TOK! TOK! TOK!
“Hmm. Masuk.”
Di dalam ruangan biru pastel, seorang wanita muda tampak serius menatap layar komputernya. Dan tanpa mengalihkan pandangan, dia mempersilahkan masuk orang yang mengetuk pintu sampai dia berdiri di hadapan meja kerjanya.
“Tuan Haikal, ada apa?”
Wanita yang menyematkan tanda pengenal Presiden Direktur Eka Saputri di blazernya itu, masih fokus pada komputernya, dan menanyai pria bernama Haikal Wijaya tersebut tanpa mengalihkan pandangan.
“Saya hanya ingin menyerahkan laporan pendapatan bulan ini. Dan hasilnya seperti biasa, sangat baik,” kata Haikal riang.
Langsung saja ia mengalihkan pandangan pada Haikal dan tersenyum ramah.
“Terima kasih banyak untuk kerja keras semuanya bulan ini,” ujar Eka tulus.
“Sama-sama, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu.”
Segera setelah pintu ruangannya tertutup, Eka menghela napas pelan. Tenang beberapa lama, sampai musik di komputernya mengalunkan lagu yang ia kenal.
I spend a day today without any difference
It’s not awkward at all, being alone I live like this, which seemed to be impossible without you…*
Seiring berjalannya lagu, Eka terdiam menatap kosong komputernya. Pikirnya menerawang, menyusuri memori masa lalunya hingga bayang siswa SMA yang baru selesai bermain basket itu
terbentuk sempurna.
“Minum?”
Segera, siswa SMA bernama Dwi Sand Jaya itu tersenyum dan menyambut minuman yang diberikan siswi di sisinya.
“Kau tidak bosan menungguku setiap hari?” tanya Jaya usai meneguk minumannya.
“Yang penting aku sudah diberi makan. Hahaha…”
Mendengar celoteh siswi yang tak lain adalah Eka di masa SMA itu, Jaya pun tersenyum sinis.
“Bagaimana kalau aku mengikuti beasiswa ke Jepang? Apa kau juga akan menungguku?” tanya Jaya yang tampak serius.
Sontak, Eka terkejut tatkala pertanyaan Jaya yang terdengar aneh.
“Kau akan melanjutkan sekolah ke sana?” tanya Eka tak percaya.
“Sedang kuusahakan. Terlalu sayang dilewatkan karena di sana salah satu tempat terbaik untuk mempelajari tentang arsitektur.”
Diam, Eka sejenak melamun dan tersentak saat Jaya mengusap lembut puncak kepalanya.
“Aku bercanda. Ayo, kembali ke kelas,” ujar Jaya yang kemudian beranjak.
Bayang dalam pikiran Eka seketika berganti saat Jaya memasuki ruang tunggu bandara sembari melambai riang dan dia, hanya bisa berdiri memandangnya kosong dari luar.
“Aku…ingin kau menikah denganku setelah lulus. Nanti kita tinggal di Jepang karena aku sudah di kontrak salah satu perusahaan arsitek di sana. Apa kau mau?”
“Mmm…aku…”
Mendengar pernyataan Jaya yang tengah berlibur ke Tenggarong, Eka pun tampak ragu dan tidak berani menatap wajahnya untuk sesaat.
“Kau tidak mau?”
Sontak Eka melihatnya dan menggeleng cepat dengan wajah merona.
“A, aku mau. Ta, tapi, terlalu tidak mungkin kalau kau menyukai gadis aneh sepertiku. Bahkan mantanku mengataiku seorang pemimpi.”
“Haaa…jangan bahas orang gila itu di depanku. Dia bahkan tidak pantas disebut pria karena sudah berani memukulmu di depan banyak orang.”
“Tapi, kau…”
“Kenapa aku? Kau takut aku juga akan memukulmu?”
“Bukan. Kenapa kau bisa menyukaiku?”
“Pertama, kau gadis bodoh. Kedua, kau perlu perlindungan. Ketiga, kau satu-satunya yang berani membuntutiku setiap hari walau sudah sering kumarahi. Diantara ketiga alasan itu, kenapa kau selalu mengikutiku?” kata Jaya tegas.
“Karena aku…”
“Apa?”
“Aku menyukaimu tapi, aku takut siswa popular sepertimu tidak akan membalas cintaku. Dan aku juga, saat pertama kita bertemu sudah punya pacar jadi, aku…”
Langsung Jaya mengerjap cepat saat menyaksikan Eka yang berteriak-teriak di hadapannya. Namun sedetik kemudian, dia tersenyum geli mendapati Eka yang kembali tertunduk dengan wajah semakin merona.
“Aku…juga menyukaimu sejak pertama kita bertemu. Kupikir kita tidak memiliki perasaan yang sama. Makanya aku sedikit berhati-hati. Maaf.”
Lagi, Eka menatapnya dan mengerjap cepat saat tiba-tiba Jaya mengecup singkat pipi kirinya.
“Kau…mau, kan, ke Jepang bersamaku?”
“Ng,” sahut Eka seraya mengangguk malu.
Untuk yang terakhir, bayang itu perlahan menghilang dan tangis Eka terdengar pelan di ruangan yang sunyi. Hanya ada lagu yang mengalun hampir mencapai akhir yang menemani isaknya. Dan, suara yang terdengar dalam ingatan yang membuat isaknya semakin keras. Hingga sejenak dia sempat memukul dadanya yang terasa sakit.
“Kau sedang apa? Aku sedang melihat laut dari atap rumah… Ini Jessica, Kakak Jaya. Dia selamat tapi, kau harus sabar, ya. Dokter menyatakan jika dia akan mengalami koma yang cukup lama…”
Terisak hingga tersengal, Eka berusaha menenangkan diri.
Waktu terjadi gempa serta tsunami, sama dengan waktu Jaya menelepon. Bagaimana bisa orang menelepon saat mungkin dia sudah terseret gelombang…
Kembali Eka menangis keras tatkala mengingat salah satu ucapan sahabat mereka. Tetapi sedetik kemudian, ia bergegas menghapus air mata dan membetulkan posisi duduknya saat tiba-tiba pintu terbuka.
“Ommaaa…**”
Sesosok anak perempuan berumur empat tahun terlihat menghampirinya riang. Disusul pria berwajah oriental yang tersenyum senang dengan setelan kemeja begitu rapi, dan langsung mengecup lembut keningnya.
“Kenapa matamu berair?” tanya pria yang tak lain adalah suami Eka.
“Tidak, aku bersin-bersin terus dari tadi. Mungkin karena mendung dan terlalu lama di bawah AC. Jadi, kita makan siang di mana?”
“Omma, mau makan sup daging di restoran Halmeoni***?” celoteh Sang Anak.
“Baik. Omma juga mau ke sana,” sahut Eka riang.
“Bagus. Kita satu pikiran. Ayo, pergi,” ujar Sang Kepala Keluarga, Lee Hoon.
Untuk semua kenangan indah yang telah kita lalui.
Untuk seluruh tenaga yang telah kau kerahkan agar bisa bertahan lebih lama.
Semoga Tuhan memberikanmu bahagia dan tempat terbaik di sisi-NYA.
Terima kasih untuk doa serta dukunganmu atas segala mimpi yang kini telah kucapai.
(R.I.P 1993-2013)
* Missing You by BTOB
** Ibu (Korea)
*** Nenek (Korea)