukku erat dan menciumiku dengan gemas. Emm, sepertinya saat masih kecil aku lumayan menggemaskan. Jadi wajar saja kalau Datu Perempuan jadi tidak bisa menahan diri untuk tidak menjumput sedikit saja keimutanku. Mungkin beliau berharap agar keimutanku sedikit menular padanya kali yaaaa… entahlah! Yang jelas, sejak aku keluar dari Klotok sampai aku menaiki tangga rumah Datu, tidak sekalipun aku pernah menginjakkan kakiku di atas tanah Desa L yang masih terbuat dari tanah liat berwarna merah itu. Hal itu karena tubuh mungilku di pindahkan dari satu tangan ke tangan yang lain, persis seekor kucing yang harus pasrah menerima nasib untuk dipeluk, dicium dan di belai oleh banyak penggemarnya, sampai akhirnya aku jatuh ke tangan salah satu pamanku yang merupakan sepupu termuda mamaku. Omku yang satu ini bernama Tiguy. Usianya waktu itu baru 16 tahun. Tapi tubuhnya tinggi dan atletis karena ia sangat suka berenang di sungai dan rajin membantu ayahnya berladang. Saat itu karena masih kecil jadi aku tidak mengerti apapun mengenai pria tampan. Namun bila kuingat lagi sekarang, di usia 16 tahun, Om Tiguy bukan sekedar memiliki tubuh berotot dan perut berpetak-petak layaknya roti sobek. Namun ia juga memiliki wajah yang luar biasa tampan! Selain itu kulitnya sangat terang, tidak terlihat sebagai kulit anak yang suka menghabiskan waktu di alam. Datu selalu membanggakannya sebagai anak yang sangat pintar karena selalu meraih posisi sebagai juara kelas di sekolahnya. Namun semua fakta itu tidak ada yang penting bagiku, kecuali 1 hal; bahwa Om Tiguy sangat memanjakanku.
Sebenarnya selain aku, Om Tiguy punya beberapa keponakan lainnya. Namun aku adalah satu-satunya keponakan perempuan dalam keluarga, sehingga tentu saja nilaiku jadi jauh lebih berharga ketimbang para berandalan kecil yang kerjanya setiap hari adalah mencoba membuatku menangis. Sepupu-sepupuku itu sungguh monyet-monyet liar yang hanya tahu membuat rusuh! Setiap kali melihatku, mereka selalu mencoba menyeretku kesana dan kemari. Mengajakku ke tempat-tempat kotor atau menyodorkan ke depan wajahku hewan-hewan aneh yang menjijikan, sehingga aku tak dapat menahan diri untuk tidak menangis. Setiap kali Om Tiguy mendengar suara tangisanku, ia akan langsung berlari mendekat dan meraihku ke dalam pelukannya. Ia lalu akan memarahi para bandit kecil yang nakal itu dan membujukku dengan segala cara hingga aku berhenti menangis. Karena itulah aku jadi sangat menyukainya. Sehingga selama 2 minggu aku berada disana, aku menempel pada Om Tiguy seperti permen karet. Aku bahkan sering jatuh tertidur dalam pelukannya.
Oke, aku sudah menceritakan semua latar belakangnya. Sekarang mari kita mulai memasuki kisah yang sesungguhnya. Jangan lupa, kalau kamu menyukai omong kosongku ini, tidak ada ruginya bila kau mau memberiku jempol dan vote. Karena aku sangat membutuhkannya sebagaimana bumi yang selalu membutuhkan hujan! Uhuk! Uhuk! This is too cheesy. Aku sampai tersedak! Maaf ya.
Malam itu adalah malam Jumat kedua kami berada di desa L. Seperti biasa, para orang dewasa duduk berkumpul di ruang keluarga sambil mengobrol ini dan itu, berbagi kisah yang terjadi saat terpisah jarak selama beberapa tahun, sehingga tidak bisa selalu bertemu. Sementara itu, aku dan sepupu-sepupu kecilku sedang duduk dan setengah berbaring di lantai sambil bermain puzzle dan balok-balok kayu mungil yang dihadiahkan oleh nenekku sebagai oleh-oleh buat mereka. Aku sedang mengajari cowok-cowok bodoh itu caranya memasang puzzle dengan benar, sedangkan Om Tiguy sedang asyik mendengarkan para orang dewasa bercerita. Entah bagaimana mulanya,
mereka sedang asyik bercerita tentang urban legend di desa L. Malam Jumat kok malah bercerita tentang hal-hal menyeramkan sih? Entah apa yang dipikirkan oleh para orang dewasa pada waktu itu, yang pasti mereka bercerita dengan sangat bersemangatnya. Oh, No! Belum mulai bercerita saja, aku sudah mulai merinding. Kuharap kamu tidak takut gelap dan cerita hantu ya!
Saat aku sedang asyik bermain, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang unik terdengar dari kejauhan. Aku langsung mengangkat kepala dan memasang telinga baik-baik. Suaranya terdengar seperti suara panggilan perang yang diserukan oleh seorang prajurit suku di Afrika pada rekannya di kejauhan; sesuatu yang pernah aku tonton sebelumnya di televisi. Kedengarannya seperti seseorang sedang berseru, “Ai! Ai! Ai! Ai!” dengan keras. Justru karena kemiripan inilah yang membuatku menjadi tertarik untuk mendengarkan dengan lebih seksama. Tak lama kemudian, suara yang sama terulang kembali. Namun sepertinya tidak ada satu orangpun di ruangan itu yang mendengar suara tersebut, selain aku. Lalu aku berdiri dari posisi berbaringku dan berjalan ke arah jendela yang mengarah ke tempat suara itu berasal.
Jendela rumah panggung itu tidak ditutupi oleh kaca layaknya jendela pada rumah-rumah di kota. Jendela hanya terdiri dari 2 buah kayu berbentuk persegi panjang atau yang biasa disebut sebagai daun jendela, yang disatukan di tengah oleh sebuah kunci sederhana. Apabila jendela hendak dibuka, setelah melepaskan kuncinya, kedua daun jendela tersebut akan di dorong dari bagian tengah ke arah luar, hingga masing-masing daun jendela akan bergerak ke kiri dan ke kanan. Saat itu semua jendela telah tertutup. Hanya satu jendela itu saja yang sebelah daunnya masih terbuka. Aku berdiri dengan berjinjit di depan jendela yang sedikit terlalu tinggi bagiku itu dan memandang keluar dengan seksama. Saat itu nyaris seluruh penduduk desa L sedang berada di dalam rumah masing-masing, sehingga dari jendela tempatku memandang keluar, tidak terlihat ada orang yang berjalan di jalanan desa. Lagipula jalanan desa cukup gelap. Lampu jalan berada pada jarak yang berjauhan. Di antaranya, pencahayaan di jalanan desa hanya bisa mengandalkan cahaya dari rumah-rumah penduduk yang letaknya antara satu sama lain selalu cukup jauh karena dipisahkan oleh pekarangan yang luas. Karena itu, walaupun saat itu jam masih belum mencapai jam tidur kami yaitu jam 9 malam, seluruh desa L telah sepi. Dari kejauhan lagi-lagi aku mendengar suara yang sama.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Aku memiringkan kepala. Aku teringat pada film dokumenter yang aku pernah aku tonton itu. Dalam filmdokumenter itu, aku ingat bahwa setelah prajurit Afrika itu berteriak “Ai! Ai! Ai! Ai!”, seseorang di kejauhan akan menjawab dengan mengatakan hal yang serupa. Lalu orang lain di tempat yang lain akan melakukan hal yang sama, dan begitu terus selanjutnya. Ini sepertinya adalah cara mereka menyampaikan pesan dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cara yang cepat, di tengah masyarakat yang belum mengenal teknologi. Saat aku sedang mengingat-ingat cuplikan informasi dari film tersebut, lagi-lagi suara tersebut terdengar kembali.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Layaknya anak 5 tahun lainnya, aku penuh rasa ingin tahu dan cenderung hanya memiliki sedikit rasa takut pada hal-hal yang seharusnya aku takuti. Apalagi sebagai anak kota, hal mistis tidak menjadi bagian dari kehidupanku. Aku tidak pernah diberitahu untuk tidak pergi ke hutan sambil membawa ketan, atau tidak boleh berteriak ketakutan ketika bertemu Kambe (hantu besar) di sungai, termasuk tidak pernah diperingatkan secara serius untuk tidak menirukan suara aneh yang aku dengar di malam yang gelap gulita. Kebijaksanaan kuno ini luruh dari pemikiran orangtuaku ketika mereka telah begitu nyaman hidup di kota besar yang selalu ramai dan penuh hiruk pikuk. Itulah sebabnya, aku, yang saat itu masih berusia 5 tahun, tanpa pikir panjang, menirukan suara itu.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
begitu seruku ke arah luar jendela dengan bersemangat. Perbuatanku ini tentu saja mengejutkan para orang dewasa yang tadinya sedang asyik mendengarkan cerita hantu. Dengan sigap, Om Tiguy melesat ke arahku. Ia memegang pinggangku dan mengangkatku menjauhi jendela dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain langsung menarik jendela hingga tertutup dan menguncinya rapat-rapat. Melihat tingkah lakunya tentu saja membuatku merasa sangat terkejut. Aku memandang wajah tampannya dengan bertanya-tanya, namun ia hanya mengangkat tubuhku dan membawaku menjauhi jendela
itu, untuk didudukan di atas sebuah sofa tunggal, sementara ia, mungkin karena menghormati orang dewasa lainnya yang semuanya sedang duduk bersila di lantai, memilih untuk duduk di lantai, tepat di depan sofa tunggal yang aku duduki. Om Tiguy mengulurkan sebelah jari telunjuknya ke bibir sebagai isyarat untuk menyuruhku diam. Melihatnya, aku hanya mengangguk pelan, namun sepenuhnya tak bisa memahami mengapa aku harus diam. Aku duduk di sofa tunggal tersebut dalam diam, sementara om Tiguy menyandarkan punggungnya di sofa yang aku duduki sehingga membuatku tidak bisa pergi kemana-mana, sementara ia kembali menujukan perhatiannya pada orang dewasa lainnya yang masih asyik berbagi cerita.
Sofa yang kududuki itu posisinya membelakangi jendela tempat aku tadi berdiri. Saat semua orang dewasa kembali memusatkan perhatiannya pada obrolan mereka, aku berbalik di atas sofaku dan memandang ke arah jendela yang telah tertutup rapat, bertanya-tanya apakah suara itu akan terdengar kembali. Benar saja, tidak lama kemudian aku mendengar suara yang sama terdengar kembali.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Anehnya, aku merasa bahwa suara itu terdengar berasal dari tempat yang lebih dekat dari sebelumnya. Mungkin waktu itu mataku langsung berkilat dengan girang karena tak lama kemudian, aku menirukan suara itu dengan sekuat tenaga.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Mendengar suaraku, orang-orang dewasa di sekitarku langsung terdiam. Om Tiguy langsung berbalik dan menyuruhku diam, lagi-lagi dengan cara mengulurkan jari telunjuknya menutupi bibir, sementara Datu perempuan menegurku dalam bahasa daerah yang kental yang bermakna,
“Jangan diikuti, Ara! Itu suara hantu!” Walaupun menegur, tidak terdengar nada marah dalam suaranya. Mungkin itulah sebabnya aku tidak menganggap serius kata-katanya. Sementara itu kedua orangtuaku hanya menggelengkan kepala karena mereka sudah terbiasa pada keantikanku. Om Tiguy sendiri dengan wajah kesal yang dibuat-buat, mulai menggelitiku sehingga membuatku tertawa geli.
“Kan sudah diberi tahu untuk diam. Mengapa kamu tidak juga diam, gadis nakal? Hmm?” Aku tergelak sampai berguling-guling dibuatnya. Namun tidak sekalipun menjawab kata-katanya.
“Mengapa tidak menurut? Coba katakan? Mengapa bandel dan tidak menurut?” tanyanya sambil terus menggelitikiku.
Aku tidak menjawab. Pinggang dan perutku terlalu geli sehingga aku hanya bisa tertawa. Saat aku sedang tertawa itulah, suara itu terdengar kembali, kali ini dalam jarak yang lebih dekat dari sebelumnya, sehingga terdengar sangat jelas.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Aku melihat semua orang dewasa tersentak kaget dan terdiam, namun karena jari-jemari Om Tiguy masih menempel di pinggangku sehingga menimbulkan efek yang masih membuatku merasa geli, aku tidak menyadari perubahan ekspresi mereka. Mendengar suara itu terdengar lagi, sambil tertawa, kali ini dengan suara yang lebih pelan karena hanya bermaksud mengoda om Tiguy, aku menirukannya lagi.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Om Tiguy membelalakan matanya dengan terkejut dan langsung menutup mulutku dengan telapak tangannya. Ia menarikku ke dalam pelukannya dan mendudukan aku ke atas pangkuannya sambil terus menutup mulutku dengan erat. Saat itu juga aku mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan perilaku om Tiguy maupun orang dewasa lainnya di ruangan tersebut. Bahkan sepupu-sepupuku lainnya, semuanya telah berlari masuk ke dalam pelukan orangtuanya masing-masing dan terlihat tegang serta ketakutan. Para orang dewasa saling berpandangan satu sama lain dengan ekspresi waspada. Salah satu omku sempat bangkit untuk memeriksa pintu. Dan setelah memastikan bahwa pintu tersebut terkunci rapat, ia segera kembali ke tengah kerumunan dan duduk bersila dalam diam.
Ruangan itu dipenuhi oleh 9 orang dewasa dan 6 orang anak-anak, namun tidak ada sedikitpun suara yang terdengar dari mulut semua orang. Hanya suara nafas memburu yang bisa kudengar dari Om Tiguy yang karena berada begitu dekat denganku, praktis bernafas di sebelah telingaku. Dengan patuh aku duduk diam dalam pelukannya dan membiarkan ia menutup mulutku tanpa protes sedikitpun. Saat itu aku mulai menyadari bahwa aku telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal yang menyebabkan semua orang merasa ketakutan, namun aku masih belum memahami apa kesalahanku dan mengapa itu menjadi sebuah kesalahan. Namun tiba-tiba, suara itu muncul kembali.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Dengan terkejut aku menyadari bahwa suara itu kini terdengar begitu dekat. Tubuh om Tiguy menegang dan ia memelukku dengan semakin erat, sementara tangannya yang menutupi mulutku, menekan dengan makin kuat. Di sekitar kami, anggota keluarga lainnya menunjukan ekspresi yang semakin tegang, sementara itu, entah dari mana datangnya, Datu laki-laki meraih sebotol garam. Beliau membuka tutup botol tersebut dan mulai komat-kamit membaca doa-doa atau mantra-mantra, entahlah! Waktu itu aku terlalu kecil untuk bisa memahami semua yang kulihat. Setelah berdoa, Datu laki-laki mulai meniupkan nafasnya masuk ke dalam botol garam tersebut. Melihat tingkah laku yang ditunjukan oleh semua orang yang ada dalam ruangan tersebut, tiba-tiba, aku mulai memahami bahwa suara yang kutirukan tersebut adalah penyebab semua orang merasa ketakutan. Dan rasa takut mereka menular! Saat itu aku mulai merasa ketakutan sehingga mataku mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba, suara yang sama kembali terdengar. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini suara ini terdengar begitu dekat, seolah-olah ia berada tepat di sebelahku.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Semua orang terkesiap dengan mata dan mulut terbuka lebar. Secara seragam mereka memandang ke satu arah, yaitu ke dinding yang berada sekitar 80 cm jauhnya dari sofa tunggal yang sedang aku duduki. Perlahan aku menoleh ke arah dinding tersebut. Benar saja, di dinding yang terbuat dari kayu ulin itu, sebuah bayangan muncul dengan jelas. Bayangan tersebut tidak menyerupai bayangan manusia, melainkan membentuk sebuah tubuh yang kurus, lurus dan panjang, dengan kepala yang bundar dan besar. Kedua tangannya juga kurus dan panjang, dalam ukuran yang terlalu panjang untuk sepasang tangan. Begitu juga kedua kakinya. Ia. menggerakkan kepalanya secara perlahan, ke kiri dan ke kanan, seolah-olah sedang mencari-cari sesuatu. Tak lama kemudian, ia kembali berteriak.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Suaranya terdengar sangat nyaring dan sangat mendirikan bulu roma, membuatku menggigil ketakutan. Aku bersandar dalam pelukan Om Tiguy, sepenuhnya terpaku oleh rasa takut. Om Tiguy masih terus membekap mulutku dengan telapak tangannya kuat-kuat namun bahkan bila ia melepaskan tangannya dari mulutku, aku yakin saat itu aku tidak akan berani bersuara sama sekali. Bayangan itu begitu menakutkan sehingga aku tidak berani bersuara sama sekali, takut aku akan menarik perhatiannya. Saat itu aku menyadari bahwa penyebab bayangan tersebut datang ke rumah Datu saat itu adalah untuk mencari tahu siapa pemilik suara yang telah menirukannya. Karena itu aku tidak berani bersuara karena aku yakin, begitu aku mengeluarkan suara sedikit saja, bayangan itu akan menyadari bahwa aku adalah orang yang dicarinya.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
panggil bayangan itu lagi. Bulu romaku berdiri tegak dan aku mengigil ketakutan. Om Tiguy mempererat pelukan tangannya pada tubuhku dan menempelkan kepalanya ke atas kepalaku, seolah berusaha menyembunyikan aku sepenuhnya dalam pelukannya. Sungguh, saat itu aku sangat bersyukur pada Om Tiguy. Tanpa dirinya, entah apa yang akan aku lakukan dibawah tekanan rasa takut semacam itu. Kami semua terus duduk diam di tempat kami masing-masing. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan suara, bahkan mungkin saat itu semua orang berusaha untuk bernafas selembut mungkin agar tidak menarik perhatian bayangan tersebut.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Suaranya kembali memanggil, kali ini dalam nada yang terdengar lebih mendesak dan lebih putus asa. Jarak antar suara juga semakin pendek dan semakin pendek.
“Ai! Ai! Ai! Ai!”
Keadaan ini terus berlangsung selama sekitar 15 menit. Namun 15 menit tersebut sungguh terasa bagai 15 jam bagi kami. Setelah 15 menit, bayangan tersebut menghilang, namun suara itu masih terus terdengar, namun dalam jarak yang telah sedikit menjauh, menjauh dan semakin menjauh, menunjukan bahwa bayangan tersebut telah bergerak pergi, mungkin mencari suara lain yang akan menjawab panggilannya. Begitu suara itu menjauh, Datu laki-laki, dibantu oleh anak-anaknya, menaburkan garam di depan seluruh bagian dalam dinding terluar rumah. Garam adalah benda yang memiliki kemampuan untuk menghalangi mahluk halus memasuki rumah sehingga merupakan senjata yang digunakan secara umum oleh orang-orang desa L, terutama karena fenoma seperti yang kami alami saat itu adalah hal yang sering terjadi. Aku tidak mengetahui dasar pemikiran di balik penggunaannya, namun bahkan sampai saat ini, aku masih terus menggunakannya untuk melindungi rumahku.
Singkat cerita, setelah 1 jam, akhirnya suara itu menghilang sepenuhnya, sementara aku, yang untuk pertama kalinya dalam hidupku merasakan apa yang disebut rasa takut pada hal gaib, jatuh pingsan dalam pelukan Oom Tiguy. Malam itu aku menderita demam tinggi sehingga membuat seluruh keluarga menjadi panik. Untungnya saat pagi tiba, demamku turun kembali, memberi semua orang dewasa yang terus terjaga sepanjang malam, menarik nafas lega dan bisa melanjutkan kegiatan mereka seperti biasanya.
Sampai saat ini aku tidak pernah mengetahui apa bayangan tersebut sebenarnya. Semua orang yang aku tanya, termasuk para penduduk desa L yang sering jadi korban terornya, tidak memiliki penjelasan apapun tentang mahluk tersebut. Masyarakat yang terbiasa hidup dengan sederhana dan memilih untuk berteman dengan alam ini, tidak suka mencari tahu hal-hal yang membuat mereka takut dan memilih untuk menghindarinya sepenuhnya. Mereka percaya bahwa mereka bukan satu-satunya mahluk berakal yang hidup di dunia ini, oleh karena itu lebih baik untuk saling menghormati dan mengabaikan satu sama lain. Cara hidup yang seperti ini dipandang lebih aman bagi mereka semua.
Begitulah kisahku tentang saat pertama kalinya bersinggungan dengan mahluk gaib. Sayangnya penutup yang kutulis ini sebenarnya bukanlah akhir dari kisah ini, karena sesuatu yang lebih mengerikan terjadi pada liburan saat itu. Mungkin suatu hari nanti, ketika aku memiliki cukup kekuatan hati untuk mengingat kisah masa lalu itu, aku akan menceritakan dengan lebih lengkap padamu. Terimasih sudah membaca ceritaku, teman. Semoga kau tidak sepertiku, tanpa sadar menggoda hantu yang saat ini sedang duduk disebelahmu.