~Hindia Belanda 1942
DORRRR
DORRRR
Baku tembak di luar sana terlihat begitu kacau. Diiringi dengan beberapa mayat berjatuhan di sepanjang jalan.
Merah darah itu, membanjiri jalanan. Sebuah mobil Sekutu datang, dari arah barat.
Banyak mayat, berserakan memenuhi jalannya. Namun, sama sekali belas kasih itu hilang.
Dengan kecepatan yang tinggi, mereka melindas seluruh mayat yang ada di jalanan.
Suara tulang-tulang patah itu, tak lagi mereka pedulikan. Ini tentang, kekuasaan dan kekayaan bagi siapapun pemenangnya.
Mereka, akan mendapatkan Hindia Belanda yang seperti surga Di mata mereka. Negara kaya inilah, prioritas mereka saat ini.
"NIPPON!!!" teriak salah satu Tentara, di garda depan. Seperti memberi isyarat pada seluruh rekannya di belakang. Satu, suar ia tembakkan sebagai pertanda.
"Verdomme, die nippons!" umpat satu suara kesal.
(Sialan, para Nippon!)
Umpatan itu, berasal dari seorang tentara bernama Deiderick. Mendengar aba-aba dari Jendral mereka, mereka pun mundur.
"Lari, lari!" ucap semuanya, berbondong-bondong menuju markas mereka.
BOMMMMM
BOMMMMM
Pintu masuk Batavia, dibom. Seluruh pasukan Belanda berhenti, melihat satu-satunya pintu untuk selamat runtuh.
Tentara Jepang semakin mendekat, dengan peluru yang masih ada, mereka menembak seluruh tentara Belanda yang berdiri pasrah di sana.
Deiderick, mencoba berlari menyelamatkan diri. Namun sayang, satu tembakan dari sniper mengenai kepalanya.
Tubuhnya ambruk di atas tanah itu, tanah yang pernah mereka jajah dengan ketamakan dan segala perilakuan kejam.
Pada para Inlander. Inlander adalah sebutan untuk orang Indonesia, merujuk pada arti Pribumi.
Hari itu, markas besar Belanda di Batavia ditaklukan. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Sekutu saat itu.
Berita kemenangan, orang kulit kuning itu sampai dari radio ke radio.
Jatuhnya pemerintahan Belanda pada saat itu, banyak menimbulkan kontroversi dan teror. Rakyat Belanda, dibuat sangat menderita setelah kekalahannya.
Para mayat Veteran, diantarkan langsung ke kediamannya. Seperti halnya mayat Deiderick, yang kini berada di tangan Putra sulungnya Pieter.
Pieter, juga seorang pejuang sama seperti Pappa-nya. Beruntungnya, hari itu mereka tidak ditugaskan bersama, hanya Pappa-nya yang ditugaskan di bagian Garda depan.
Linangan air mata itu turun, mengiringi langkahnya masuk kedalam rumahnya.
Di sana, terlihat Mamma nya menatap syok ke arahnya.
"Deiderick?!!!" pekik Hanna, berlari menghampiri jasad Suaminya. Pieter bersimpuh, meletakkan jasad Pappanya di lantai. Sungguh, ia merasa gagal sebagai seorang putra saat ini.
"Pieter, Kenapa dia bisa tertembak?!!" tanya Mammanya sambil menangis terisak.
Pieter hanya diam, masih dengan tangisan dan kepedihan yang ia rasakan. Sungguh, untuk sekedar menjawab pertanyaan Mammanya ia tak sanggup.
Dari atas tangga, seorang bocah lelaki turun. Menghampiri keluarganya, Pieter menatap sendu ke arahnya.
Dia adalah, Barend, adik dari Pieter. Barend, berjalan mendekati keluarganya. Lalu, ikut bersimpuh di hadapan Pappanya.
"Pieter, Pappa berdarah?" ucap Barend, seraya mengelus lembut wajah Pappa-nya.
Perih rasanya, mengingat adiknya itu belum cukup tau apa yang terjadi.
Pieter, mengusap lembut kepala adiknya itu. Surai, pirang itu mirip dengan Deiderick Pappa-nya.
Bola mata biru itu, wajahnya, adiknya ini mewarisi segala fisik Pappa-nya.
"Pappa sedang terbang di langit, menemui Tuhan?" jelas Pieter, Barend masih tak tau apa maksudnya itu.
"Pappa tidak mengajakku?" tanyanya polos. Pieter menggeleng pelan menanggapinya.
"Dia, tidak akan pernah kembali!" ucapan itu, membuat Barend terkejut.
Ia melihat lagi Pappa-nya, menaruh kepalanya di dada Pappa-nya.
"Pappa, tidak bernafas?" tabya Barend lagi. Subgguh polos sekali anak kecil itu.
Pertanyaan itu, membuat tangis Hanna semakin pecah. Suami yang begitu ia cintai, gugur dalam Medan pertempuran. Jadilah statusnya Janda sejak hari itu.
|Gema-gema dan Penaku|
"Apa kau, akan melanjutkannya lagi?" tanyaku, pada bocah di hadapanku.
"Kau bilang, tertarik pada ceritaku? Lalu, mengapa kau marah?" Aku menghela nafas mendengar itu. Memang, aku tertarik atas apa yang terjadi dalam hidupnya.
Tapi, bukankah waktu itu dia menolak menceritakan? Sekarang tengah malam tepat, dia membangunkanku untuk menulis.
Gemas sekali rasanya tanganku, inginku cubit saja dia.
"Kenapa, kau marah padaku? Bukankah, kau ingin tau alasannya? Mengapa tubuhku, tercerai berai?" jawabnya dengan wajah tanpa dosa.
Tentu saja, apa yang dia katakan itu benar. Ini cerita, yang harus kusampaikan pada jutaan nyawa di bumi.
Bukan untuk suatu ketenaran. Melainkan, untuk satu alasan tentang apa yang terjadi di zaman itu. Di tahun itu, mengenai Nusantara.
"Baiklah, aku akan menceritakan kejadian pagi itu padamu! Sebelum aku, mendapatkan sepatu bagus itu!" ucap Barend, aku mulai bersiap dengan penaku dan mulai mendengarkannya.
"Ah sebentar!" Ia terbang ke atap, lalu menembusnya. Entah apa yang ia lakukan sekarang. Tak lama, ia kembali dan duduk namun melayang.
"Barend Jan Van Deiderick, pagi itu di sofa pengungsian!" ucapnya, aku kembali menulis tiap apa yang keluar dari lisannya.
~Pagi dan Perayaan Kecil Pieter
Sudah dua minggu sejak mereka berduka. Rakyat Belanda kini dipindahkan, menjadi satu dalam area camp pengungsian.
Di mana, di sana seluruh warga Belanda dikumpulkan dan di buat sengsara.
Camp ini, langsung diawasi oleh pihak Sekutu. Mereka dibuat begitu sengsara di sini, dengan tujuan mereka akan meninggalkan Hindia-Belanda secepatnya.
Tak jarang, perlakuan tak senonoh dari Nippon membuat mereka meringis kesakitan.
Seperti saat, anak-anak bermain dan mainan mereka masuk di kawasan Nippon.
Ketika salah seorang anak mengambilnya, dengan keji mereka menendang anak itu masuk ke dalam area camp kembali.
Mereka, memang akan di kembalikan pada negaranya. Kapal, untuk mengangkut mereka kembali akan datang setiap Senin. Mereka akan diusingkan setiap Senin.
Pagi ini, terlihat Pieter sedang mengantri air. Stok air bersih di rumahnya sudah habis, yang membuatnya begitu semangat kemari adalah, ketika Barend bilang padanya,
"Pieter, aku haus! Di sini, ibu sama sekali tidak peduli. Dan aku lapar, aku ingin sepotong roti Perffertjes seperti dulu!" ucapan adiknya itu, membuatnya bersemangat kemari.
Nippon juga menerapkan satu aturan, di mana Orang kulit putih tidak boleh beraktivitas keluar saat petang.
Banyak para Inlander yang memboikot seluruh fasilitas, untuk orang kulit putih.
Angkutan umum, hotel, dan seluruh fasilitas lainnya tidak lagi menerima orang kulit putih.
Mereka hanya akan, mendapatkan seluruh fasilitas seperti Air, makanan, tempat tinggal hanya pada Camp.
Setelah kematian Deiderick, Hanna sama sekali tidak ingin bicara pada siapapun.
Termasuk, anak-anaknya. Dia seperti, sangat terpukul atas kematian suaminya.
Seperti, masih tidak bisa menerima hal itu. Bahkan, untuk menguru Barend saja dia sudah tak mau. Hari-harinya dia habiskan dengan, meratap dan meratap.
Barend masih kecil, dia tidak tau tentang apa-apa di sini. Yang dia tau saat ini adalah, bermain dengan beberapa anak yang juga ada di sini.
Jika lapar, dia akan minta sepotong roti pada Pieter. Jika mengantuk, dia akan memberitahu Pieter dan Pieter akan menyiapkan tempat tidur untuknya.
Hari itu, selepas sudah mengambil Air. Pieter tergiur pada sesuatu di luar area Camp.
Sebuah sepatu boot kecil, mungkin seukuran kaki Barend.
Sambil membawa ember air di tangannya, Pieter mendekati penjual itu.
Dalam hatinya, ia ingin membawakan sepatu itu untuk Barend. Dia pasti, sangat senang.
Belum sempat ia keluar dari sana, seorang tentara Jepang menghalangi jalannya.
"Ushi yo, tachisaru kyoka o emashita ka?" ucap seorang tentara Nippon padanya.
(Kau sudah dapat izin keluar, ternak?)
Ucapan yang dilontarkan oleh Sekutu ini, sungguh tidak mampu Pieter pahami.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" jawab Pieter.
BUAGHHHHH
Dengan senapannya, Nippon itu memukul Pieter hingga tersungkur. Air yang ia dapatkan dengan mengantri itu, tumpah sekarang.
Geram, dengan apa yang Nippon ini lakukan Pieter bangkit dan hendak memukulnya.
Namun, seorang gadis dari belakangnya menarik bajunya, mencoba mencegah tindakan bodoh yang akan Pieter lakukan.
"Biar aku, yang bicara!" bisik gadis itu pada Pieter.
Itu Anna temannya sejak kecil. Pieter mencoba meredam emosinya, lalu membiarkan Anna bicara dengan Nippon itu.
"Watashitachi wa soko ni kutsu o kai ni dekakeru koto ga dekimasu ka? Watashitachi ga nigetara, anata wa watashitachi o utsu koto ga dekimasu. Sore wa yoi mōshidedesu ne."
(Kau bisa mengijinkan kami keluar untuk membeli itu? Kau bisa menembak kami, jika kami kabur. Itu tawaran yang bagus, bukan?)
Pieter terkejut mendengar, betapa fasihnya Anna dalam bahasa Jepang. Sejak kapan, dia menguasainya.
Ucapan dari Anna, membuat Nippon itu mengangguk. Tak lama, Anna menghampiri Pieter membawanya ke arah penjual sepatu itu.
"Terima Kasih, Annie!" ucap Pieter pada Anna. Anna tersenyum mendengar itu, seraya mengangguk.
"Kau pasti, ingin membahagiakan Barend bukan?" tanya Anna, ketika Pieter sibuk memilih sepatu boot kecil itu.
"Tentu saja!" jawab Pieter padanya.
"Aku belum mengatakan ini." lirih Anna ketika mengingat sesuatu dalam kepalanya.
"Apa?" tanya Pieter padanya. Pertanyaan Pieter itu membuat Anna tersenyum iba.
"Aku turut berduka cita, atas kepergian Tuan Deiderick!" ucap Anna.
Pieter tertawa mendengar itu, ia yakin Anna juga pasti sedih atas kematian Pappanya yang juga ikut gugur bersama dengan Deiderick.
"Kita, sama-sama dalam keadaan duka waktu itu. Tak apa, aku tidak begitu mempermasalahkan itu!" jawab Pieter mencoba menenangkan.
Anna mengangguk mendengar itu, Pieter sudah memilih sepatu mana yang akan ia berikan pada adiknya itu.
Ia menyerahkan sepatu itu pada penjual, sementara penjual itu menatap mereka sinis.
"Kenapa kau melihat kami seperti itu?" tanya Anna, heran.
"Bagaimana rasanya dijajah sekarang?" ucap penjual itu, Anna terkejut mendengar itu.
Rasanya, tangannya gatal sekali ingin menjambak manusia ini.
"Aku yakin, kalian yang di kelilingi kemewahan. Pasti sangat menderita!" ucap penjual itu lagi.
"Berapa totalnya?" ketus Anna, Pieter hanya diam melihat dua manusia di depannya itu.
Karena ia tau, ia pun tak berhak melawan Inlander ini. Mungkin, mereka sakit hati atas penjajahan yang Belanda lakukan pada mereka.
"Sebenarnya, aku berhak menolak apa yang kalian mau di sini. Biasanya, kami menjual itu 15 Gulden. Tapi, karena ini penjualan ilegal jika untuk ternak seperti kalian. Aku menjualnya 30 Gulden!" ucap penjual itu. Anna terkejut mendengar itu, harganya dua kali lipat.
Gulden adalah mata uang Belanda yang berlaku sejak 1858 Tahun yang lalu hingga saat ini.
Beritanya, mata uang itu akan segera diganti dengan mata uang Jepang. Mereka berencana menggantinya tahun besok.
Karena tak ingin memperpanjang masalah. Pieter mengeluarkan sejumlah uang yang diminta Inlander itu. Anna terkejut melihat itu.
"Hei, kenapa kau berikan?" tanya Anna, Inlander itu menerimanya dengan senang hati. Pieter, membawa barang yang ia beli itu setelah mengucapkan terima kasih.
"Kau tau, mungkin setelah ini Nippon akan lebih parah menjajah kalian! Kau bersikap, seolah-olah negaramu sudah merdeka!" ketus Anna, lalu pergi menyusul Pieter yang sudah mendahuluinya.
~Ini, untuk Barend dari Oudere Broer (Kakak Laki-laki)
Cukup lama Pieter berada di antrian. Ia pulang cukup siang hari ini, di halaman terlihat Barend sedang asik memainkan mainannya. Pieter membawa ember berisikan air itu ke tangki, memasukkannya. Lalu mencuci tangan dan mukanya, setelah itu ia mulai menyiapkan makanan untuk Mamma dan Adik kecilnya itu. Pieter hanya membawa 5 roti untuk hari ini. Ia meletakkan roti itu di wadah lalu membawanya. Pertama, ia memberikan roti itu pada Mamma nya.
"Mamma, kau bisa mengisi perutmu dengan ini. Makanlah!" Ucap Pieter, seraya meletakkan makanan itu disamping Mamma-nya. Saat kemari, hatinya selalu sakit. Melihat Mamma nya duduk, dengan tatapan kosong dan mata yang sembab.
Tak banyak yang bisa Pieter lakukan pada kondisi Mamma nya saat ini. Dia, hanya bisa membantunya merawat Barend.
"Makanlah, kau harus tetap hidup!" Ujar Pieter bangkit, seraya mencium kening Mamma nya. Pieter berjalan menghampiri Barend, yang asik dengan mainannya.
"Pieter?"Ucapnya, Pieter duduk disamping Barend.
"Kau lapar?"Tanya Pieter, raut muka polos itu mengangguk sambil menatapnya.
"Aku ada ini, mari kita makan!"Barend tersenyum mendengar itu, Pieter memberikan satu roti pada adiknya dan satu roti untuknya. Mereka mulai memakannya, sesekali Pieter ikut bermain bersama Barend.
"Ahh aku ingat sesuatu!" Ucap Pieter, Barend mendongak menatap Pieter kali ini.
"Apa, Oudere Broer?" Pieter tersenyum mendengar pertanyaan itu, dari samping Pieter menarik bungkusan yang ia beli tadi di depan Camp. Pieter memberikan itu Barend, heran dengan bungkusan itu Barend tetap menerimanya.
"Ini untuk Barend, dari Oudere Broer. Aku harap, kau menyukainya ya!"Ucap Pieter seraya mengusap lembut Surai pirang Barend. Terlihat raut muka bahagia itu terpancar dari Barend. Segera, ia membuka bungkusan itu.
Matanya berbinar melihat sepasang sepatu boot yang bagus menurutnya. Barend, sangat menyukainya sungguh. Barend berdiri, melepas sepatu yang ia kenakan saat ini. Tak lama, ia mulai memakai sepatu boot yang Pieter belikan. Seraya melompat-lompat bahagia, ia tertawa.
"Dank je, Oudere Broer! Dank je!"
(Terima kasih kakak, terima kasih!)
Kalimat itu membuat Pieter sangat bahagia. Biarpun dunia dan kondisi warganya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Rasanya, melihat tawa dari Barend itu sudah cukup membuat hatinya bahagia.
"Oudere Broer, pasti akan melindungi mu Barend! Aku janji!" Batin Pieter seraya menatap sendu pada Barend.
Barend meraih tangan Pieter, membawanya keluar bersamanya. Hari itu, dengan sepatu barunya ia bermain kejar-kejaran bersama dengan Oudere Broer nya. Sederhana, namun terlihat begitu bahagia.
|Gema-Gema dan Penaku.|
Aku menatapnya yang masih melayang-layang kesana kemari. Mataku, sudah mulai perih saat ini. Dua jam, untuk dua ribu kata tentang dia. Sungguh dia sangat menguras emosiku. Aku ingat, jika ku marahi dia saat ini. Mungkin, dia akan memperlihatkan padaku wujudnya setelah mati. Itu mengerikan sungguh, dia mati dengan bagian tubuh yang berceceran. Aku hanya pernah melihatnya sekali, aku tidak mau hal itu terjadi lagi.
Cukup, melihat dia dengan tampilan lucu seperti ini saja.
"Jadi, sampai kapan kau akan menembus dinding kesana kemari?" Barend berhenti mendengar itu, akhirnya, senang sekali rasanya.
"Aku lihat, kau membawa gula-gula tadi pagi." Aku mengangguk mendengar itu, Barend tersenyum padaku lalu mendekat.
"Hei-hei! Kau tidak ingin membaginya denganku?" Aku membuang kasar nafasku melihat itu, karena tak ingin terlalu lama. Aku mencoba menuruti apa yang ia mau saat itu.
Aku pergi dari kamarku, mengambil gula-gula yang ada di kulkas. Kembali masuk ke kamarku, dan meletakkannya di mejaku. Kalian pasti bertanya-tanya bagaimana hantu bisa memakan ini. Simple nya, mereka hanya menyerap inti sari nya saja. Benda yang sudah mereka makan, akan hilang rasanya.
"Ah terima kasih, kau baik!" Aku duduk kembali di mejaku saat ini, sambil memegang penaku.
"Jadi?" Barend mengangguk mendengar itu.
"Sebenarnya, aku benci menceritakan detail nya. Karena itu, yang membuatku tak lagi bisa bertemu Mamma dan Temanku. Tapi, sebelum aku mati Oudere Broer di bunuh!" Aku mencoba mendengarkan lagi apa yang akan ia ucapkan.
"Dia mati?" Barend mengangguk.
"Nippon membunuhnya, dan mayatnya di buang di danau." Baiklah, sekarang dia mulai bercerita.
~Pembantaian Orang Kulit Putih
Malam, adalah waktu dimana aturan Nippon di terapkan. Sudah dua minggu ini, banyak orang kulit putih mati setelah pergi meninggalkan Camp di malam hari. Mereka, hanya di izinkan berkelana kesana kemari saat pagi hingga sore. Petang, adalah jam para pemburu orang kulit putih berkeliaran. Saat ini, Anna dan Pieter sedang melihat lima mayat mengapung di danau. Mereka adalah orang Belanda.
"Verdomme!" Umpat Anna.
(Sialan!)
"Rasanya, seperti karma saja ya, An?" Tanya Pieter seraya masih menatap mayat itu.
"Ulah Nippon sialan itu! Jaman kita jajah dulu, tida sekeji ini!" Pieter tersenyum mendengar itu.
"Tapi kita, banyak membunuh orang Pribumi!" Anna melotot mendengar itu. Pieter seorang Veteran Belanda, kenapa dia membela Pribumi.
"Kau membela Inlander? Itu menjijikkan!" Pieter mendahului Anna sekarang, Anna mengikuti Pieter dan berjalan disampingnya.
"Aku bukan membelanya An! Aku hanya meluruskan, apa yang kita lakukan itu tidak benar." Anna diam mendengar itu.
"Ini tanah mereka, kita tidak berhak merampasnya. Kecuali..."
"Kecuali apa?" Pieter menatap Anna saat ini.
"Kecuali, mereka bertempur dan menyerang Neterland lebih dulu." Anna diam mendengar itu.
Seperti biasanya, Pieter mulai membeli beberapa keperluan di Pasar. Tak jarang, ada warga yang menolak menjual barangnya untuk mereka. Tapi, Pieter dengan lembut mencoba meyakinkan mereka. Berbeda dengan Anna yang selalu terbawa emosi, setiap kali menghadapi penolakan.
Sekarang, belanjaan mereka sudah cukup penuh. Pieter dan Anna pun memutuskan kembali ke Camp penampungan. Mereka jalan kaki, mengingat para Inlander memboikot segala fasilitas untuk orang Belanda.
Di sela-sela ramainya pasar, seorang lelaki menyembunyikan wajahnya berlari kencang ke arah mereka.
Settttttttt
Satu tarikan dari Lelaki itu, dan dorongan tangannya pada Anna, membuatnya Anna terjatuh. Terkejut, Pieter membantu Anna untuk berdiri.
"Hei, kau tak apa?" Anna menggeleng mendengar itu, tangannya meraba-raba lehernya. Ia terkejut mendapati, kalung miliknya hilang.
"Pieter, dia mengambil perhiasanku!" Ucapnya, terkejut dengan hal itu. Pieter memberikan barang belanjaannya pada Anna.
"Ambil ini, aku akan mengejarnya!" Anna menahan pergelangan tangan Pieter.
"Tapi, sebentar lagi gelap!" Pieter melepas cengkraman tangan Anna dari dirinya.
"Pulanglah! Barend menunggu makanannya dirumah! Kau harus pastikan, dia makan!" Ucap Pieter, seraya berlari meninggalkan Anna.
"Pieter!!!" Teriak Anna.
Merasa percuma, Anna pun menuruti apa yang Pieter katakan. Ia lebih memilih pulang, dan memberi Barend makan.
Senja hari itu, terlihat cukup suram di dermaga. Pieter, berhenti disana nafasnya terengah-engah.
"Cepat sekali!" Ucap Pieter.
Suara benda jatuh, du antara gang gang sempit dermaga itu menarik perhatiannya. Pieter mengikuti suara itu. Dan disanalah dia, Si Pencuri itu.
"Hei, kembalikan!" Ucap Pieter, pencuri itu berbalik namun dia tersenyum ke arah Pieter.
"Verdomme!" Umpat Pieter, ketika melihat dua orang Nippon dari belakang Si Pencuri.
"Kau mau ini? Ternak!" Ucap si Pencuri.
Entah apa yang ada di pikiran Nippon saat ini, mereka menghajar Pieter disana. Senja itu, dermaga cukup sepi. Hanya ada para Nippon, yang melakukan perdagangan disana. Dan secara tidak langsung, Pieter masuk kedalam kandang Singa. Dimana disana, Nippon akan melenyapkan siapapun orang Belanda yang masuk kesana.
Hari itu, Pieter di hajar begitu lama. Sekitar satu jam an, ia babak belur. Satu orang Nippon lain menjambak surainya, satu lagi memegang sebuah pedang. Disana, Pieter digorok saat itu juga. kepalanya di buang begitu saja di pelabuhan. Merasa puas dengan tindakannya, si Pencuri itupun melilitkan kalung itu di tangan Pieter. Tak lama, mereka membiarkan jasad itu tergeletak begitu saja di depan dermaga.
Pagi tiba, Anna sangat khawatir pada Pieter. Semalam dia tak pulang, Anna terus mencari keberadaan Pieter pagi ini. Ia mencari ke segala tempat. Lalu, kakinya menuju dermaga. Melihat beberapa Inlander bergerombol, Anna mencoba menerobos masuk kerumunan itu. Tepat ketika ia tau, apa yang menjadi tontonan mereka. Anna bersimpuh, perih rasanya hatinya melihat Pieter dengan kepala yang buntung. Tak jauh dari sana, terlihat kepala Pieter di kerumuni lalat.
"PIETER!!!" Teriak Anna, terisak.
|Gema-gema dan Penaku|
Aku sedikit ngeri mendengar apa yang Barend ceritakan padaku. Pasalnya, dia tidak hanya bercerita. Tapi, dia juga membawaku masuk kemasa itu. Untuk melihat, bagaimana kejadian itu terjadi. Sungguh, itu zaman yang kelam sekali.
"Bagaimana?" Tanya Barend, aku membuka mataku. Entahlah, aku ikut menangis ketika Barend membawa ku masuk melihat jasad Oudere Broer nya.
"Itu mengerikan!" Ucapku.
"Iya!" Lirihnya.
"Baiklah, aku akan menceritakan padamu. Bagaimana aku, bisa mati seperti itu." Ucapnya semangat, aku mengiyakan hal itu, dan kembali menulis.
~Ledakan dari Sepatuku
Sudah dua bulan semenjak Barend di tinggalkan Oudere Broer nya. Ia hanya bermain dengan Anna, dan beberapa anak-anak di luar Camp. Hari ini, Barend di ajak pergi ke sebuah ladang bersama mereka.
"Ann, aku ingin pergi keluar!" Ucap Barend, pada Anna disampingnya.
"Ah tidak untuk hari ini ya, Ann sedang tidak sehat." Barend mengembungkan Pipinya mendengar itu.
"Aku pergi sendiri, Ann dirumah saja!" Ucap Barend, Anna menggeleng mendengar itu.
"Tidak, bagaimana jika kau tersesat nanti?" Barend menggeleng mendengar itu.
"Aku bersama banyak teman! Ann, tidak usah khawatir. Disini saja, jaga Mamma." Ucap Barend, Anna tetap menggeleng.
"Tidak boleh!" Barend menarik-narik ujung baju Anna mendengar penolakan itu.
"Aku bosan, Anna! Aku ingin bermain, Mereka ingin melihat sepatu boot dari Pieter. Mereka bilang, sepatu itu mahal. Aku ingin memperlihatkan itu pada mereka." Anna menghela nafas kali ini.
"Barend, kita bermain besok ya. Sekarang kau, boleh bermain tapi, di area camp ini saja. Sungguh, aku tidak berniat menolak ajakanmu. Hanya saja, aku lelah dan pusing. Bisa kita sepakati itu?" Ujar Anna, seraya mengelus ujung kepala Barend.
Barend iba mendengar itu, dengan polos ia mengangguk mengiyakan apa yang Anna ucapkan.
"Baiklah, Anna tidur saja! Barend akan bermain di Camp saja." Anna tersenyum mendengar itu, lega rasanya hari ini dapat Istirahat total.
"Terima kasih!" Ucap Anna, pergi menuju kamar.
Tak lama, Barend pun tersenyum. Dari kamarnya ia mengambil sepatu bootnya dan pergi keluar rumah.
Barend keluar dari area Camp, lewat pintu belakang. Dimana, tidak ada Nippon yang menjaga disana, jadi dia tidak perlu izin untuk keluar.
Senang rasanya, bisa keluar dari area camp. Sedikit mengingat lokasinya, dengan hati yang sangat bahagia ia menuju Lahan tempatnya biasanya bermain bersama teman-temannya. Terlihat, disana teman-temannya sedang berkumpul.
"Hei!!" Ucapan itu, membuat teman-temannya menoleh ke arahnya. Mereka tersenyum melihat kehadiran Barend saat ini.
"Barend! Mari kita main!" Ucap salah seorang teman.
Di lahan luas itu, mereka bermain. Mereka bercerita, bercengkrama. Barend menunjukkan sepatunya pada teman-tamannya, itu membuat mereka terpukau. Hingga saat itu, mainan mereka terlempar keluar dari lahan.
Sebelah lahan itu, ada lahan lagi. Tapi, itu milik Nippon. Tak ada yang berani mengambilnya, mungkin berbeda dengan Barend. Mungkin, jiwa prajurit dari Pappa dan Oudere Broer nya sudah ada dalam dirinya. Tanpa memikirkan dampak apapun, Barend pergi kesana. Mencoba mengambil bola itu. Ketika ia menemukannya, ia mengambilnya. Namun, matanya tergiur melihat beberapa benda asing disana. Barend mencoba mendekati benda itu.
Klikkkkkkkk
Barend berhenti, ketika merasa menginjak sesuatu. Merasa tidak ada yang salah, ia melanjutkan langkahnya. Saat itu juga, suara ledakan itu memecahkan tubuhnya.
Dia sedang menginjak ranjau darat. Dan itulah akhir dari kisahnya.
|Gema-gema dan Penaku|
"Tamattt!!!" Ucap ku senang. Barend heran menatapku.
"Kau senang aku mati?" Aku menggeleng mendengar itu.
"Tidak, aku hanya senang saja tulisanku selesai. Terima kasih yaa." Ucapku. Dia mengangguk, lalu duduk di mejaku.
"Ketika aku mati, yang ku lihat saat itu hanya kegelapan. Tubuhku ringan, dan aku melayang. Anehnya, aku tak bisa menangis mengeluarkan air mataku." Aku tersenyum mendengar itu.
"Kau tidak terjebak dalam zona gelap sekarang. Kau tidak sendirian disini, karena kau juga temanku." Ucapku, itu membuatnya tersenyum.
Sungguh, memiliki teman hantu tidak buruk. Dia sudah bersamaku tiga tahun ini. Kegiatan mereka sama seperti manusia. Hanya saja, yang membedakan kami adalah, Dimensi nya. Dan, tidak semua bisa melihat keberadaan mereka. Kita hidup dengan mereka, beriringan.
*Kisah ini nyata, Barend Jan Van Deiderick adalah bocah kecil yang pernah hidup di tahun 1942. Dimana disana adalah Tahun, Jepang datang dan merampas Hindia Belanda. Kisah ini, di tulis atas kemauan bocah itu. Setelah sedikit problem aneh, tidak logis terjadi akhirnya selesai sudah tulisan tentangnya. Barend, kamu akan di kenal... :)