Astaga aku ingin sekali pulang! Keluhku saat itu.
Hampir menangis kepikiran anak-anak di rumah yang kutinggal hanya bersama suamiku, aku pun mulai menjabarkan angka-angka yang kuposting di excel laporan keuangan.
Tadi pagi tiba-tiba Pak Dirut mengabarkan kalau para Shareholder akan mengadakan meeting mendadak untuk membahas mengenai kerugian yang kami alami di kuartal terakhir. Ada juga wakil dari Kantor Akuntan Publik yang akan datang, jadi timku harus bersiap-siap semaksimal mungkin menyajikan data.
Dan karena jabatan yang kusandang, Kepala Seksi Akunting, aku pun kebagian mengerjakan tugas yang membutuhkan effort paling tinggi. Bagaikan sandwich aku tertekan atas bawah. Kepala Divisiku sudah pulang duluan dan minta hasil dikirim lewat email, Direktur Bisnis juga minta diemail sebelum dini hari, dan para anak buahku pura-pura tidak mengerti.
Jadilah aku sendirian di jam 10 malam, di kantor.
Terjebak dengan komputerku yang masih menyala sedangkan yang lain sudah mati, dan server di ruang IT yang dibiarkan menyala agar aku tetap bisa mengakses berbagai data internal di sistem kami.
Tahu begitu, aku bisa saja kabur kan?
Toh yang akan disalahkan Kepala Divisi kami...
Seperti tadi sore suamiku bilang,
Pekerjaan kamu yang utama di rumah adalah membimbing anak-anak Bun, jadi di rumah. Kantor hanya parttime.
Aku menyesal telah menyangga dengan kata-kata,
“Ayah, kita sudah menikmati gaji dari kantorku, bayar cicilan, sekolah anak, dan makanan yang sudah jadi ampas. Hanya lembur sesekali apa susahnya sih?!”
Saat itu aku merasa superior, lebih hebat dari suamiku karena gaji yang lebih besar.
Dan kini aku pun menyesal. Ini sudah di luar kemampuanku sebenarnya. Kepala Seksi tidak dapat uang lemburan, yang dapat hanyalah para staff.
Dan untuk apa sebenarnya aku di sini sekarang?
Karena loyalitas? Apakah perusahaan ini juga baik padaku seperti aku baik padanya?! Atau karena mempertahankan kualitas diri dan imejku? Kehormatanku? Tetap saja yang diangkat menjadi Kepala Divisi bukan aku. Yang terpampang di Hall Of Fame sebagai Karyawan Terbaik juga bukanlah aku.
Aku pun menghentikan ketikanku.
Untuk apa aku di sini?
Aku melirik ponselku. Whatsap terakhir dari suamiku,
Kami bobok duluan ya Bun, jangan pulang malam, lebih baik menginap saja di kantor atau dirumah temanmu yang dekat dari sana. Perjalanan ke Sawangan rawan kalau tengah malam.
Aku menitikkan air mata.
Suamiku yang baik hati, malah membuat aku merasa sangat sedih. Padahal aku sudah menyakiti hatinya tadi sore.
Aku memijat dahiku.
Lagi-lagi passiva dan aktiva tidak balance. Kemana harus kuposting ebitdanya?! apa ada yang salah masuk GL?!
“Bu Indah?”
Aku terlonjak kaget, sampai berdiri dan menoleh ke belakang. “Ya Allah, Pak Manda! Ngagetin aja deh!”
Pak Manda, Direktur Bisnisku, Boss dari Bossku dengan kata lain, sudah berada di belakangku sambil menyeringai. Penampilannya segar seperti baru mandi dengan baju casual dan sandal rumah. “Saya pikir sudah pulang semua,”
“Yaaa, memang sudah pulang semua,” keluhku sambil duduk lagi. “Bapak bukannya tadi ada keperluan?”
“Iya, sudah selesai. Lalu pulang ke rumah dan karena email dari tim kamu nggak datang-datang, si Asep juga nggak respon WA saya, ya saya datang kesini rencananya mau mengerjakan spreadsheet,”
(Asep adalah Kepala Divisiku, Divisi Akunting)
“Pak Asep juga minta email dari saya, tapi dari tadi nggak balance Pak, jadi belum saya serahkan,”
“Nggak balance?”
“Iya Pak,”
Pak Manda mendekatiku dan mencondongkan tubuh gempalnya ke komputerku, sambil memicingkan mata.
“Biaya entertain untuk tanggal 18 kemarin akhirnya disepakati untuk tidak dimasukan, karena untuk kepentingan pribadi Pak Dirut,” katanya kemudian.
Aku diam.
Itu yang aku tidak tahu.
Pantas saja tidak Balance. “Kalau ada yang bicara ke saya mengenai hal itu, sudah dari sore tadi saya bisa pulang, Pak!” aku mulai mengomel ke Pak Direktur karena capek.
“Kami sudah bilang ke Asep, dia tidak bilang ke kamu ya?”
Aku hanya menjawab dengan helaan napas. “Dia malah menyerahkan kuitansi tanggal 18 ke saya, Pak!”
“Kebiasaan si Asep. Ya sudah karena sudah malam, coba kita review saja pekerjaan kamu,”
“Baik, Pak,”
Malam itu, ditemani segelas kopi yang kuteguk sendiri, Pak Direktur Bisnis berdiri di belakangku mengarahkan aku mengerjakan Spreadsheet untuk bahan meeting besok pagi.
Menjelang pukul 12, powerpoint untuk presentasi pun selesai.
Aku menghela napas lega.
“Akhirnya selesai,” aku mesem-mesem puas sambil memutar kursiku menghadap ke arahnya. Ia berkacak pinggang sambil cengengesan, “Kamu itu tidak kami bayar untuk stress, jadi jangan pusing-pusing. Nah kalau Kepala Divisi kamu kan asuransi kesehatannya limit nya lebih besar jadi limpahkan saja stressnya ke dia,”
“Ah benar juga pak! Hahahahaha!” sahutku.
Lalu dia menatap ke arah dinding yang menampilkan foto para karyawan teladan, “Sebenarnya sudah lama saya ingin meletakkan foto kamu di sana. Kami atasan juga memperhatikan kinerja para karyawannya walaupun secara diam-diam,” katanya.
Aku menunduk karena malu.
Malu ketahuan kalau aku sebenarnya memang kecewa dengan keputusan itu. Aku seringkali meninggalkan keluargaku di rumah hanya untuk pekerjaan kantor, yang lain tampaknya hanya enak-enakan ke kantor untuk bergosip tapi dengan mudahnya mereka terpampang di Hall of Fame dan dapat bonus tambahan.
“Tapi kamu harus tahu, Bu Indah, keteladanan di kantor ini diproyeksikan dengan karyawan yang bisa mendatangkan cuan. Kali ini Bu Indah harus mengalah karena para marketing itu mendedikasikan waktunya 24 jam untuk klien walaupun mereka seringkali pulang ke rumah lebih duluan. Tampaknya saja mereka malas-malasan. Tapi kalau ditelpon klien jam 3 pagi disuruh datang, mereka ya harus datang ke rumah klien,”
“Memang pernah ada yang begitu pak?”
“Sering,”
“Hm, saya pikir itu cuma melebih-lebihkan,”
“Biasanya, orang yang belum pernah merasakan berada di posisi orang lainnya, memang lebih mudah merasa dunia ini tak adil,” kata-kata itu seakan menghujam jantungku.
Baiklah, kali ini aku mengikhlaskan semuanya. Toh pekerjaanku sudah selesai.
Dan setelah mengirimkan email, aku pun pamit pulang ke Pak Manda yang masih duduk-duduk di ruangannya.
Aku menghubungi budeku yang tinggal tak jauh dari kantor untuk menginap di sana. Kupikir semuanya lancar-lancar saja, aku pun tidur dengan nyenyaknya, sampai pagi harinya...
TURUT BERDUKA CITA ATAS MENINGGALNYA
BAPAK MANDA HARIYANTO,SE,MM
Direktur Bisnis PT. Cahyamas Maju
Aku tertegun melihat bunga papan raksasa di depanku. Jumlahnya ada banyak sekali, memenuhi parkiran gedung kantor kami.
Tampak teman-temanku juga berkumpul di depan papan-apan itu sambil sesekali terisak.
“Bu Indah! Bu Indah!” Bu Ruri melambaikan tangan padaku, “Pak Manda meninggal bu!”
Aku masih belum bisa menguasai diriku. Tubuhku rasanya seperti robot yang berjalan otomatis, namun tanpa otak yang bisa berpikir. Aku menghampiri Bu Ruri dengan rasa campur aduk.
“Ini... Pak Manda yang mana?” tanyaku masih belum bisa menguasai diriku.
“Pak Manda kita bu!” seru Bu Ruri sambil menunjuk jabatannya. Ya aku yang bodoh sudah bertanya padahal bunga papan raksasanya jelas-jelas menginformasikan hal itu sejelas-jelasnya.
“Kenapa ya beliau?” tanya salah satu staff.
“Padahal kemarin masih sehat-sehat saja!” kata yang lain.
“Pas pulang juga masih cengengesan, katanya baru dipuji Komisaris katanya,”
“Harusnya hari ini mereka meeting kan ya?”
“Iya dari pagi manajemen sudah lengkap datang,”
“Bu Indah bukannya ikut meeting juga ya?”
Mendengar namaku disebut, aku tersentak seperti ada yang menamparku agar tersadar.
“Iya, saya ikut meeting,”
“Sepertinya meetingnya dibatalkan Bu,”
“Apa yang terjadi sebenarnya? Pak Manda masih di kantor menemani saya tadi malam,”kataku panik.
Semua menatapku dengan kaget, “Malam? Jam berapa bu?” Pak Jefry menghampiriku.
“Jam 12 saya pamit pulang dia masih ruangannya, coba periksa CCTV,”
“Ibu, kami ini sedang bersedih, jangan menyebarkan gosip nggak benar yang akan jadi fitnah bagi almarhum!” kata Pak Asep.
“Beliau dinyatakan meninggal kena serangan jantung sekitar jam 11 malam, jadi tidak mungkin dia ada di kantor jam 12 malam, kecuali ibu mengarang cerita agar heboh dan caper!”
“Memangnya saya selama ini pernah caper ya?!” aku balik bertanya karena kesal.
Semua diam.
“Yang membuat saya tertahan di kantor malam itu kan karena kalian ini, Tim akuntansi yang terhormat ini tidak peduli dengan laporan kuartal,” sindirku. “Pak Asep bahkan memberikan saya kuitansi yang membuat laporan keuangan itu tidak kunjung balance! Baru setelah Pak Manda bilang kalau disepakati biaya entertain tanggal 18 tidak usah dimasukan, pekerjaan saya baru selesai! Kalau beliau tidak datang, bisa dibayangkan meeting nanti kita semua dibantai oleh Manajemen karena laporan tidak bisa disajikan!” seruku kesal sambil melempar kuitansi bermasalah itu ke Pak Asep.
Lagi-lagi semua hanya diam tidak ada yang membalas kalimat penuh depresiku.
“Saya mau periksa CCTV!” seruku akhirnya sambil berjalan ke ruang kontrol.
Dan cerita yang lebih mendebarkan juga datang dari staff ruang kontrol.
“Saya melihat Pak Manda malam-malam mengendarai mobilnya masuk ke parkiran, itu mobilnya masih di parkiran,” kata sekurity yang tadi malam berjaga di pos parkir. Wajahnya juga tampak pucat ketakutan.
“Saya juga bertegur sapa dengan beliau di lobby,” kata Sekurity lantai dasar.
“Jam berapa itu?” tanyaku
“Sekitar pukul 11 malam Bu, katanya mau mengerjakan laporan keuangan karena besok pagi mau meeting. Saya bilang ke beliau sepertinya Bu Indah masih di atas,”
Aku saling lirik ke semua yang ada di ruang kontrol, lalu sambil mengamati CCTV yang diputar ulang ke jam 11 malam, kami baru mulai diam sambil memperhatikan layar.
Tampak aku sedang mengetik.
Lalu...
Bayangan putih berbentuk siluet masuk dan berdiri di belakangku. Aku tampak mengobrol dengan bayangan itu.
Dan aku pun tak ingat apa-apa lagi, selanjutnya semua terasa gelap.
*
*
Sudah seminggu sejak kejadian itu, kini aku berdiri di depan dinding Hall of Fame.
Dari yang tadinya ada tiga foto terpampang, kini hanya terpajang satu foto.
Foto seseorang yang kami kenal paling mendedikasikan hidupnya untuk perusahaan, sudah bekerja mengabdi selama 30 tahun lamanya. Bahkan di penghujung hidupnya masih saja memikirkan tugas kantor yang sebenarnya tidak terlalu penting dibandingkan keluarganya.
Istri, anak-anak, dan cucu yang ditinggalkan hanya bisa menangis meratap. Sementara posisinya akan digantikan oleh orang lain.
Tapi Pak Manda akan selalu ada di hatiku. Karena sampai akhir hidupnya dia memikirkan kesejahteraanku.
Jadi sesuai sarannya, karena aku tidak dibayar untuk stress, jadi hari ini aku resign untuk mencurahkan hidupku ke keluargaku. Suami dan anak-anakku lebih butuh aku, dan mereka yang akan selalu mengingatku saat aku meninggal nanti, bukan orang-orang kantor yang sibuk mencari cuan untuk owner.
Aku pun memfoto dinding itu yang terdapat foto Pak Manda sebagai satu-satunya Karyawan Teladan di sana. Walaupun statusnya saat akhir hidupnya menjadi Direktur, tapi dia sudah bekerja di perusahaan ini sejak fresh graduate.
Dan aku pun memejamkan mata untuk sekali lagi mendoakannya.
TAMAT.