Merindu...
Saat senyummu masih menawarkan candu
Saat rindu ini masih membuatku ingin memeluk, namun terasa kelu
Saat tatap hanyalah sepasang harap yang kian semu
Dan kala hati kembali berbisik lirih,
"Aku masih di sini dengan degup jantung yang kacau jikalau rindu datang bertamu"
****
"Calvin, sebagai hadiah ulang tahunmu besok lusa, aku memberikan hadiah berupa album foto ini."
"Kenapa kau memilih kado ini, di antara barang yang lainnya?" Calvin menatap lekat album foto yang telah berada di tangannya.
"Tentu saja agar kau selalu mengingat kebersamaan kita. Meski mungkin takdir nanti akan memisahkan kita." Kalimat terakhir ia ucapkan dengan wajah sendu.
Calvin meraih tangan gadis itu menggenggamnya erat. "Mana mungkin kita akan berpisah. Bukankah kau telah berjanji kita akan terus bersama-sama. Kelak saat aku sudah dewasa, aku akan menikahimu!"
Gadis remaja itu menggeleng, "itu tidak mungkin Calvin. Aku dan kamu bagaikan langit dan bumi, aku tidaklah lebih baik dari sebutir debu yang terserat ombak di pinggir pantai."
"Kau ini bicara apa? Manusia di hadapan Tuhan itu sama saja tidak ada yang beda. Aku sama sekali tidak menyukai ucapanmu barusan!"
"Maafkan aku, Calvin. Ah mungkin aku terlalu berlebihan." Gadis itu bangkit dari tempat duduknya. "Calvin aku pergi dulu!"
"Aku antar?"
"Tidak perlu. Hari sudah sore kau harus segera pulang, atau kau akan kena marah oleh Mami mu. Aku pulang dulu!" Gadis itu berlalu meninggalkan Calvin begitu saja. Anehnya, Calvin justru memiliki firasat yang tak enak.
"Ra?" Calvin berteriak memanggilnya.
Gadis berseragam putih abu-abu itu berbalik, lalu melambaikan tangannya. Anehnya seiring dengan menghilangnya siluet tubuh gadis itu, Calvin semakin merasa resah. Seperti sebuah firasat akan rasa kehilangan sesuatu.
"Ra?"
"Tidak!!"
Calvin terbangun dari tidurnya, keringat dingin tampak mengalir dari keningnya. Nafasnya tampak memburu, lagi-lagi ia bermimpi hal yang sama. Ia memijat kepalanya yang mendadak terasa pusing, entah sudah berapa lama ia tertidur di ruang kerjanya. Calvin menarik laci mejanya bagian paling bawah.
Di bawah tumpukan map, ia mengambil sebuah album foto berwarna hitam. Ia kembali membukanya secara perlahan. Di sana terdapat beberapa foto-foto dirinya dengan gadis itu.
"Ra, sudah delapan tahun yang lalu. Aku bahkan sama sekali tidak bisa melupakanmu. Kenapa kau menghilang begitu saja tanpa pamit, kenapa kau pergi meninggalkan luka yang begitu dalam untukku. Orang selalu mengatakan ini hanyalah kisah semu, seorang pelajar SMA yang tengah mengalami cinta monyet. Tapi, kenyataannya cinta ini telah membuatku terluka. Aku seperti mati rasa, Ra. Kenapa kau buat aku seperti ini?" Calvin berucap seraya mengusap sudut matanya yang basah dengan salah satu tangannya, sementara salah satu tangannya mengusap lembut foto seorang gadis berlesung pipi itu.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Calvin, ia buru-buru mengembalikan map itu ke dalama laci.
"Masuk!"
Ceklek!
"Pak, anda sudah di tunggu di ruang meeting!" Sarah, perempuan berhijab yang merupakan sekretaris Calvin berucap.
"Baik, saya akan menyusul!"
Sarah mengangguk dan berlalu pergi dari sana. Calvin menyentak nafasnya, berusaha menetralkan perasaannya yang semula terasa kacau.
Keluar dari ruang kerjanya, Calvin melangkah menuju ruang meeting yang ia pastikan dari beberapa perwakilan staff saat ini telah berkumpul. Tetapi, perasaan Calvin kali ini sedikit berbeda, entah kenapa ia merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Ia menduga semua karena ia baru saja mengalami mimpi itu.
Ceklek!
Semua pegawai yang berada di sana, seketika berdiri dan menyambut Calvin dengan hormat.
"Apakah sudah masuk semua? Kalau gitu bisa kita mulai meeting kali ini ya!" ujar Calvin yang saat ini sudah duduk di kursi.
"Tunggu pak. Masih ada perwakilan dari staff humas yang belum masuk!" Rani mengangkat tangannya.
Calvin menyapu ruangan itu terlihat satu kursi masih kosong, "di mana orangnya? Kenapa belum datang, jika tidak bisa kompeten untuk apa mempekerjakan pegawai seperti itu!" Calvin berucap dengan tegas.
Tak ada yang berani bersuara, semua orang yang berada di sana hanya terdiam menunduk. Sampai pada akhirnya pintu ruangan itu terbuka.
"Maaf semua saya terlambat, karena saya harus-"
"Kamu kalau tidak bisa kompeten dalam bekerja lebih baik mengundurkan diri saja. Perusahaan ini tidak membutuhkan pegawai seperti dirimu!" Calvin berucap tanpa menoleh ke arah perempuan itu.
"Pak tapi saya-"
Brak!!!
"Apalagi?" Calvin menggebrak meja seraya bangkit dari kursinya, wajahnya terlihat marah lalu ia menoleh ke arah perempuan itu.
Ia terkejut, kedua matanya membeliak, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, melihat sosok perempuan yang kini tengah berdiri di ambang pintu, dengan balutan blazer hitam rapi, rambutnya di ikat ekor kuda, tangannya menggenggam beberapa kertas putih.
"Nara?" lirihnya tak percaya. Mendadak tubuh Calvin terasa lemas tak bertenaga. Sosok gadis yang delapan tahun lalu menghilang kini kembali muncul di hadapannya. Sejak kapan perempuan itu bekerja di perusahaannya. Kenapa dirinya sama sekali tidak mengetahui hal ini. Lalu, kenapa reaksi perempuan terlihat biasa saja melihat dirinya.
"Pak?"
Seruan dari karyawan lainnya menyadarkan Calvin dari lamunannya. Calvin berdehem keras, kemudian kembali duduk, dan meminta perempuan itu untuk bergabung.
Meeting berjalan dengan lancar, "saya rasa meeting kali ini cukup sampai di sini," ujar Calvin seraya menoleh ke arah Nara. "Semua boleh keluar, kecuali kamu. Ada hal yang ingin ku tanyakan padamu, ku pikir kamu perlu di beri hukuman!" imbuhnya kemudian.
Perempuan itu meremas tangannya dengan gugup, setelah kepergian para staf lainnya. Ia hanya tertinggal seorang diri di sana, berhadapan dengan Calvin membuat ia merasa gugup.
"Pak?"
"Nara?"
"Saya bukan Nara!" sanggahnya.
Calvin membuang mukanya, ia mengenal Nara lebih dari apapun. Tak mungkin saat ini ia salah dalam hal melihat.
Suasana ruangan itu mendadak berubah menjadi dingin.
"Aku tidak mungkin salah dalam melihat. Kau itu Nara, tidak usah berpura-pura untuk tak mengingat ku. Delapan tahun, kau pergi tanpa meninggalkan jejak untukku. Lalu kini kau kembali di hadapan ku. Apa maksudnya, Nara?"
"Sudah saya katakan, saya bukan Nara pak. Saya tidak mau meladeni ucapan anda yang melantur entah kemana. Lebih baik saya keluar!" Nara bangkit dari kursinya.
Namun, tak ia sangka ketika ia hendak membuka pintu. Calvin dengan cepat menahan pintu itu, hingga terkunci dari dalam. Perempuan itu berbalik dan hendak melayangkan protes pada Calvin, tetapi belum sempat ia melakukan niatnya. Kedua matanya terbelalak ketika dengan gerakan cepat, Calvin lebih dulu menyambar bibir ranumnya. Menyesapnya dengan pelan dan lembut.
"Emmm..." Perempuan itu berusaha memberontak mendapatkan serangan dari Calvin. Saat di rusa cium an lelaki itu semakin dalam dan lebih menuntut.
Di tengah pangutan bibirnya, Calvin berucap dengan pelan.
"Tidak peduli kau siapa? Bagiku kau adalah Nara-ku. Dan kali ini aku tak akan membiarkan dirimu menghilang dari kehidupanku."
***
Kisah Calvin anaknya Alan dan Vriska.