Suasana pagi hari yang berawan, langit tertutup sepenuhnya dengan awan kelabu, rintik air hujan berjatuhan dengan deras. Mata sebiru samudera menatap ke jendela pintu mobil, tatapannya terpaku pada tetesan air pada kaca.
"Pagi-pagi sudah macet saja," gerutu seorang pria paruh baya yang duduk di sebelahnya, tepatnya di jok pengemudi.
Si pemuda bermata biru itu menghela napas berat karena bosan, lalu bergerak sedikit untuk mencari posisi nyaman. Bokongnya terasa pegal sekali. Sudah tiga jam lamanya dia duduk di jok mobil sialan itu.
"Sabarlah, Angkasa. Inilah yang namanya Ibu kota Jakarta. Kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari," ucap si pria saat melihat gelagat putranya yang kurang nyaman.
Namanya adalah Angkasa Zeroun, enam belas tahun. Seorang pemuda berdarah campur Finlandia───Indonesia, mata biru, kulit putih, dan rambut pirang sangat mencerminkan orang dari negri matahari tengah malam. Dia adalah seorang putra dari pengusaha eskalator terbesar di Finlandia. Kini dia akan menetap di Jakarta bersama Ayahnya yang ingin membuat cabang di Indonesia. Angkasa cukup mahir untuk berbicara bahasa Indonesia karena sang Ibunda yang memang orang Indonesia asli. Namun, sang Ibunda telah wafat lima tahun yang lalu.
Angkasa memutar bola matanya. Dirinya sangat malas untuk berbicara. Lebih tepatnya terlalu lelah.
Mobil yang dia tumpangi itu terjebak macet. Benar-benar membuatnya menggerutu di dalam hati. Padahal Angkasa ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Belum lagi dirinya merasa tidak suka dengan keadaan pagi yang hujan seperti ini.
Karena akan membuatnya lebih mudah melihat sesuatu yang membuatnya risih.
Contohnya saja seorang anak kecil yang menangis di bawah ujung sana, berjongkok dengan menekuk lutut di trotoar. Baju yang terlihat lusuh dan terdapat bercak kemerahan di beberapa bagian.
"Apa dia korban kecelakaan?" gumam Angkasa pelan.
Namun, masih bisa terdengar oleh sang Ayah───Nikolas.
"Oh, jangan mulai, Boy," celetuk Nikolas, paham dengan apa yang dilihat putranya.
"Ck, berisik kamu, Pak Tua," decak Angkasa mengalihkan atensinya, dilihatnya sang Ayah sinis.
"Hais, aku mengajakmu ke sini agar kamu tidak melihat hal-hal yang aneh lagi. Kenapa kamu tetap melihatnya, sih?" protes Nikolas.
Ya, pria paruh baya itu tahu jika putranya aneh bin ajaib.
Indigo. Semacam itulah.
"Karena hantu ada di manapun. Bahkan di kursi belakang mobil juga ada," ucap Angkasa kalem.
"What! No kidding!" seru Nikolas dengan hebohnya.
"Lihat saja ke belakang kalau tidak percaya," ujar Angkasa sembari mengangkat bahu acuh.
Tiba-tiba saja ada yang berdiri tegak tapi bukan keadilan, ternyata bulu-bulu halus di tengkuk Nikolas. Karena rasa penasaran yang melebihi rasa merindingnya, Nikolas mencoba menengok ke belakang dengan gerakan ragu-ragu.
Kosong.
"Bocah kurang ajar! Kamu mengerjai Ayah, ya?" cerca Nikolas dengan raut wajah mengerutkan sebal.
"Karena Ayah tidak bisa melihatnya."
Nikolas hanya bisa menelan saliva berat. Entah kenapa hawa di dalam mobil menjadi teramat dingin.
"Ayah akan mematikan AC," tukas Nikolas dengan meringis.
"Terserah."
Sebenarnya Angkasa hanya berbohong. Tidak ada sesuatu yang menakutkan di kursi belakang. Dia hanya berniat membuat Ayahnya tidak mengoceh terus.
Kemudian Angkasa mengalihkan tatapannya kembali. Namun, jantungnya hampir copot ketika melihat sosok menyeramkan di balik kaca jendela yang untungnya tertutup.
Astaghfirullah.
Angkasa beristighfar dalam hati. Meskipun memiliki darah campuran, pemuda itu menganut agama Islam.
Sosok anak kecil yang dia lihat tadi. Muka yang hancur setengah, ke dua bola mata yang bolong, ada banyak belatung yang bergeliat di bagian muka yang hancur. Sungguh mengerikan dan membuat Angkasa merasa mual.
Meskipun sudah sering melihat pemandangan itu, tapi tetap saja Angkasa belum terbiasa. Dia memang paling benci dengan korban kecelakaan yang menunjukan hantu tidak berbentuk.
Dengan wajah yang pucat, pemuda itu segera mengalihkan tatapannya untuk fokus ke depan. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia harus pura-pura tidak melihat anak itu, apapun yang terjadi dia harus tenang.
Angkasa tahu sekali kalau penyebab hantu anak kecil itu menghampirinya karena sadar dilihatin, ini memang murni kesalahannya, sudah tahu hantu tapi tetap saja dilihatin. Sekarang jadi menyesal sendiri kan.
Dia tidak mau jika si anak kecil akan mengikutinya sampai ke tempat tujuan. Itulah kemungkinan terbesarnya.
Di dalam hati Angkasa terus mengucapkan doa.
Pada akhirnya mobil yang ditumpangi mulai bergerak, kemacetan berangsur-angsur menjadi lancar.
Angkasa bernapas lega dibuatnya.
"Pakai ini!"
Nikolas menyodorkan kacamata hitam pada Angkasa.
Angkasa menerimanya, langsung memakainya tanpa mengatakan apapun. Ini cukup membantu untuk menjaga pandangannya.
"Jangan melihat ke luar jendela lagi," saran Nikolas seakan tahu jika putranya habis melihat hal yang tidak-tidak.
Anak indigo. Sebuah istilah yang menggambarkan kondisi seseorang yang memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa dan bahkan yang bersifat supranatural, serta memiliki pemikiran nalar di luar pemikiran orang-orang pada umumnya. Jika ditanya kenapa bisa Angkasa memiliki kemampuan istimewa itu adalah ketika dirinya pernah mengalami mati suri.
Kejadian lima tahun yang lalu, tepatnya pada saat kecelakaan beruntun yang menewaskan sang Ibu. Bocah yang sudah dinyatakan tewas bersama Ibunya tiba-tiba saja terbangun ketika ingin dikuburkan. Sungguh membuat geger dan ajaib. Namun, semua itu adalah berkat kekuasaan Allah SWT.
Setelah kejadian itu Angkasa berperilaku aneh, dan kerap diganggu oleh makhluk halus. Dia bahkan pernah melihat Ibunya yang telah tiada. Mungkin itulah salah satu hal yang Angkasa syukuri memiliki keistimewaan itu.
Awalnya Angkasa sangatlah takut. Siapa yang tidak takut ketika selalu melihat penampakan yang membuat menjerit? Bahkan dia hampir gila dibuatnya. Merasa bordering error secara mental.
Angkasa selalu mengalami beberapa pengalaman aneh, yang membuatnya berpikir kalau dia itu aneh, karena orang di sekitarnya tidak ada yang mengerti. Hal itu menyebabkan dirinya merasa sulit berada di dekat terlalu banyak orang sekaligus, dan seringkali lebih suka menghabiskan waktu sendiri.
Anyways, kini Angkasa sudah menerima keistimewaannya itu. Dia sudah dapat mengendalikan ketakutannya. Dengan berpura-pura tidak melihat adalah cara terbaik untuk tidak berurusan dengan para makhluk halus itu. Serta selalu membacakan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengusirnya dan tentunya selalu melakukan shalat lima waktu tepat pada waktunya.
Tidak lama kemudian mobil mobil Porsche keluaran terbaru itu berhenti di sebuah rumah bergaya klasik namun terlihat tua, tampak memikat pada dua pilar tinggi dengan garis-garis vertikal, bangunan yang berwarna abu-abu yang membuat elegan, serta gerbang dengan bentuk unik.
Terlihat Angkasa yang keluar dari pintu mobil.
"Dari mana kamu mendapatkan rumah ini, Ayah? Kenapa terlihat..."
"Sudah jangan khawatir. Ayah sudah survei jika rumah ini tidak berhantu meskipun terlihat tua," potong Nikolas.
Angkasa mengerutkan keningnya. Apa benar seperti itu?
Sepertinya perkataan Nikolas salah besar.
**
Untunglah hujan telah berhenti ketika Angkasa sampai di tempat tujuan.
Angkasa melepas kacamata hitam yang dipakainya. Diedarkan pandangannya untuk melihat sekeliling rumah yang akan ditempatinya bersama sang Ayah, yang pertama dia lihat adalah keasrian dari banyaknya pepohonan di sekitar rumah.
Sejauh ini tidak ada hal yang membuat pandangannya ternoda. Ternoda dari penampakan makhluk halus.
"Kan sudah Ayah bilang rumah ini aman," tukas Nikolas.
"Aku belum lihat ke dalam."
Tidak bermaksud membantah perkataan Ayahnya, Angkasa melangkah untuk masuk lebih dalam ke rumah. Meninggalkan Nicolas yang sedang berbincang-bincang dengan pengurus kebun dan beberapa pelayang yang ingin mengangkat koper-koper mereka.
Dekorasi rumah dengan menggunakan barang antik, dipadukan dengan berbagai gaya interior. Bisa diperkirakan jika furnitur pajangan berusia panjang.
"Angkasa, kamu bisa memakai kamar yang berada di lantai atas!" seru Nikolas.
Kemudian Angkasa memutuskan melangkahkan kaki, untuk menaiki tangga dengan railing berliku terbuat dari material kayu yang kokoh.
Dan di sinilah dia. Di depan pintu dengan ukiran-ukiran unik.
Di lantai atas, memang hanya ada satu kamar. Nikolas memang tahu betul jika putra sangat menyukai ketenangan.
Kret
Dibukanya pintu itu. Hal pertama yang terlihat adalah nuansa kamar yang klasik. Ada barang antik seperti jam dinding dan lukisan vintage. Namun, bukan itu yang menjadi fokus utama pemuda bermata biru itu.
Noni Belanda?
Angkasa berkedip beberapa kali untuk memperjelas penglihatan. Di sana, tepatnya di depan jendela yang sedang menunjukan langit sore sehabis hujan. Berdiri seorang perempuan yang mengenakan baju putih khas Belanda. Meski baju putih, tetapi nampak kotor dan lusuh. Wajahnya terlihat pucat, rambut ikal panjang dan memakai topi.
Meskipun sempat membuat terkejut, tetapi paras Noni Belanda itu tidaklah menyeramkan, lebih tepatnya cantik.
Sudah dipastikan, mungkin perempuan itu mengalami sakit parah saat menuju kematian. Itu terbukti dengan tidak adanya bekas-bekas kecelakaan hingga membuat kondisi tubuh yang hancur atau berdarah-darah. Cukup membuat Angkasa bernapas lega karena hantu penghuni kamarnya tidaklah menyeramkan.
Sebenarnya memang tidak mengherankan jika sebuah rumah ada hantu penghuninya.
Kemudian Angkasa mendudukan bokongnya di ranjang. Mencoba merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan panjang.
Berpura-pura tidak melihat adalah jalan Ninja Angkasa. Bahkan dia tidak memperdulikan sepasang mata biru pucat yang seakan memantau pergerakannya.
Biarkan sajalah, yang terpenting Noni Belanda itu tidak berbuat iseng.
Lalu Angkasa beranjak ke kamar mandi, berniat membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Setelah itu dia berniat untuk tidur sebentar sembari menunggu Adzan Magrib.
**
Dua jam kemudian.
"Bangun..."
Angkasa merasakan angin yang tertiup tiga kali pada bagian tengkuknya. Bisikan halus yang mempu membuat merinding.
Kelopak matanya langsung terbuka. Terduduk dengan jantung yang terpompa karena terkejut.
Suara siapa itu?
Angkasa mengusap bulu halus pada tengkuknya yang meremang. Bola matanya bergerak ke sekeliling kamar.
Kosong.
Si Noni Belanda tidak ada.
"Bukan dia?" gumam Angkasa.
Kemudian dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul 17:58 PM.
"Astagfirullah, hampir saja aku melewatkan sholat Magrib."
Dengan gerakan yang cepat, Angkasa beranjak untuk bersiap-siap menjalankan ibadah wajib yang hampir dilewatkannya.
Sepeninggal Angkasa yang masuk ke dalam kamar mandi, ada sekelebat bayangan hitam dari luar jendela yang belum tertutup gorden.
**
Di ruang makan.
Terdengar suara dentingan alat makan yang terdengar dari Ayah dan anak yang sedang menyantap makan malam.
"Kamu tidak melihat hal yang aneh-aneh di rumah ini, bukan?" tanya Nikolas memecah keterdiaman.
"Tidak," jawab Angkasa berbohong.
Tidak ada untungnya untuk mengatakan jika ada Noni Belanda di rumah ini. Toh Ayahnya tidak bisa melihatnya. Dan lagi, itu bukanlah sesuatu yang menganggu. Ya, mudah-mudahan.
"Untunglah. Ayah membeli rumah ini karena murah dan dekat dari sekolah barumu," ucap Nikolas tersenyum lega.
Angkasa mengerutkan kening, "Murah? Kamu seperti tidak memiliki uang saja."
Nikolas tertawa menanggapinya, "Bukan seperti itu. Ini adalah sebuah keberuntungan."
"Bilang saja kamu pelit."
Sungguh menohok sekali perkataan Angkasa. Memang sudah tidak mengherankan jika dia bersikap sesantai itu pada Ayahnya.
"Hais, tidak baik berkata seperti itu pada Ayahmu. Tentu saja Ayah tidak pelit. Kalau kamu menginginkan sesuatu katakan saja. Ingin membeli mobil? Motor? Atau helikop───"
"Sok kaya," potong Angkasa.
Pelipis Nikolas berkedut. Putranya itu benar-benar ingin dijitak, "Kita memang kaya."
"Aku ingin dibelikan sepeda," pinta Angkasa setelah meminum susu cokelat miliknya.
"Hah? Sepeda?" beo Nikolas.
Angkasa mengangguk, "Aku tidak ingin terlihat mencolok. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian di sekolah baruku," ucapnya.
Nikolas menyipitkan mata yang memiliki warna seperti Angkasa, "Tanpa itu semua kamu itu sudah terlihat mencolok. Cobalah berkaca, dan lihat betapa tampannya dirimu karena mewarisi ketampanan Ayahmu ini."
Angkasa sweatdrop dibuatnya. Namun, memang ada benarnya.
"Kalau begitu aku akan mengecat rambutku dengan warna hitam," kata Angkasa sembari memegang ujung rambutnya yang pirang.
"Kamu berdosa sekali. Tidak boleh mengecat rambut, apalagi berwarna hitam!" larang Nikolas, "Kalau mau botakin saja!"
"Ayah saja yang dibotakin!" bantah Angkasa.
"Enak saja. Ayah tidak perlu melalukan itu. Ayah sudah percaya diri dengan penampilan yang sempurna ini," kilah Nikolas dengan narsisnya.
Sungguh tua-tua keladi.
"Ck," Angkasa hanya berdecak kesal. Jika berdebat dengan Ayahnya menang tidak akan ada habisnya.
"Sudahlah, kamu jangan macam-macam. Ayah akan membelikan kamu sepeda, tapi dengan catatan jangan mengecat rambut," pungkas Nikolas.
"Terserah."
Terpaksa menurut karena tidak ingin berdebat lagi. Angkasa bangkit dari duduknya, berniat kembali ke kamar.
"Jangan lupa gosok gigi, cuci tangan dan kaki, Boy!" seru Nikolas dengan lantang.
"Aku bukan anak kecil lagi!"
Angkasa benar-benar kesal dibuatnya, wajah tampannya tertekuk.
Terdengar suara Nikolas yang terkekeh. Dia memang senang menggoda putranya yang memiliki sifat sedingin gumpalan es. Meskipun begitu Angkasa adalah anak yang baik.
Sepeninggal putranya, Nikolas meraih cangkir kopi miliknya, lalu menyeruput cairan berwarna hitam itu. Setelah itu bangkit, berniat menuju kamarnya. Membiarkan dua orang pelayan membereskan meja makan.
Nikolas berjalan di lorong dengan gaya vintage yang menghubungkan dapur dengan bagian sisi bangunan tempat kamarnya berada. Memiliki motif desain lantai yang menyerupai papan catur, bagian dinding berwarna putih dengan sedikit ukiran. Hanya terdapat dekorasi sebuah meja dan lampu gantung sederhana. Pencahayaan yang begitu redup.
"Sepertinya harus menambahkan lampu," gumam Nikolas.
Lampu redup memang cukup menyeramkan.
Tidak sengaja Nikolas melihat sekelebat bayangan hitam dari ujung lorong yang berbelok ke arah berlawanan dari kamarnya, menuju kamar tamu.
"Angkasa?" panggil Nikolas mengira jika bayangan itu adalah milik putranya. Namun, dia melupakan fakta jika Angkasa berada di lantai atas.
Timbul rasa penasaran dalam diri Nikolas. Lalu diikutinya ke mana bayangan itu berbelok. Yang dia takuti, jika bayangan itu adalah maling. Meskipun kemungkinannya sangatlah kecil, karena keamanan rumah yang sudah diperketat.
"Sedang cari apa, Tuan?"
Sebuah suara mengagetkan Nikolas hingga membuatnya terlonjak.
"Astaga!"
**
"Sedang cari apa, Tuan?"
Sebuah suara mengagetkan Nikolas hingga membuatnya terlonjak.
"Astaga!"
Ternyata itu adalah suara salah satu pelayan di rumahnya. Si kepala pelayan, seorang wanita tua dengan rambut yang sudah beruban seluruhnya. Nenek Lin.
"Itu..."
"Meong," terdengar suara kucing berbulu hitam seluruhnya, keluar dari belokan tempat di mana bayangan tadi.
Apakah bayangan itu adalah seekor kucing? Tetapi kenapa bentuknya segitu besar?
Nikolas menggeleng dengan pemikirannya itu. Mungkin saja bayangannya terlihat besar karena efek cahaya. Dia tidak mau berpikir macam-macam. Bukankah Angkasa sendiri yang mengatakan jika rumah ini tidak ada apa-apa.
Nikolas memegang dagunya yang terdapat sedikit brewok.
"Kenapa ada kucing di dalam rumah?"
"Itu adalah kucing liar yang biasa keluar masuk rumah ini," jawab Nenek Lin, "Apa Tuan ingin aku mengusirnya?" tanyanya kemudian.
"Usir saja," perintah Nikolas. Pria paruh baya itu memang tidak menyukai kucing, terlebih lagi kucing hitam yang terlihat menyeramkan itu.
Senyum terbit di wajah keriput Nenek Lin, "Baik, Tuan."
Kemudian Nikolas melangkah meninggalkan Nenek Lin dan si kucing hitam. Setelah kepergiannya, senyum Nenek Lin luntur.
Wanita tua itu menatap punggung Nikolas dengan tatapan rumit, lalu mengalihkan tatapannya ke kucing hitam yang sedang menjilati bulu ekor.
**
Di kamar Angkasa.
Terlihat Angkasa yang sedang berkutat dengan komputer. Sebuah headset bertengger manis di kepalanya. Tatapannya fokus pada layar komputer yang sedang menunjukan aksi peperangan. Pemuda blaster itu sedang bermain video game.
Sepertinya dia sudah tidak ingat waktu, tidak menyadari jika sudah terlalu larut untuk bermain video game. Kini sudah pukul 00:02 atau tengah malam.
ZRRETTT
Tiba-tiba komputer mati, menyisahkan layar yang gelap.
Angkasa melotot tidak percaya. Padahal sebentar lagi dia akan memenangkan pertarungan online itu. Sungguh sialan sekali!
Segara dicopotnya headset yang dipakainya. Lalu mengacak rambut pirangnya kasar.
"Kenapa tiba-tiba mati, sih?" gerutu Angkasa.
Kemudian Angkasa menengok ke arah sebelah kanan, berniat mengecek colokan kabel penghubung komputer.
Dan bertambah terkejutnya dia ketika melihat wajah pucat seorang gadis yang begitu dekat dengannya. Hanya berjarak satu centimeter saja.
GUBRAK
Angkasa terjungkal dari kursi yang didudukinya.
"Astaghfirullah."
Tatapan shock yang begitu kentara diarahkan pada Noni Belanda yang mengagetkannya itu.
Si Noni Belanda tersenyum miring.
Dan itu sukses membuat Angkasa merinding.
"Sudah Aku duga, kamu bisa melihatku."
Noni Belanda itu bisa berbicara. Suaranya begitu lirih, mirip dengan suara yang membangunkan Angkasa sore tadi.
"Namaku Susana. Kamu tidak usah takut padaku."
"Su-susana?"
Dari namanya saja sudah membuat merinding. Bisa-bisanya mirip dengan nama artis film horor yang paling terkenal pada masanya.
"Kamu bisa memanggilku Susan."
Angkasa mencoba menetralkan detak jantungnya yang tadi sempat memburu. Kemudian bangkit dari posisi terjatuhnya.
Ya, dia memang tidak boleh takut. Dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan hantu Noni Belanda itu. Sejatinya manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Derajatnya lebih tinggi dari pada para mahluk tidak kasat mata. Jadi untuk apa dia takut?
Angkasa tidak takut, dirinya hanya terkejut.
"Aku tidak takut padamu," ucap Angkasa.
Ini memang bukan pertama kali baginya berbicara dengan hantu.
Susan tersenyum tipis, "Dan Namamu?" tanyanya.
"Angkasa."
"Baiklah, Angkasa. Sebaiknya kamu bersiap. Karena kakakku akan datang sebentar lagi."
"Kakak?"
Tiba-tiba angin yang begitu kencang tertiup, menerbangkan tirai-tirai gorden dan buku-buku yang berada di tas meja belajar. Padahal jendela kamar tertutup dengan rapat. Lantas dari mata angin itu?
BRAKK
Pintu kamar yang awalnya terkunci tiba-tiba terbuka dengan kencang. Menampakan seorang hantu Noni Belanda lainnya.
Rambut panjang sepaha, menggunakan baju putih, dan wajah yang berdarah-darah. Memiliki rupa yang menyeramkan, berbeda dengan hantu Noni Belanda yang satunya.
Ternyata rumah ini memang benar-benar tidak beres.
Wajah Susan mendadak menjadi datar, tatapannya menyorot tajam si hantu Nona Belanda yang baru datang itu. Begitu pula sebaliknya. Mereka saling menatap tajam.
"Maryam."
Terdengar suara lirih Susan yang menyebut nama hantu itu.
Apa Maryam itu Kakak yang Susan bilang tadi? Tapi kenapa mereka terlihat kurang akur satu sama lain?
Maryam menengok dengan gerakan perlahan. Menatap Angkasa. Lalu muncullah seringai yang sangat mengerikan.
Udara di sekitar Angkasa menjadi lebih dingin dan mencekam. Dia merasakan tubuhnya membeku selama beberapa detik.
"Keluarlah, Maryam! Jangan ganggu dia!"
Maryam terlihat tidak memperdulikan seruan Susan. Dia mendekat pada Angkasa.
Angkasa melihat ke bawah. Ya, tentu saja Maryam tidak napak pada lantai marmer kamar, alias melayang.
Tubuh Angkasa berat seketika, ke dua kaki seperti tertancap pada lantai yang dipijaknya. Lalu Ke dua tangannya bergerak, seolah ada yang mengendalikan. Bergerak untuk mencekik leher miliknya sendiri.
Pikiran Angkasa kosong, dia bahkan melupakan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang seharusnya dia baca. Tangannya pun semakin erat mencekik. Lehernya terasa sesak, begitu sakit, dan pandangannya mulai mengabur.
Apakah ini akan menjadi akhir hidupnya?
"Hentikan, Maryam!"
SRAKK
Tubuh Maryam seketika terdorong ke belakang.
Cekikan pada leher Angkasa pun terlepas. Hal terakhir yang dilihatnya adalah Susan yang mencekik leher Maryam sebelum kegelapan menyelimuti pandangannya.
Angkasa terkulai pingsan.
**
"..kasa"
"Bangun, Angkasa!"
"Hos, hos, hos.." nafas memburu dan keringat dingin di sekujur badan. Angkasa terbangun dan langsung terduduk dengan wajah pucat.
"Angkasa, kamu kenapa? Kenapa kamu tidur di lantai?" tanya Nikolas yang menatap khawatir.
Angkasa memegang lehernya, kemudian melihat sekeliling. Dirinya masih di kamar, sedang terduduk di lantai marmer.
"Astaga! Lehermu kenapa?" seru Nikolas saat melihat leher putranya memerah.
"Tidak, aku tidak apa-apa," kilah Angkasa.
Ya, tadi bukanlah mimpi. Angkasa benar-benar hampir mati karena mencekik lehernya sendiri.
"Jangan berbohong!" cerca Nikolas yang tidak percaya begitu saja.
Pandangan Angkasa terpaku pada sesuatunya di belakang Nikolas.
Susana. Gadis hantu itu tengah menatapnya datar. Untungnya dia tidak melihat Maryam.
Seakan sadar dengan tatapan putranya, Nikolas menengok ke belakang dengan gerakan cepat. Kosong, tidak ada siapapun. Namun, hawa dingin tiba-tiba membuat bulu halus di tengkuknya meremang.
Nikolas tahu apa arti tanda-tanda itu.
"Angkasa, jangan bilang kalau rumah ini..." ucap Nikolas setelah kembali menatap putranya.
Angkasa menghela napas berat.
"Apa yang baru saja Ayah lakukan sehingga membuat penunggu rumah ini marah padaku?" tanya Angkasa menatap tajam Nikolas.
"A-apa?" Nikolas tercekat.
Memangnya apa yang telah Nikolas lakukan?
"Ada dua hantu Noni Belanda di rumah ini. Salah satunya terlihat sangat marah. Bahkan hampir membunuhku," jelas Angkasa.
"Ja-jadi rumah ini berhantu?"
**
"Ada dua hantu Noni Belanda di rumah ini. Salah satunya terlihat sangat marah. Bahkan hampir membunuhku," jelas Angkasa.
"Ja-jadi rumah ini berhantu?"
"Ya," jawab Angkasa lugas.
Nikolas memijit pangkal hidungnya. Betapa bodohnya dia yang percaya pada agen properti yang mengatakan jika rumah tua ini tidak berhantu.
"Angkasa, carilah kucing hitam yang Ayahmu usir. Maryam sangat menyayangi kucing itu."
Angkasa mendongak untuk menatap Susan lagi. Dan gadis hantu itu masih menatapnya datar.
"Kamu sedang menatap apa, sih? Apakah ada hantu Noni Belanda di belakang Ayah?" tanya Nikolas yang melihat tatapan Angkasa yang fokus ke belakangnya lagi.
"Apa Ayah habis mengusir seekor kucing hitam?" Angkasa justru balik bertanya.
"Y-ya," jawab Nikolas dengan jujur, "Apa itu ada hubungannya?" tanyanya kemudian.
Angkasa mengangguk.
Terlihat ekspresi Nikolas yang begitu terkejut, karena tanpa sadar telah membuat putranya dalam bahaya.
"Aku akan mencarinya," ucap Angkasa.
"Tapi ini masih terlalu larut, sebaiknya besok pagi saja," ujar Nikolas.
Angkasa melirik jam dinding yang menunjukan pukul 2:00 AM. Lalu beralih menatap Susan lagi.
"Kamu harus mencarinya sekarang," ujar Susan.
"Tidak, aku harus mencarinya sekarang," kata Angkasa pada Ayahnya.
"Kalau begitu Ayah ikut," tukas Nikolas.
Angkasa hanya mengangguk karena tidak mau ambil pusing, apalagi berdebat dengan Ayahnya.
"Ayah menyuruh Nenek Lin untuk mengusir kucing hitam itu," ujar Nikolas setelah mengingatnya.
"Nenek Lin?" Angkasa memang belum tahu tentang siapa itu Nenek Lin. Salahkan dirinya yang langsung ke kamar dan tidur saat setibanya di rumah ini. Dia bahkan belum tahu bagian-bagian rumah.
"Beliau adalah kepala pelayan," jelas Nikolas.
"Bukankah kepala pelayan kita Sir. Matthew?"
Sir. Matthew adalah kepala pelayan di rumah mereka yang berada di Finlandia. Angkasa pikir kepala pelayan di rumah ini akan sama.
"Bukan. Sekarang Nenek Lin yang menjadi kepala pelayan di rumah ini. Lagi pula beliau sudah lama sekali merawat rumah ini sebelum kita datang. Jadi Ayah lebih mempercayai dia dalam mengurus rumah," tukas Nicolas.
Angkasa mendengus mendengarnya. Dia sungguh tahu jika Ayahnya adalah tipe orang yang suka menggambil jalur instan.
**
Knock... Knock...
Nikolas mengetuk pintu kamar Nenek Lin, ada Angkasa yang berdiri di belakangnya.
Krett
Tidak lama kemudian daun pintu terbuka, menampakan seorang wanita tua yang terlihat habis bangun tidur. Nikolas dan Angkasa jadi merasa tidak enak karena telah menganggu waktu tidur seseorang. Tetapi ini adalah sesuatu yang mendesak.
Sedangkan Nenek Lin terlihat agak terkejut ketika melihat si pengetuk pintu kamarnya.
"Maaf karena sudah mengganggu," ucap Nikolas dengan menunjukkan raut wajah tidak enak.
"Tidak apa-apa, Tuan," kata Nenek Lin tersenyum sopan. "Apa Tuan membutuhkan sesuatu?" tanyanya kemudian.
"Aku hanya ingin bertanya tentang kucing hitam yang berkeliaran di lorong," tukas Nikolas.
"Di mana Nenek Lin membuangnya?" sambung Angkasa pada intinya.
Nenek Lin terdiam sesaat. Menatap Angkasa tepat pada leher yang memerah. Entah apa yang dipikirkannya.
"Di lahan kosong belakang rumah," jawab Nenek Lin.
"Ngomong-ngomong, Nenek Lin sudah lama mengurus rumah ini, ya?" tanya Angkasa kemudian.
Nikolas menatap putranya heran.
"Ya, Tuan Muda," jawab Nenek Lin.
"Tentunya Nenek Lin pasti tahu kalau kucing hitam itu memiliki peranan penting di rumah ini."
Nenek Lin menunduk seketika, tidak mampu menatap mata biru Angkasa yang menatapnya tajam. Bagaimana bisa anak enam belas tahun bisa memiliki aura mengintimidasi seperti itu?
"Kenapa Nenek Lin tidak melarang Ayahku agar tidak mengusir kucing itu?"
"Itu aku..." jawaban Nenek Lin seakan tertahan di tenggorokannya.
Angkasa menghela napa berat, "Simpan jawabanmu nanti."
Kemudian Angkasa berbalik pergi, dengan diikuti Nikolas.
Prioritas Angkasa sekarang adalah mencari kucing kesayangan Maryam. Biar nanti saja dia mendengar jawaban wanita tua itu.
**
"Kamu serius akan mencarinya?"
Kini Nikolas dan Angkasa sudah berada di bagian belakang rumah. Lahan kosong yang cukup luas, ditumbuhi banyak pepohonan rindang dan sangat mencekam.
"Ayah masuk ke dalam rumah lagi saja kalau takut, biar aku yang mencarinya sendiri," ujar Angkasa.
Jujur ada perasaan ragu pada dirinya. Namun, apa boleh buat, Angkasa tidak mau diserang Maryam lagi.
"Tidak, Ayah akan menemanimu," ucap Nikolas yakin.
Tentu saja Nikolas tidak mungkin membiarkan putranya pergi sendiri, itu sangat berbahaya. Bukan hanya ada hantu, pasti ada ular atau hewan berbahaya lainnya di sana.
Ingatkan Nikolas untuk segera mengurus lahan kosong di bekang rumah ini.
Kemudian mereka berjalan dengan bantuan dua cahaya dari senter. Mulai mencari keberadaan kucing hitam yang mungkin bersembunyi di balik pohon-pohon tinggi dan semak-semak belukar.
Hawa dingin sehabis hujan membuat Angkasa merapatkan jaket bomber hitam yang dikenakannya. Tanah yang becek semakin mendramatisir suasana.
"Mpus... kucing pintar, di mana kamu?"
Nikolas mencoba memanggil si kucing hitam seraya mengarahkan senter ke segala arah.
"Mpus..." begitu pula dengan Angkasa yang ikut memanggil.
Suasana menjadi horor ketika mereka merasakan ada mata yang mengikuti, bersama dengan adanya suara burung hantu yang tiba-tiba terdengar.
"Hais, burung hantu siapa sih itu?" ucap Nikolas jadi ketar-ketir.
Guk... Gukk...
Suara burung hantu itu bukannya menjauh, justru semakin mendekat, seperti mengikuti mereka.
Suasana horor semakin menjadi-jadi meskipun mereka sedang jalan bersama-sama. Sontak bulu-bulu halus di tengkuk berdiri. Penyebabnya adalah wangi seperti rebusan kentang yang tiba-tiba tercium.
"Si-siapa yang merebus kentang di lahan kosong ini?" ujar Nikolas terbata-bata.
"Berhentilah menanyakan sesuatu yang tidak ada jawabannya itu, Ayah," ucap Angkasa mencoba menenangkan diri.
Kemudian Angkasa kembali mengedarkan pandangannya untuk melakukan pencarian.
Seketika tubuh Angkasa membeku.
Di sana, di sebuah pohon besar dan begitu tinggi. Dia melihat sosok yang terbungkus kain kafan, wujud yang memiliki wajah gosong dengan mata merah menyala, menatap ke arahnya.
Tidak bisa dipungkiri rasa kaget dan rasa takut pun masih ada kalau setiap kali melihat wujud menyeramkan itu. Apalagi dia baru pertama kali melihat Pocong. Entahlah, Angkasa juga tidak mengerti kenapa di Finlandia belum pernah bertemu dengan hantu seperti lontong itu.
Mungkin setiap negara memiliki hantunya masing-masing. Namun, itu bukan masalahnya sekarang.
Angkasa berusaha mengabaikan Pocong itu. Wajahnya memucat dan berkeringat dingin. Beruntunglah otaknya masih bekerja untuk segera membaca doa di dalam hati.
Lalu Angkasa dapat melihat dari ekor matanya. Pocong itu tengah bergerak menuju ke dalam banyaknya pepohonan rindang, bergerak perlahan-lahan hingga tidak terlihat seperti dilahap oleh kegelapan.
Angkasa bernapas lega dibuatnya.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Nikolas tahu-tahu.
"Nyamuk," jawab Angkasa sekenanya.
Tentu saja dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya, yang ada Ayahnya akan semakin panik, bahkan lari terbirit-birit.
Dua puluh menit kemudian, mereka belum juga menemukan si kucing hitam.
"Kucing itu mungkin sudah pergi jauh," ucap Nikolas.
Angkasa berpikir keras setelah mendengar kemungkinan itu. Bagaimana nasibnya jika si kucing hitam sudah pergi jauh? Apa Maryam akan kembali menyerangnya?
**
"Apa kita kembali saja?" ujar Nikolas, sebenarnya dia sudah sangat takut dengan keadaan lahan kosong ini yang semakin mencekam.
"Tidak bisa, Ayah," tolak Angkasa.
Mau tidak mau Nikolas bungkam, dia tahu bagaimana keras kepalanya putranya itu.
Tidak hanya itu, Angkasa juga sangat memiliki intuisi yang tajam. Persepsinya yang tajam membuatnya dapat mengintuidasi tindakan terbaik serta mengetahui hal-hal tentang orang lain yang rahasia atau tersembunyi. Seperti tadi kecurigaannya pada Nenek Lin.
Tes... Tes...
Tiba-tiba saja turun beberapa tetesan air dari atas langit.
Hujan.
"Damn!" umpat Nikolas.
ZRAAAHH
Tetesan air dengan cepat berubah menjadi guyuran air hujan yang begitu deras.
"Ayo kita berteduh, Angkasa!" seru Nikolas dengan menarik tangan putranya.
Mereka berdua berlari menuju pohon yang cukup rindang untuk berteduh. Hujan benar-benar deras, mereka terpaksa berteduh di tempat terdekat.
"Sudah Ayah bilang kan, kita kembali saja, jadi terjebak hujan deh," Nikolas mengoceh.
Angkasa mendengus, diacaknya rambut pirangnya yang basah tekena air hujan, membiarkan sang Ayah yang terus mengoceh memarahinya.
"Kita beli kucing hitam saja di Pet Shop," saran Nikolas setelah mengoceh panjang lebar.
Angkasa mengeryit tidak suka dengan saran Ayahnya, "Tidak bisa seperti itu. Kita tidak bisa membodohi hantu," bantahnya.
"Terus bagaimana dong? Kita belum menemukan kucing itu dan lagi sedang hujan deras. Bisa-bisa kita terjebak hujan sampai pagi hari," kata Nikolas.
"Jangan berdoa seperti itu. Harusnya Ayah berdoa agar hujan ini cepat reda," tukas Angkasa tidak habis pikir dengan perkataan Ayahnya.
"Ayah sedang tidak berdoa buruk kok, tapi hanya mengatakan hal yang mungkin saja terjadi," ucap Nikolas mencoba membela diri sendiri.
Angkasa memutuskan tidak menyahuti ucapan sang Ayah. Yang terpenting baginya adalah menemukan kucing hitam milik Maryam. Tapi tidak mungkin dia bisa menemukan kucing itu dalam keadaan hujan deras seperti ini. Tidak mungkin juga kalau kucing itu berkeliaran di saat hujan. Si kucing pasti sedang ngumpet di suatu tempat.
Angkasa menghela napas berat, memang lebih baik jika dia menghentikan pencariannya ini.
"Baiklah, kita kembali," ujar Angkasa setelah berpikir keras.
Nikolas mengangguk dengan cepat, dari tadi itulah yang dia harapkan.
"Kita tunggu hujan agak reda dulu," sambung Angkasa.
Kemudian mereka terdiam menunggu hujan reda. Sekitar 15 menit kemudian hujan berangsur-angsur reda. Lalu mereka beranjak untuk kembali, berjalan melewati jalan yang tadi dilalui.
Aroma lembab, basah, dan di setiap jejak kaki mereka dapat dirasakan kegelisahan karena perjalanan menjadi sangatlah jauh. Lantai hutan berupa serasah dedaunan yang jatuh melindungi bermacam hewan tanah dalam kelembapan. Mereka seperti hanya berputar-putar saja.
"Apa kita tersesat?" ujar Nikolas.
"Memangnya seluas apa lahan kosong ini?" tanya Angkasa yang juga merasakan keganjalan dari langkah mereka.
"Berhektar-hektar," jawab Nikolas sekenanya.
Angkasa memutar bola matanya, pasti Ayahnya tidak tahu.
Nikolas terkekeh tanpa dosa, "Pokoknya cukup luas untuk membuat danau pribadi dan sebuah vila peristirahatan," sambungnya.
Pantas saja mereka bisa tersesat.
Kemudian Angkasa mengambil batu untuk menggores batang pohon.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Nikolas.
"Aku sedang memberi tanda. Firasatku mengatakan kalau kita hanya berputar-putar dan kembali ke tempat semula."
Nikolas menelan saliva berat. Jika benar, itu sangatlah buruk.
Mereka berjalan dengan langkah cepat, jalan begitu becek, suasana pun kembali mencekam, angin dingin berhembus dari segala arah.
Angkasa yang berjalan di depan mengarahkan untuk ke mana kaki mereka dilangkahkan. Sementara, Nikolas mengekor di belakang.
Dari balik cahaya senter mereka dapat melihat suasana yang seperti hutan gelap gulita.
"Kita kembali ke tempat ini."
Mereka sampai di pohon yang sudah Angkasa tandai dengan goresan batu.
Tubuh mereka terlihat sudah lelah. Berkali-kali melakukan perjalanan berulang dan kembali ke titik yang sama. Sementara itu, suasana tetap mencekam, hujan juga masih turun meskipun hanya rintik-rintik kecil.
Tiba-tiba terdengar langkah terseret dari arah belakang. Suaranya semakin dekat, semakin jelas kalau langkah itu berada di belakang mereka. Tubuh mereka merinding seketika.
"Si-siapa itu?" tanya Nikolas dengan terbata-bata. Namun, tidak berani untuk melihat ke belakang.
Begitu pula dengan Angkasa.
Tidak ada jawaban dari pemilik langkah kaki itu.
Pada akhirnya mereka memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Nikolas tidak melihat apa-apa, tapi berbeda dengan Angkasa yang mendadak pucat pasi dengan napas yang tertahan.
Angkasa melihat penampakan sosok tanpa kelapa, darah dan belatung terlihat jelas di leher yang buntung. Sosok yang diyakini laki-laki itu tengah berdiri tegak, tangannya menjinjing kepala yang bermata merah dengan menatap tajam.
Jantung Angkasa bergemuruh hebat.
Nikolas menoleh ke Angkasa yang mencengkram lengannya dengan kuat. Terlihat sekali jika putranya itu sedang ketakutan, bahkan tidak bisa berkata-kata sangking takutnya.
Tidak, tidak boleh seperti ini. Angkasa meyakini dirinya untuk menghilangkan rasa takutnya. Dialihkan tatapannya ke tempat lain dan langsung membaca doa.
"Ayo kita lanjut jalan lagi, Ayah," ujar Angkasa.
Tanpa pikir panjang, mereka kembali bergerak, berjalan dengan langkah yang semakin cepat.
"Langkah itu mengikuti kita," ucap Nikolas.
"Jangan menengok ke belakang. Kita harus terus berjalan," ujar Angkasa.
Ya, Angkasa menyadari itu, sosok si belakang seperti berjalan terseok-seok mengikuti mereka.
Mereka berjalan setengah berlari. Mereka ketakutan. Meskipun Nikolas tidak bisa melihat sosok itu tapi dia bisa merasakan kehadirannya, apalagi melihat ekspresi putranya yang sangat ketakutan.
Walaupun Angkasa sudah meyakini diri untuk tidak takut, tapi tetep saja masih merasa ngeri ketika diikuti sosok tanpa kepala.
Mereka berhenti untuk sekedar menetralkan napas yang tersengal-sengal, entah sudah berapa lama mereka bergerak. Dan tetap saja kembali ke tempat semula.
"Bagaimana ini? Apa kita tidak bisa kembali lagi?" tanya Nikolas.
"Pasti bisa," jawab Angkasa, ada sedikit rasa ragu di hatinya.
SRAKK
Tiba-tiba terdengar suara semak-semak yang bergoyang. Apa hantu tanpa kepala mengikuti mereka lagi?
"Astagfirullah. A-apa lagi itu?" ucap Nikolas terbata-bata, tentu saja sangat terkejut.
Namun, siapa yang menyangka, seekor kucing hitam terlihat keluar dari semak-semak yang bergoyang itu.
Kucing milik Maryam.
Si kucing berjalan melewati Angkasa dan Nikolas. Mereka pun memutuskan untuk mengikuti kucing hitam itu.
Anehnya kucing itu seolah-olah paham dengan situasi sulit yang mereka hadapi. Kucing itu terus berjalan membawa mereka keluar lahan kosong yang ditumbuhi pepohonan tinggi itu.
Bahkan si kucing beberapa kali menoleh ke belakang. Seolah ingin memastikan Angkasa dan Nikolas masih mengikuti.
Tidak lama kemudian sampailah mereka, kembali ke rumah bagian belakang. Lalu Angkasa segera meraih si kucing untuk digendongnya.
"Oh My, kita diselamatkan oleh seekor kucing."
**
Pagi telah menjelang.
Setelah keluar lagi lahan kosong yang mencekam dan habis mengalami kejadian yang menguras adrenalin, Angkasa dan Nikolas enggan menajamkan mata, mereka masih terjaga hingga pukul 6 pagi.
Untungnya hari ini adalah hari Minggu.
Terlihat Angkasa yang duduk di sofa ruang tamu dengan memangku si kucing hitam, serta sang Ayah yang duduk di sebelahnya.
"Nenek Lin tidak ada di kamarnya, Tuan," ucap seorang pelayan wanita, "Barang-barang di kamar Nenek Lin juga sudah tidak ada, kamarnya kosong."
Nenek Lin benar-benar sudah kabur.
Angkasa dan Nikolas saling menatap. Kemudian Nikolas kembali menatap si pelayan.
"Baiklah, kamu boleh pergi," ujar Nikolas pada si pelayan.
"Baik, Tuan," pelayan itu segera pergi.
Nikolas menghela napas berat, dia tidak menyangka jika kepala pelayan di rumahnya kabur setelah apa yang dilakukanya.
Apa Nenek Lin benar-benar memiliki niat yang buruk sebelumnya?
"Sudahlah, biarkan saja dia pergi," ucap Angkasa tidak mau ambil pusing.
"Meong," si kucing meloncat dari pangkuan Angkasa.
Berjalan ke arah tangga, menuju sosok Maryam yang entah sejak kapan berdiri di tangga.
Ya, Angkasa tidak memperdulikan Nenek Lin yang kabur karena tidak ingin memberikan penjelasan, yang terpenting si kucing sudah ditemukan.
**
2 hari telah berlalu, tidak ada gangguan dari hantu Maryam semenjak kucing hitamnya kembali bebas berkeliaran di rumah, bahkan ada pelayan yang ditugaskan untuk selalu memberi makan kucing itu.
Nikolas yang awalnya menganggap si kucing menyeramkan, kini justru terlihat menyayanginya. Sepertinya, itu adalah bentuk terima kasih karena si kucing sudah menyelamatkannya.
Nenek Lin pun benar-benar menghilang, entah pergi ke mana wanita tua itu. Sampai sekarang belum diketahui apa motif sebenarnya Nenek Lin yang membiarkan Nikolas mengusir kucing milik Maryam.
"Hei, kamu mau ke mana?" tanya Susan yang melihat Angkasa sedang berdiri di depan cermin, dengan jari-jari panjang miliknya sedang mengancingkan kemeja putih.
Dan sukses membuat Angkasa terlonjak kaget. Selalu seperti itu. Memang tidak menakut-nakuti, tetapi Susan kerap kali muncul tiba-tiba dan mengejutkan Angkasa.
Beruntung karena pemuda itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
"Berhenti mengagetkan aku," ujar Angkasa setelah berhasil mengembalikan ekspresi datarnya.
Raut wajah pucat Susan tidak kalah datarnya dari Angkasa. Namun, ada sedikit guratan keingintahuan.
"Aku ingin pergi ke sekolah," lanjut Angkasa.
Kini pemuda itu sudah siap dengan seragam putih abu-abu. Terlihat tampan seperti biasanya.
"Apa itu sekolah?" tanya Susah dengan polos.
"Kamu tidak tahu?" Angkasa mengeryit heran.
"Aku tidak tahu, karena aku selalu tinggal di kamar ini," jawab Susah dengan nada suara yang selalu lirih, cukup membuat merinding sebenarnya, tapi Angkasa mencoba membiasakan diri.
Sepertinya Susan memang benar-benar mengalami sakit keras sebelum kematiannya. Orang tuanya pasti tidak memperbolehkannya ke luar karena takut membahayakan kesehatannya.
Ya, mungkin saja. Angkasa hanya asal menebak saja.
"Sekolah adalah tempat menuntut ilmu," jawab Angkasa lugas.
"Kayaknya tidak seru."
"Tapi kamu akan mempunyai banyak teman jika bersekolah."
Walaupun Angkasa sendiri tidak mempunyai teman. Dia memang lebih suka menyendiri dan tidak suka diganggu. Saat di sekolahnya dulu juga dia tidak memiliki teman.
"Teman? Apakah seperti Om Untung dan Kak Pochi?"
"Hah?"
"Rumah mereka ada di hutan belakang rumah."
"What!"
Angkasa menatap horor Susan. Ya, meskipun gadis hantu itu memang pada dasarnya sudah horor. Ternyata si Noni Belanda berteman dengan mahkluk menyeramkan penunggu lahan kosong di belakang rumah.
Apakah ini yang namanya pertemanan sesama hantu?
Angkasa hanya bisa bergidik dibuatnya.
"Mereka sering main ke sini kok," sambung Susan yang membuat Angkasa melotot.
Yang benar saja. Ternyata hantu kepala buntung dan pocong sering main alias berkeliaran di rumah ini.
"Apa kamu tidak suka mereka main ke sini? Maryam juga tidak suka kalau ada hantu lain datang ke wilayahnya."
"Tentu saja aku tidak suka!" jawab Angkasa cepat dan lantang.
Kemudian Susan hanya mengangguk. Entah apa yang dipikirkan gadis hantu itu. Angkasa pun tidak perduli.
"Berapa usiamu?" tanya Angkasa kemudian, agak penasaran dengan umur si Noni Belanda.
"Delapan belas."
Susan menunjukan jari telunjuknya, kemudian membuka tujuh jarinya.
"Salah."
Angkasa berniat membenarkan jari-jari pucat milik Susan, tapi hanya kekosongan dan rasa dingin menusuk kulit yang didapatkannya. Jadi merinding dibuatnya.
Tentu saja dia tidak bisa memegang Susan. Gadis itu kan hantu.
Knock... Knock...
Suara ketukan menginterupsi.
"Angkasa, cepatlah. Kamu bisa telat ke sekolah!" seru Nikolas dari balik daun pintu.
"Ya, Ayah!" jawab Angkasa.
"Karena hari ini adalah hari pertamamu ke sekolah, Ayah akan mengantarmu. Ayah akan menunggu di bawah!"
Setelah mengucapkan itu, terdengar langkah kaki Nikolas yang menjauh dari pintu.
"Kamu akan pergi?" tanya Susan.
"Ya."
Angkasa meraih ransel miliknya yang berada di atas meja belajar. Kemudian berjalan ke arah pintu. Diputarnya handle pintu.
Deg
Astaghfirullah.
Jantung Angkasa hampir loncat dari tempatnya. Sangat terkejut ketika melihat wajah menyeramkan Maryam yang pertama kali dia lihat saat daun pintu terbuka.
Si kakak dan adik hantu itu sungguh sangat meresahkan. Sama-sama suka mengagetkan.
Angkasa membantu di tempat.
Kemudian Maryam berbalik pergi. Sebenarnya dia tidak mengganggu, hanya suka menampakkan diri. Mondar-mandir dengan parasnya yang cantik namun penuh dengan darah di mukanya dan menebar senyum.
Menakutkan memang, tetapi mau bagaimana lagi.
Tamat_