Cerpen Horor : Teror Kamar 3013
Author : Vie Junaeni
Raja Ananta Prayoga, pemuda tampan berusia enam belas tahun ini merupakan seorang murid STM Cahaya Sakti yang memiliki grup band bernama Sakti Band. Band yang digadang bersama Doni, Fandi, Ferdi, dan Edo, kerap mendapat tawaran manggung di luar karena kepopulerannya di sosial media.
Hari itu, kelima pemuda tersebut mendapat pekerjaan di sebuah kafe yang baru dibuka di dekat Pantai Layar, yang posisinya berada di paling barat Pulau Jawa. Mereka mengendarai Pajero Sport warna hitam milik Doni, sang ketua band tersebut.
"Kita nginep di mana, Bro?" tanya Fandi seraya fokus di kemudi mobil pada Doni.
"Yang dapat orderan si Edo, kan? Kita dikasih penginapan, kan, Do? Terus di hotel mana?" Doni menoleh pada Edo yang duduk di kursi belakang.
"Hotel Melati Indah, Bro! Dekat sama pantai," jawabnya.
Ferdi langsung mengecek ponselnya. Dia sampai menarik siku Raja yang sedang terlelap.
"Apaan, sih?" Raja menguap menyemburkan napas naga ke arah Ferdi.
"Sompret si Raja habis makan jengkol dia. Ini liat hape gue dulu." Ferdi menunjukkan layar ponselnya.
Di sana tertulis beberapa berita tentang Hotel Melati Indah yang terkenal angker. Ada beberapa kisah mistis yang pernah terjadi di sana.
"Ah, cuma katanya, sih. Tenang aja nggak usah lebay!" kata Raja lalu melanjutkan tidurnya.
Kelima pemuda tersebut sampai di sebuah hotel bintang tiga berlantai lima. Di setiap lantai terdapat dua puluh kamar. Hotel tersebut memiliki rooftop yang dijadikan taman dan spot cantik untuk berselfie dengan latar deburan ombak pantai.
Sejenak menjejakkan kaki di halaman hotel, kesan mistis memang diakui Raja sangat terasa. Ada dua tower hotel yang berdiri menjulang dengan dinding-dinding berwarna krem pucat terlihat gelap dengan lampu taman yang temaram.
Mereka menuju ke lobby hotel untuk check ini. Saat dua kamar hotel yang disewakan untuk mereka dari pihak penyelenggara. Setelah melakukan hompimpa, Raja mendapat jatah satu kamar bersama Doni dan Ferdi. Sementara Edo dan Fandi berada di kamar sebelahnya. Pintu lift terbuka di lantai di sebuah lorong lantai tiga terdengar sebuah teriakan dari kamar 3013.
"Gila, baru sampai aja udah denger suara rintihan minta tolong gitu," ucap Ferdi.
"Tolong gimana dulu, nih. Kalau minta tolong dia lagi enak-enak, gimana nolongnya?" celetuk Edo seraya terkekeh.
"Otak elu mesum banget, Do!" Doni menoyor kepala temannya.
Kelima pemuda tersebut berjalan perlahan di depan kamar 3013. Tiba-tiba, ada suara berdebam kencang diiringi teriakan seorang wanita. Beberapa kali wanita itu menjerit, suaranya terdengar sangat keras.
"Ini udah nggak beres, nih!" tukas Fandi yang langsung mengetuk kencang pintu kamar tersebut.
Raja menempelkan daun telinganya untuk mendengar lebih jelas. .
"Kita dobrak aja apa gimana?" Raja bersiap untuk mendobrak.
"Hubungi pihak hotel!" seru Doni.
Edo dan Ferdi lantas bergegas masuk ke dalam lift lagi. Dalam satu jeritan terakhir, terdengar suara keras seperti benda tumpul yang dihantamkan ke sesuatu.
Bug!
Setelah itu, jeritan wanita tersebut tidak lagi terdengar. Suara gagang pintu kamar 3013 itu berbunyi. Perlahan pintunya terbuka. Betapa terkejutnya Raja, Fandi, dan Dion ketika melihat mayat seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun terbaring dengan mata melotot.
Parahnya, sosok tersebut tanpa busana dan bersimbah darah. Kepalanya hancur sebagian. Sprei putih itu berlumuran darah. Ada kursi yang tergeletak di lantai dengan noda darah di sana.
"Kita nggak bisa masuk, Ja, ini TKP loh. Jangan pegang apapun!" titah Doni menahan Raja.
"Tapi barusan dia masih teriak, Kak. Bisa aja pembunuhnya ada di dalam," kata Raja mencoba melongok mengamati bagian dalam hotel.
"Nggak, Ja. Dia udah mati dari tadi, tuh hantunya lagi nangis di situ!" tunjuk Fandi yang memiliki kemampuan melihat makhluk tak kasat mata sama seperti Raja.
Sosok hantu wanita sedang meringkuk dan menangis. Ketika Raja mengamatinya, wanita itu mendongak dan menoleh ke arah Raja. Gemeretak tulang leher berbunyi memilukan. Wanita itu menghentikan tangisannya lalu tersenyum menyeringai. Wajahnya masih bersimbah darah. Dia juga menunjuk ke arah kamar mandi.
"Elu berdua jangan bikin gue takut, deh. Pada lihat hantu, kan?" tanya Doni.
Fandi dan Raja mengangguk.
"Sepertinya mbak itu mau kasih tau kita tentang kematian dia," lirih Raja.
Tak lama kemudian, petugas hotel datang bersama Edo dan Ferdi. Pihak hotel lalu menghubungi polisi setempat. Diduga wanita itu merupakan biduan kampung sebelah yang kerap merangkap menjadi wanita bayaran. Menurut petugas hotel, dia sering melihat wanita itu dibawa ke hotel oleh pelanggannya.
Malam itu wanita bernama asli Sumiyati yang memiliki nama panggung Serena itu mengaku pada Raja kalau dia mengalami kesialan karena mendapat pelanggan seorang pria dengan emosi labil. Pria itu tersinggung saat Serena menghina tubuh gendutnya yang juga bau badan. Lantas saja, pria tersebut menghabisinya.
Akan tetapi, si tersangka tersebut ternyata tidak kabur melainkan masih berada di kamar mandi. Dia ditemukan tewas dengan kondisi sayatan di bagian lehernya. Diduga, pria bernama Yanto itu menggorok lehernya sendiri dengan pisau lipat miliknya karena memiliki kelainan jiwa. Dia ketakutan setelah mendapati dirinya membunuh Serena.
"Astagfirullah! Mayatnya ada di sini, Guys!" Raja membuka pintu kamar mandi perlahan.
Malam itu, beberapa pihak berwajib dan awak media langsung meramaikan Hotel Melati Indah karena kasus pembunuhan tersebut. Doni meyakinkan kawan-kawannya untuk tetap fokus. Biar bagaimanapun juga "The Show Must Go On" dan acara pembukaan Kafe Pantai Hits tetap berlanjut.
Namun, mereka salah. Kematian Serena hanyalah awal dari teror mencekam yang akan hadir di hotel tersebut.
***
Band Sakti sukses memeriahkan panggung yang berada di dekat pantai. Cuaca juga bersahabat dengan semilir angin pantai yang menyejukkan.
"Kalian jangan pulang dulu, ya," pinta Bos Edi, si pemilik kafe.
"Memangnya kenapa, Bos?" tanya Doni.
"Saya ada kerjaan buat kalian. Besok malam anak saya ulang tahun di Hotel Melati Indah. Dia sweet seventeen dan mau kalian isi acaranya. Saya langsung bayar via transfer seperti biasa." Edi menyerahkan layar ponselnya dan mengirimkan uang lima juta rupiah. Tarif standar Band Sakti untuk lima lagu.
"Saya tambahin satu juta lagi, dan biaya akomodasi kalian saya tanggung, gimana? Anak saya nge-fans banget sama kalian," ucapnya.
Doni menoleh pada rekan-rekannya yang mengangguk setuju. Toh, mereka sedang dalam masa liburan sekolah di semester ganjil.
"Oke, Bos!" sahut Doni seraya berjabat tangan.
***
Malam itu, meski agak merinding melewati garis kuning polisi di depan kamar 3013, kelima pemuda itu bergegas menuju ke kamarnya untuk beristirahat. Doni pun berjanji akan mengajak rekannya untuk bermain banana boat dan wisata kuliner dekat pantai esok pagi.
Pukul satu dini hari, Edo terbangun. Dia mendengar tawa seorang wanita seperti sedang asyik menonton televisi. Dalam keadaan mengantuk, ia meraba-raba remote televisi di atas nakas antara ranjang miliknya dan ranjang Fandi. Matanya memicing ke arah layar.
Edo sampai heran kenapa televisi tiba-tiba menyala dan tayangannya berganti ke serial drama. Tanpa berpikir macam-macam, ia langsung mematikannya. Mungkin saja Fandi sempat menyalakan televisi lalu ketiduran. Pemuda itu pun kembali tidur.
Sebelum terlelap kembali, tiba-tiba Edo mencium aroma parfum wanita yang sangat menyengat. Ia mengendus-enduskan hidungnya lalu mengernyitkan dahi. Edo bergegas bangun dan melangkah ke kamar mandi karena aroma parfum itu berasal dari sana. Dia menoleh ke sekeliling, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Pintu ditutup kembali.
Masih penasaran dengan aroma parfum yang ia endus, ia akhirnya perlahan membuka pintu kamar mandi itu lagi. Anehnya, tidak ada apa-apa di dalam sana. Edo sampai mendongak ke atas. Namun, tetap saja tidak ada apa pun di sana.
Edo lalu kembali ke atas ranjang dan mencoba untuk memejamkan mata. Namun, lagi-lagi dia terbangun dengan televisi yang sudah menyala. Dia akhirnya membangunkan Fandi.
"Apaan sih, Do?!" Fandi yang kesal malah menutup wajahnya dengan bantal.
"Elu ngerjain gue, ya? Elu kan yang nyalain tv?" tuduhnya.
"Gue nggak ngerti elu ngomong apa. Gue ngantuk tau!" balas Fandi tak mau menoleh ke arah Edo.
"Hmmm, jangan-jangan televisinya rusak," gumam Edo.
Tiba-tiba, Edo mendapati jejak kaki berlumur darah di kamar. Rasa penasaran membuat pemuda itu bangkit lalu mengikuti jejak tersebut. Ternyata jejak darah itu menuju ke arah jendela.
Karena rasa penasaran tak bisa dibendung juga, ia pun bangkit mengikuti jejak kaki tersebut. Namun, di depan jendela hotel, jejak itu terputus. Dari jendela itu, Edo melihat ada seorang wanita yang sedang asyik berenang di kolam renang hotel.
Edo menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul satu lebih empat puluh lima menit, "Gila! Udah hampir jam dua gini ada cewek renang, nggak dingin apa, ya?"
Saat sedang mengamati wanita tersebut, Edo tersentak kala terdengar ketukan di pintu kamar hotel. Mengintip dari door viewer, Edo melihat sosok Ferdi yang berada di depan pintu itu. Edo lantas membuka pintunya.
"Ah, ngagetin aja lu, Di!" ucapnya berdecak kesal.
"Gua boleh tidur di sini, nggak?" tanya Ferdi.
"Emang kenapa kamar elu? Kan ada Raja sama Dion?"
"Gua nggak bisa tidur, gue takut setan."
Edo hanya rerdiam memandang Ferdi. Sebenarnya dia merasa ada sesuatu yang janggal kala itu. Namun, Edo tak ambil pusing karena rasa lelah yang menghinggapinya.
"Bukannya elu tidur sama Raja? Kenapa masih takut?" tanya Edo.
"Raja pules banget, mana tidurnya ngorok, berisik tau!" jawabnya.
"Ya udah tidur sana! Sempit sempit dah gue tidur sama elu!" keluh Edo.
***
Keesokan harinya pukul tujuh pagi, ponsel Edo berdering. Ferdi menghubunginya.
"Bro, bawa senar gitar, nggak?" tanya Ferdi dari dalam ponsel.
"Ada tuh. Loh, bukannya tadi elu bangun sekalian ambil. Emang elu balik ke kamar elu jam berapa?"
"Emangnya gue dari kamar elu, Do? Perasaan nggak, deh." Ferdi balik bertanya karena tak mengerti.
"Semalam elu tidur di sini katanya takut setan. Terus elu kesel karena si Raja tidurnya ngorok," tukas Edo menjelaskan.
"Ah, ngaco luh! Gue nggak ke mana-mana. Gue tetep tidur di kamar ini sama Raja. Gue ke kamar elu lah ambil senar sekarang." Ferdi memutuskan sambungannya.
Setelah didera kecemasan, Edo tersentak kala melihat Fandi sudah di berdiri di hadapannya. Pemuda itu mengusap rambut dengan handuk kecil seraya menatap Edo dengan heran.
"Elu mabok ya, Do? Sejak kapan Ferdi tidur sama elu di sini? Jelas-jelas pas gue solat subuh elu tidur sendiri. Mana elu nggak mau dibangunin buat subuh. Kesambet luh jangan-jangan," ucap Fandi yang mendengar percakapan Edo sedarai tadi. Dia melempar handuk kecil basahnya ke wajah Edo.
"Asu luh, Ndi!" sungut Edo.
Hatinya masih berkecamuk. Jelas-jelas dia melihat Ferdi semalam dan tidur di sampingnya.
"Gue ke kamar Doni dulu, ya. Elu mandi dulu, gih! Biar muka elu nggak tambah buluk," ledek Fandi lalu keluar dari kamar hotel segera menghindari lemparan handuk dari Edo ke arahnya.
Edo yang meraih kaus salin dari kopernya lantas terkejut melihat sosok Fandi duduk di kursi samping meja.
"Lah si Fandi, bukannya tadi elu udah keluar mau ke kamar Dion?"
Fandi hanya terdiam dan menggeleng.
"Nggak jelas, luh! Ya udah tungguin gue di situ," pinta Edo.
Fandi mengangguk.
Edo lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan wajah. Dia mencuci muka di wastafel lalu memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin.
"Anjay, ganteng banget gue," gumam pemuda keturunan Maluku itu penuh percaya diri.
Fandi lalu masuk ke dalam toilet. Dia berdiri di samping Edo.
"Setan! Ngagetin aja luh, kaya setan!" cibir Edo.
Pemuda itu tidak memperhatikan lagi seseorang yang sedang berdiri di depan cermin setelahnya karena dia sudah tidak tahan ingin buang air kecil.
Selesai buang air kecil, Edo berjalan ke arah wastafel lalu mencuci tangannya. Namun, sesuatu menyentaknya. Betapa terkejutnya Edo saat melihat bukan sosok Fandi yang ada di depan cermin, melainkan adalah sosok wanita.
Pemuda itu makin terperanjat saat ingat kalau wajah wanita itu adalah wanita yang pernah tewas beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, saat Edo menoleh ke sebelah kanan, yang tampak adalah sosok Fandi, kawannya sendiri.
"Hadeh, gue capek banget kali, ya? Udah lah gue mau minta makan dulu sama Doni. Kayaknya makan nasi goreng enak, nih," gumam Edo.
Pemuda itu pun menuju pintu kamar hotel, lalu berkeinginan ke luar dan menuju ke kamar Doni. Pintu kamar mandi tiba-tiba tertutup kencang.
"Fan, elu mau boker. ya?" tanya Edo.
"Hmmm."
"Ya udah gue pergi duluan, gue ke kamar Doni, ya!" seru Edo.
"Hmmm."
Edo lalu keluar dari kamar. Dia berjalan melalui koridor menuju lift. Namun, saat berjalan di lorong koridor tiba-tiba saja seluruh lampu di sana padam. Edo langsung merasa terkejut, buru-buru ia merogoh ponsel dari saku celananya dan menyalakan senter dari ponsel tersebut. Satu persatu dia lewati pintu kamar. Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika mendengar suara aneh dari kejauhan. Edo lalu menajamkan indera pendengarannya. Dia yakin sekali kalau dia jelas mendengar suara wanita yang sedang menangis.
Bulu kuduknya mulai merinding. Edo bergidik takut, tetapi dia juga penasaran. Pemuda itu pun melangkah kembali. Sekarang ia mengikuti sumber suara itu. Kedua matanya memicing. Tepat di sudut koridor, ada seorang perempuan yang duduk sambil memeluk dengkulnya sendiri. Kepala perempuan itu menunduk, dia terdengar menangis sesenggukan.
Perempuan itu berambut sebahu mengenakan kaus yang lusuh dan juga celana jeans. Edo mencoba mendekat.
"Mbak? Mbak kenapa di sini?" tanya Edo perlahan mendekat. Pemuda itu mengarahkan cahaya senternya pada perempuan tersebut.
"Mbak kenapa?" tanya Edo lagi tetapi tetap tidak ada jawaban, perempuan itu masih saja menangis.
Edo memberanikan diri mencoba menyentuh pundak perempuan itu.
"Mbak?" tanya Eko lagi.
"Temani aku, Mas," ucap akhirnya perempuan itu angkat berbicara. Suaranya lirih, tetapi kepalanya masih menunduk.
"Mbak bilang apa?" Edo mencoba mendekat agar dapat mendengar jelas.
"Temani aku…."
Perempuan itu lalu mendongakkan kepala. Edo merasa pernah melihat wajah itu sebetulnya.
"Elu, elu itu 'kan?" Edo mencoba mundur perlahan.
Sosok itu merupakan perempuan yang kemarin tewas mengenaskan. Kepala retak, wajah bersimbah darah, serta darah dan nanah masih mengalir itu benar-benar mengerikan.
"Temani aku, Mas," ucapnya lagi. Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arah Edo. Perlahan demi perlahan.
Edo merasa tubuhnya kaku. Kakinya tak dapat dia gerakkan.
"Pergi, pergi elu!" seru Edo sambil menyorotkan senter ke wajah wanita itu.
Hantu perempuan itu semakin mendekat. Sampai akhirnya Edo berteriak dan jatuh ke lantai tak sadarkan diri kemudian.
***
"Edo mana, Fan?" Doni tak melihat sosok Edo yang tak kunjung tiba saat sarapan.
"Lah iya ya, kok nggak nyusul nyusul."
"Apa dia ketiduran?" tanya Ferdi.
"Perasaan dia nggak tidur. Dia lagi di kamar mandi tadi," sahut Fandi.
"Kita samperin aja, nanti dia kenapa-napa lagi, yuk!" ajak Raja.
Akhirnya ketiga pemuda itu beranjak menuju kamar Edo. Setelah keluar dari lift, mereka melihat tubuh Edo berada di lantai tak sadarkan diri. Yang lebih mengejutkan lagi ketika Raja dan Fandi melihat di atas tubuh Edo terdapat sosok wanita yang berlidah panjang sedang menjilatinya.
"Heh, ngapain kamu?! Masih pagi gini udah gentayangan!" seru Raja.
Sosok itu menoleh dan menyeringai. Dia bangkit lalu pergi menghilang.
"Tunggu!" Raja berusaha mengejar.
Fandi menahannya, memintanya dan yang lainnya untuk mengangkat tubuh Edo. Mereka lalu menuju kamar hotel untuk membaringkan Edo.
"Kalian lihat apa, sih?" tanya Doni.
"Ada hantu perempuan tadi lagi nindih Kak Edo terus dijilatin," ucap Raja.
"Ah, yang bener lu, Ja?" Doni langsung merasakan bulu kuduknya meremang.
"Raja nggak bohong. Gue juga bisa lihat. Ada minyak kayu putih apa balsem gitu? Gue mau bikin Edo siuman," pinta Fandi.
"Kayaknya nggak ada. Tapi krim yang buat nyeri otot ada. Bentar gue ambilin." Ferdi bergegas menuju tas ransel miliknya.
Sementara itu, Doni menghubungi pihak hotel untuk memesan teh manis serta bubur jika ada. Biar bagaimanapun juga Edo belum sarapan.
***
Malam itu, acara ulang tahun anak Bos Edi berlangsung meriah. Edo memohon pada Doni untuk segera bergegas pulang. Dari tadi rasa takut itu terus menyerangnya. Bahkan Ferdi juga sempat diganggu saat berada di kamar mandi.
Saat rekan-rekannya sedang bersiap untuk packing, Raja mendengar suara wanita yang sedang menangis. Rasa penasaran membuatnya mengikuti sosok hantu wanita itu menyusuri lorong hotel. Sampai dia menuju ke lantai lima, masuk ke sebuah lorong yang terdapat hiasan lukisan dan patung tembikar sebagai perhiasan koridor. Raja merasakan suhu dingin yang tak biasa diikuti oleh aroma wewangian melati yang pernah ia cium sebelumnya. Pemuda itu mulai merasa gelisah. Detak jantungnya juga berdebar tak karuan. Namun, ia tetap berjalan perlahan menapak selangkah demi selangkah.
Raja tiba di sebuah koridor. Ada dua orang sedang berdebat. Seperti sepasang suami istri. Sang anak perempuan hanya menatap takut seraya memeluk boneka kelincinya. Sang istri menuding kalau sang suami telah berselingkuh.
Pria itu mendorong sang istri masuk ke dalam kamar hotel yang berada di paling sudut. Si anak perempuan masih termangu berdiri di hadapan pintu kamar hotel yang terbuka. Hantu wanita yang diikuti Raja tersenyum menyeringai ke arah Raja sampai akhirnya dia masuk ke dalam kamar tempat pasangan tadi berdebat.
"Papa, Mama, hentikan!" teriak anak perempuan itu khawatir, tetapi tak ada jawaban yang dia dapatkan.
Kedua orang tuanya masih bertengkar. Mendadak sang ayah memukul ibunya sampai terjerembab ke atas kasur. Dia berusaha mencekik istrinya. Si anak yang panik berusaha menarik tangan ayahnya sampai lepas. Namun, si ayah mendorong anaknya jatuh lalu kemudian dia pergi. Hanya kata-kata makian terhadap anak dan istrinya yang mengiringi kepergiannya kala itu.
Raja dari kejauhan melihat pria itu masuk ke dalam lift. Sungguh dia tidak bisa ikut campur karena hal tersebut merupakan masalah rumah tangga dan hal pribadi orang lain. Tujuan Raja adalah mengamati hantu wanita tadi.
Ibu dari anak tadi lantas bangkit dan menuju sebuah meja rias. Di atasnya ada sebuah tas. Si anak perempuan tadi melihat ibunya sedang menatap ke arah cermin dengan rambut hitam panjang tergerai dan sudah acak-acakkan. Sorot mata wanita itu kemudian bergulir ke tempat putrinya sedang berdiri lewat pantulan cermin. Mereka terdiam sejenak, saling mencoba mengenali situasi ini yang mendadak terasa canggung sekali. Bibir wanita itu tersungging melihat putri kecilnya. Lalu suara tembakan keras terdengar
DORR!!!
Si anak perempuan berdiri diam, telinganya mendadak tuli. Dia tak bisa mendengar suara apa pun kecuali dengungan yang merasuk ke dalam dirinya. Anak itu mematung dalam diam, terjebak dalam situasi yang sama sekali tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Beberapa penghuni kamar akhirnya memberanikan diri untuk mencari asal suara letusan itu. Sosok hantu wanita yang tadi Raja ikuti tertawa. Dia berhasil menghasut sang wanita untuk mengakhiri hidupnya.
Tak lama, tempat itu sudah dipenuhi oleh para tamu dan staf hotel yang berdatangan. Wajah mereka tampak terkejut melihat apa yang ada di dalam kamar. Teriakan dan rasa ngeri diikuti oleh perasaan tidak percaya tergambar jelas di garis wajah mereka.
Si anak perempuan berkepang dua itu masih berdiri di muka pintu, ia memandang kosong ke tempat ibunya sedang terkapar dengan kondisi yang mengenaskan. Dari kepalanya mengalir darah berwarna merah kehitaman, membasahi karpet warna hijau bergambar kepala harimau di bawah meja rias. Di tangannya tergenggam sebuah revolver.
Seorang staf hotel wanita yang baru saja tiba tak bisa berkata apa-apa. Sorot matanya tampak bingung, tak percaya dengan pemandangan yang ia saksikan di hadapannya. Tangannya membungkam mulut dengan ekspresi terguncang hebat sebelum akhirnya ia sadar bahwa dirinya harus segera membawa anak itu pergi. la peluk lalu menggendong gadis kecil itu dan membawanya pergi sejauh mungkin dari tempat kejadian sampai polisi datang mengamankan.
Anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun itu, sedari tadi hanya bisa diam saja mematung memandang lorong yang panjang dari punggung staf wanita yang menggendongnya. Jauh di dalam kepalanya, detail adegan bagaimana ibunya menembakkan revolver tepat di mulut masih tergambar dengan begitu jelas.
Raja hanya bisa melihat hantu wanita itu bersenandung.
"Aku diperintahkan untuk membawa yang terpilih menuju kematiannya. Aku akan membuat teror di hotel ini," ucapnya seraya melayang pergi dan tertawa dengan puas.
Fandi menghampiri Raja dan menyentuh bahunya. Dia juga baru tahu tentang kejadian mengerikan di hotel itu. Rupanya si perempuan tadi membawa senjata api secara diam-diam untuk menghabisi nyawa suaminya. Namun, dia malah memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Entah karena memang kondisinya yang depresi atau ditambah pula hasutan gaib dari hantu wanita Serena yang bergentayangan di dalam hotel.
"Tak ada yang bisa kita lakukan, Ja. Hantu itu sudah mengabdi pada pemilik hotel yang sepertinya suka mencari tumbal. Demi keselamatan kita dan teman-teman sebaiknya kita pergi saja," ucap Fandi.
"Tapi, Kak–"
"Kita berdoa, supaya Allah yang balas perbuatan pemilik hotel yang sesat itu."
***** Tamat *****