"Perhatikan peta, kompas dan GPS kalian saat di lapangan! Semua kembali ke titik kumpul T846 besok jam tiga sore." Rizal menutup pidato singkat sebelum melepas anggota baru mahasiswa pecinta alam (mapala) ke alam terbuka. Lereng selatan Gunung Merapi dipilih koordinator lapangan dan panitia sebagai tempat pendidikan lanjut (dikjut) divisi gunung hutan.
Berbekal ilmu medan peta kompas (IMPK) dan materi survival yang diberikan di ruangan selama tiga hari, kami benar-benar dilepas di tempat yang belum pernah sekalipun kami datangi.
Namaku El, aku ada di kelompok 5 bersama Beni, Ican dan Lita si kurus. Rapat kecil antar kelompok dimulai setelah titik koordinat ditentukan.
"Lol, ormed (orientasi medan) sana di pinggir jurang buat nentuin titik entri kita," perintahku pada Lita atau Lolita nama trendnya di mapala. Satu-satunya cewek yang ikut dikjut tahun ini.
Lolita beranjak, berjalan ke pinggir jurang untuk melihat jalan dan punggungan yang akan kami pilih untuk sampai di titik yang diberikan panitia.
Hujan kabut mulai turun, meski tidak deras tapi cukup mengganggu pemandangan. Aku lihat Lolita kesulitan dengan penglihatan meski sudah menggunakan binokuler.
"Amanin petanya, El! Bisa berabe kalau basah!"
Aku melipat kertas peta besar dan memasukkannya ke dalam kantong anti air, begitu juga dengan yang lain, masing-masing menyimpan kompas sederhana, GPS dan alat tulis.
"Gimana, Lol?" tanyaku antusias. Lebih cepat berangkat lebih baik, mumpung hari masih siang.
"Mumet aku, El! Tapi punggungan paling kanan nggak ada yang lewatin, yang lain ngumpul lewat punggungan tiga sama empat. Gimana menurut kalian?"
Ada lima punggungan yang tersebar di seberang tempat kami berdiri. Jalur satu dan dua tidak dijadikan pilihan karena tingkat kemiringan dan jalan yang dianggap berbahaya. Empat tim lain sudah memilih untuk melewati jalur tiga dan empat, jadi kami sepakat untuk naik lewat jalur lima, dan pulang lewat jalur satu.
Meski memiliki tingkat kemiringan yang terjal, jalur satu terhitung dalam punggungan besar, jadi kami beranggapan masih aman untuk dilalui saat turun.
Setelah berdoa bersama, aku memimpin jalan untuk menyeberangi lembah, mengisi bekal air di sungai jernih lalu mulai berjalan ke arah punggungan paling kanan.
Suara riuh kelompok lain masih terdengar menyebutkan angka-angka koordinat peta saat kami mulai naik. Sesekali aku masih bisa melihat mereka dari kejauhan, teman-teman berkaos kuning seragam dikjut yang dipakai seluruh anggota baru.
Situasi berubah ketika kami mulai terpisah punggungan. Sepi sekali, kabut tebal menutup jalan. Jarak pandang tidak lebih dari tiga meter, dan rumput yang kami injak terasa sangat licin.
"El, gimana kalau kita berhenti dulu? Kabut dimana-mana, bahaya! Puncak Merapi sama sekali nggak kelihatan, kita nggak tau menuju kemana ini sekarang!" Ican memberikan peringatan masuk akal.
"Jam berapa sekarang, Can?"
"Baru jam dua, kita tunggu sebentar sambil ngopi aja. Ngeri kabutnya, mana jalan nanjak bener, sebelah kanan kiri kita blank, bisa tergelincir dan mat …."
Ican tidak meneruskan kalimatnya, angin sangat dingin berhembus membawa hujan kabut semakin banyak. Tapi bukan itu yang membuat Ican diam, kami semua mendengar suara perempuan berbicara dalam bahasa Jawa. Seperti orang mengomel.
"Perlu buka tenda nggak nih? Hujan makin deras, Loli nggak bakal bisa bikin kopi kalau nggak ada peneduh!"
Tanpa menunggu lagi, kami membuka tenda dome dan masuk ke dalam agar tidak semakin basah. Lolita membuat kopi dan sereal tanpa bicara. Begitu juga dengan yang lain, diam dalam suasana aneh di siang hari.
Suara perempuan itu masih saja terdengar, berbicara entah dengan siapa. Aku menyuruh Lolita yang masih berada di teras tenda untuk masuk karena hujan semakin deras. Kami duduk dalam sepi, tenda tertutup rapat dan badai angin mulai berhembus kencang.
Tak lama, suara wanita yang terus saja mengoceh semakin dekat. Seperti berasal dari arah bawah, jalan yang baru saja kami lewati. Suara itu diikuti dengan langkah tergesa beberapa orang.
Kami saling pandang di dalam tenda, hingga Lolita berbicara lirih. "Mungkinkah ada pendaki lain? Tapi ini bukan jalur pendakian ke puncak? Apa mungkin warga desa yang naik mau cari rumput untuk ternak?"
Aku hanya menggeleng, tidak berani berasumsi. Suara wanita itu terdengar ganjil, seperti bukan dari alam nyata karena timbul tenggelam bersama suara angin. Menggidikkan dan meremangkan bulu roma.
Kami masih menunggu hingga langkah-langkah kaki beberapa orang itu lewat di belakang tenda. Entah menapak pada tanah atau tidak, tapi suaranya seperti langkah ringan.
Satu menit setelah mereka pergi hujan mendadak berhenti. Aku membuka tenda mendapati pemandangan sangat jernih, tanpa kabut sedikitpun. Bahkan puncak Merapi terlihat dari tempatku berdiri, mengepulkan asap tipis dengan indah.
Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan berniat camping di jalur satu saat turun. Lebih bersemangat karena kami mengira ada anak mapala lain yang mungkin sedang berkegiatan pendidikan seperti kami di area yang sama.
Fokus kami hanya ada di perjalanan dan pembuatan laporan. Istirahat hanya untuk mengisi tenaga dan kembali berjalan menyusuri punggung gunung lereng selatan sampai di titik yang ditentukan panitia. Setelah membidik arah turun, kami segera melangkah karena waktu sudah hampir malam. Kami harus menemukan tempat bermalam yang layak.
Satu jam turun hari sudah gelap, jalan hanya setapak dan kiri kanan jurang terjal. Hampir tidak ada tempat untuk membuka tenda hingga satu jam perjalanan berikutnya.
"Ben, istirahat di sini aja!" Aku menghentikan langkah. Menatap punggungan hitam di kiri kanan, juga jalan turun yang tidak ada habisnya.
Aku merasa aneh, kayu lapuk besar yang melintang di tengah jalan setapak ini kami lewati tiga kali. Aku sendiri tidak bisa membedakan karena dimana-mana gelap, cahaya senter tidak bisa menembus kabut yang mulai tebal.
"Aku sepakat sama El," sahut Lolita cepat.
"Ya sudah kita lanjutkan besok, lagi pula sudah jam delapan."
Tenda dibuka di tempat yang hanya pas untuk tenda, lebih sedikit sudah tanah miring lalu jurang terjal. Kami hanya mengobrol dan membuat laporan sebentar, makan lalu ambil posisi istirahat, tidur.
Entah hanya aku atau semua, kami tidak benar-benar tidur. Gelisah dan mengubah posisi dilakukan semua orang, tapi kami tidak ada yang bersuara. Angin di luar tenda sangat kencang, dan hawa gunung tidak seperti biasanya. Dingin, juga sangat menyakiti kulit, rasanya persis seperti saat ada kehadiran makhluk lain di sekitar kita.
"El, El, El! Tolong!" Suara Lolita sangat dekat di telingaku, tangannya bahkan memeluk rapat tubuhku, tapi jeritannya semakin jauh, dan aku tidak bisa bergerak sedikitpun.
Kaku, tubuhku kaku, tidak ada yang bisa aku lakukan, beku … tapi aku melihat Lolita keluar tenda dengan tergesa, masih dengan mulut yang menjerit-jerit memanggil namaku. Jeritan yang hanya aku dengar ada di film-film horor thriller. Sangat tidak biasa dan menakutkan.
"El, El … tolong aku, El!"
Dengan sekuat tenaga aku bangun, benar-benar mimpi yang aneh. Lampu tenda mati, gelap. Aku meraba sebelahku yang sebelumnya ditempati Lolita tidur.
Shi*t! Lolita tidak ada, hanya ada Beni dan Ican yang tidur gelisah. Mungkin tidak tidur, tapi saat aku bangunkan, mereka sama sekali tidak menyahut.
Nekat aku keluar tenda yang resletingnya telah terbuka, pikiranku hanya satu, menemukan Lolita. "Lol … Loli, Loli!"
Aku memutari tenda mencari Loli, belum curiga. Aku hanya berpikir Lolita buang hajat dan belum kembali. "Lol kamu pipis dimana, jangan jauh-jauh!"
Karena tidak menemukan Loli di sekitar tenda, aku mulai berteriak-teriak dan mencari ke arah jalan turun. Lalu setengah berlari ke arah jalan naik, untungnya aku mendapati Loli di jalur naik, belum jauh dari tenda, berjalan tanpa alas kaki dengan tatapan kosong.
Entah kena setan apa, aku memukul tengkuk Loli hingga dia pingsan. Aku memanggulnya seperti karung beras. Untung bagiku Loli bertubuh mungil dengan taksiran berat tak lebih dari 45 kg. Aku membawanya ke tenda, lalu membangunkan Beni dan Ican dengan cara kasar, tapi tidak berhasil.
Lampu tenda aku nyalakan lagi untuk mengusir ketegangan. Aku ketakutan setengah mati. Suara wanita yang siang tadi berbicara dengan bahasa Jawa kembali terdengar bersama langkah-langkah ringan beberapa orang dari arah atas. Lalu sepi, angin berhembus kencang dari arah lembah.
Tak lama suara langkah tergesa itu terdengar lagi, turun melewati tenda, lalu selang satu jam naik lagi dengan jumlah suara langkah lebih banyak. Aku membuka jendela tenda, mengintip kerumunan orang membawa lampu badai. Suara gumaman dan tangisan terdengar samar-samar dari rombongan yang akan melewati tenda kami.
Deg! Tidak mungkin ada yang mendaki jalur ekstrim ini malam hari, terlebih mereka mengusung keranda mayat. Aku terhenyak, menutup jendela tenda lalu bergelung menggigil di dalam kantung tidur.
Sial, di saat seperti itu kenapa hanya aku yang tidak tidur? Menggigil ketakutan dari tengah malam hingga langit cerah. Bahkan tubuhku masih saja gemetar saat kami membongkar tenda dan berjalan turun di jalur yang semalam dipakai rombongan bukan manusia naik.
"Lol, kamu ngapain keluar tenda malam-malam?" tanyaku setelah sampai lembah. Titik kumpul sudah dekat.
"Mana ada aku keluar tenda? Aku tahan walaupun kebelet pipis. Tapi aku mimpi ada yang narik kakiku, trus aku teriak bangunin kamu, El!"
"Emang ada apa, El?" Beni dan Ican bertanya hampir bersamaan dengan wajah tegang, seolah mereka juga mendapatkan mimpi buruk semalam.
Aku hanya menggeleng seraya mengedikkan bahu. Mungkin 'sing mbaurekso' (penguasa) gunung memang ingin berkenalan dengan kami, khususnya denganku hingga mereka memberikan pengalaman paling menakutkan selama aku berkegiatan di alam terbuka.
"Entahlah … yang penting kita semua selamat!" ujarku sembari membersihkan diri di sungai.
"Astaga, El!" Mungkin sebagai peringatan karena Lolita meninggalkan bekas pembalutnya di dekat sungai tempat kami mengisi bekal minum. "Aku benar-benar nggak sengaja meninggalkan ini."
Lolita mengambil plastik putih berisi sampah pribadinya, memasukkan ke dalam tas dan meminta maaf padaku. Wajahnya sangat pucat saat bicara padaku, "Aku baru ingat, El! Aku diusung dengan keranda, dibawa ke atas gunung sama … sama, sama mereka …."
Tidak ada lanjutan cerita, Lolita kehilangan kesadaran begitu tau yang membawanya siapa!
End